Mengenang Sejarah Meluruskan Visi (Kata Pengantar)

Sumber foto: https://tirto.id/tujuan-isi-dekrit-presiden-gus-dur-2001-sejarah-kronologi-dampak-gnuu

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam buku ini, pembaca akan memperoleh gambaran jelas tentang apa yang terjadi pada tanggal 23 Juli 2001. Alumni Universitas Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Alumni Universitas Indonesia di Jakarta / ILUNI – JAKARTA menerbitkan tulisan dalam buku ini guna meluruskan sejarah, termasuk juga untuk meluruskan visi kesejarahan yang terlanjur dibengkokkan, baik oleh media massa domestik (dalam negeri) maupun oleh partai-partai politik yang berkuasa setelah itu. Penulis juga membiarkan sejumlah dokumen diterbitkan oleh ILUNI-JAKARTA dalam buku ini, bermaksud untuk memaparkan latar belakang hal-hal yang terjadi. Penulis tidak bermaksud untuk mengajukan gugatan sejarah, ataupun mengharapkan sesuatu dari paparan ini, terlepas dari maksud para penerbitnya. Penulis hanya ingin memaparkan apa yang terjadi agar supaya publik (terutama generasi mendatang) dapat mengambil pelajaran dari apa yang terjadi.

Kenyataan, bahwa penulis rela lengser dari jabatan Kepresidenan Negara, menunjukkan bahwa di negara ini, dalam pandangan penulis, tidak ada jabatan kenegaraan setinggi apapun yang patut dibela dengan tetesan darah putra Indonesia. Karena jabatan berbeda dengan prinsip perjuangan dan kemerdekaan serta keutuhan teritorial negara kita, yang harus dibela dengan nyawa. Jadi kita harus bersikap jelas dalam hal ini, membedakan prinsip pengaturan negara, dari kepentingan jabatan atau politis. Hanya dengan kemampuan berpikir seperti inilah, kepemimpinan dapat dijaga agar membela kebutuhan rakyat, dan tidak mengabdi kepada kepentingan seorang pemimpin betapa tingginya sekalipun jabatan itu. Ini berarti yang tidak pantas menjadi pemimpin haruslah mundur dari jabatan, kalau tidak ingin dicaci-maki oleh sejarah dan mayoritas bangsa.

Pelanggaran demi pelanggaran telah dilakukan atas UUD 45 atau konstitusi kita. Yang terakhir, ketika kata pengantar ini ditulis, adalah divestasi Indosat dan kenaikan harga BBM yang disertai kenaikan tarif listrik, telepon dan sebagainya. Hal ini tidak dibarengi oleh naiknya pendapatan sehingga menimbulkan reaksi sangat keras di mana-mana. Ancaman Presiden untuk “memerahkan Ibu kota” adalah tindakan atau kata-kata orang yang tidak mau mengerti substansi dan isi dari rangkaian demonstrasi di seluruh negeri. Boleh saja kita berpandangan lain dari pendapat para demonstran, tetapi keharusan mawas diri seorang Presiden, yang notabene pemimpin negara, haruslah selalu diingat. Skala prioritas bagi bangsa, adalah sesuatu yang mutlak diperlukan.

Mahkamah Agung kita sekarang, yang ternyata sangat takut mengeluarkan pendapat/ keputusan, sama sekali tıdak menjawab surat pernyataan yang dikirimkan oleh Klinik Hukum Merdeka yang membuat pertanyaan: legal atau tidak legalkah DPR dan MPR-RI yang ada sekarang? Mengingat hasil pengumuman penghitungan suara pemilu yang terakhir, yang baru dihitung 60% oleh KPU di bawah pimpinan Rudini, yang kemudian dihentikan oleh Keputusan Presiden Habibie mengenai komposisi DPR-MPR-RI. Mahkamah Agung tidak menjawab pertanyaan itu sehingga sampai hari ini pun tidak jelas, legal atau tidaknya DPR dan MPR-RI yang ada sekarang ini. Berarti, juga menjadi tidak jelas status segenap perundang-undangan dan ketetapan-ketetapan serta posisi Presiden dan Wakil Presiden hasil kedua lembaga tersebut.

Dengan demikian, secara teoritis negara kita berada dalam posisi yang tidak jelas. Benarkah DPR dan MPR-RI dan pemerintahan (eksekutif) hasil pemilu yang lalu dan yang kita kenal sekarang memiliki keabsahan / legalitas yang diperlukan? Kesulitannya terletak pada ketidakmauan Mahkamah Agung untuk menjawabnya, dengan demikian kita berada dalam kemelut teoritik yang tidak jelas posisinya. Nah, sistem seperti itu pula yang sekarang harus menyelesaikan krisis multidimensi yang menyangkut berbagai bidang kehidupan. Kalau sampai pihak pemerintah (eksekutif) mengambil keputusan keliru, seperti dalam hal kenaikan tarıf dasar listrik dan tarif berbagai bidang, serta divestasi Indosat (yang menyangkut masalah keamanan negara dan bangsa) bukanlah soal yang mengherankan. Penyelesaiannya menurut penulis harus dimulai dari pengetahuan yang tepat mengenai keadaan kita secara konstitusional.

****

Kumpulan tulisan ini menjadi salah satu bahan yang harus diperhatikan. Yang menyajikan dokumen yang kita perlukan, yaitu tentang Maklumat Keadaan Darurat atau bahaya yang penulis keluarkan pada tanggal 23 Juli 2001. Sebab dari keluarnya maklumat tersebut, hal-hal lain juga dapat dimengerti, seperti pernyataan bahwa penulis meminta agar ada orang-orang yang harus ditangkap oleh aparat keamanan negara kita. Karena Megawati Soekarnoputri mengadakan pertemuan pada siang hari sebelum maklumat tersebut dikeluarkan, dengan acara pokok memanggil Sidang Istimewa MPR RI, dengan sendirinya penulis harus melihatnya sebagai pelanggaran hukum atas konstitusi atau undang-undang dasar kıta. Penilaian itu timbul dari kenyataan bahwa penulis belum pernah dinyatakan bersalah secara hukum, terutama oleh Pengadilan Negeri manapun.

Jadi, telah terjadi tindakan politik untuk menggusur/melengserkan penulis dari jabatan Kepresidenan, yang berarti telah terjadi pelanggaran konstitusi. Kalau seorang Presiden saja dapat diperlakukan demikian, bagaimana dengan jabatan-jabatan lain di bawahnya ?

Bukankah hal demikian menunjukkan telah terjadi penyimpangan yang membahayakan keseluruhan sistim pemerintahan kita ? Ternyata, hingga sekarang pun belum pernah ada pengadilan hukum atas diri penulis, sehingga harus dibaca bahwa keseluruhan keputusan pertemuan di rumah Megawati Soekarnoputri di Kebagusan (Pasar Minggu) adalah tindakan politik tanpa dasar hukum sama sekali. Dengan kata lain, perlindungan hukum ditiadakan oleh pertemuan tersebut. Bukankah melakukan tindakan politik dengan meniadakan perlindungan hukum atas diri seorang warga negara Indonesia, berarti sesuatu yang membahayakan keutuhan negara. Untunglah penulis tidak memberikan perlawanan politik dalam bentuk apapun, karena menurut keyakinan tak ada jabatan kenegaraan setinggi apapun di negeri ini, dapat dipertahankan dengan tetesan darah manusia Indonesia. Sejarah akan membuktikan keyakinan seperti ini.

****

Penulis menanyakan kepada Mahkamah Agung akan hal ini, legal atau ilegalkah tindakan penulis selaku Presiden RI, mengeluarkan maklumat keadaan bahaya/darurat itu? Sampai hari ini, penulis tidak pernah memperoleh jawaban tertulis dari Mahkamah Agung kita atas pertanyaan itu. Hal yang sama, juga terjadi atas pertanyaan berikut apakah Panglima TNI Laksamana Widodo AS dan Kapolri S. Bimantoro Melakukan Insubordinasi ? Artinya apakah tindakan mereka untuk tidak melaksanakan perintah penangkapan, yang secara tertulis dilakukan penulis, merupakan tindakan mereka yang menunjukan pembangkangan / insubordinasi? Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Mahkamah Agung RI, ini menunjukkan bahwa lembaga hukum itu juga turut bermain politik.

****

Hasil dari tindakan politik itu, berarti tidak ada lagi kendali dan perlindungan hukum bagi siapapun di negeri ini, dan mengherankan kita juga kalau kemudian terjadi tindakan melawan konstitusi kita? Pembukaan UUD 45 menyatakan, bahwa negara (baca: Pemerintah atau pihak eksekutif) harus menjaga tersedianya kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (tegasnya, dapat membeli dengan harga yang pantas sesuai dengan penghasilan umumnya para warga negara). Jika kemudian harga dasar bahan bakar minyak dan beberapa tarif yang terkait dengannya, lalu menjadi naik dan tidak terjangkau oleh warga negara biasa, bukankah berarti telah terjadi pelanggaran atas perintah konstitusi atau UUD kita sendiri? Lalu, kalau MPR, DPR dan MA-RI tidak dapat melakukan koreksi atas keputusan tersebut, bukankah ini berarti memang tidak ada jalan lain di luar demonstrasi dan tekanan-tekanan politik untuk merubah keadaan? Ini adalah konsekuensi logis, yang tidak pernah diungkapkan oleh para pejabat kita, walaupun harus diakui ada orang-orang yang memanfaatkan hal itu secara politis untuk ambisi pribadi masing-masing? Ini adalah kenyataan yang sangat menyedihkan, yaitu bahwa segala sesuatu harus “diselesaikan” secara politis, dan bukannya secara hukum. Menyedihkan, bukan?