Nahdlatul Ulama dan Khittah 1926

Sumber Foto: https://khazanah.republika.co.id/berita/qnqmmv385/khittah-nu-1926-dan-nahdliyyin-di-pusaran-politik

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

I

Untuk mengetahui Khiththah dan eksistensinya dalam sejarah pergolakan bangsa kita harus mengetahui terlebih dahulu periodesasi perjungan Nahdlatul Ulama secara utuh.

Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi Jam’iyah diniyah mahdlah, murni yang lahir tahun 1926. Contoh kemurniannya adalah Tanfidziyah dan Syuriyah orangnya sama. Dalam artian kegiatan yang dilakukan adalah amal khairiyah, yaitu masalah pendidikan, da’wah (kegiatan sosial dan ibadah murni).

Periode murni ini memakan waktu kurang lebih 10 tahun, yaitu tahun 26-36. Pada tahun 1936 dalam mu’tamarnya di Banjarmasin menetapkan bahwa Negara dan Tanah air Indonesia wajib dilestarikan, wajib menurut fiqh.

Kewajiban fiqhiyah ini membawa konsekwensi, memberikan legitimasi untuk pembenaran bagi munculnya orang Nahdlatul Ulama yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan secara terbuka, tidak hanya murni keagamaan, Itu artinya perjuangan ikut gerakan kebangsaan dan perjuangan nasional untuk merebut kemerdekaan sudah meluas di kalangan warga NU, semacam kyai Dahlan, Kyai Ridwan, kemudian orang-orang Tanfidziyah menyusulnya. Lalu setelah muncul Kyai Wahab di Tanfidziyah yang berpandangan lebih modern. Kyai Mahfudz Shidiq, Kyai Abdullah Ubaid, Kyai Masykur, Kyai Wahid Hasyim, Kyai Dahlan Kertosono Nganjuk, ini semua tokoh-tokoh perjuangan yang mempunyai pandangan lebih luas, maka jadi luaslah pandangan warga NU terhadap perjuangan kemerdekaan, tidak hanya keagamaan murni. Jadi kalau segala sesuatunya dahulu dilihat dari fiqh, lalu sekarang sudah kearah yang lebih luas titik tolaknya.

Inilah yang saya namai tahap perjuangan politik idealistik. Jadi idealisme politik merebut kemerdekaan dengan cita-cita yang bermacam-macam. Ideal itu penuh cita-cita, lalu mereka mendirikan MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia), turut membuat Masyumi, membuat bermacam-macam organisasi perjuangan. Tapi mereka masuk ke oraganisasi tersebut bukan karena politik praktis. Tapi lebih banyak presentase dari Nadlatul Ulama untuk mengisi kemerdekaan Indonesia ini. Tahap ini kurang lebih selama 20 tahun dari tahun 36 s/d 55 an.

Umur Nahdlatul Ulama yang lebih mencapai 60 tahun sekarang ini, 35 tahun dipakai untuk dua tahap, yaitu tahap perjuangan murni dan tahap ideal. Kemudian 32 tahun kedua menjadi kekuatan politik, dari tahun 1955 samapai dengan Mu’tamar Situbondo, 1984, yang juga dinamakan tahap ke III. NU pada tahap ini sudah tidak terkait lagi dengan partai politik manapun. Berbalik menangani perjuangan kemasyarakatan paripurna atau semesta, kita tangani masyarakat kemana saja. Jadi segala aspek kita garap. Dan politiknya ada sendiri porsinya.

II

Tempat khiththah adalah untuk mengantarkan tahap ke III yaitu tahap politik praktis ke bentuk perjuangan kemasyarakatan semesta, lalu kita lihat proyeksi ke depan. Dengan adanya khiththah 1926, Nahdlatul Ulama sekarang adalah sudah melepaskan diri kaitan langsung dengan politk praktis. Nahdlatul Ulama tetap berpolitik. Tetapi berpolitik tidak merepotkan diri dengan kelembagaan politik. Jadi perannya saja. Seperti Galkar, PPP atau PDI sekiranya kepingin memanfaatkan NU harus lebih dekat dengan NU. Kalau lebih maju lagi menempatkannya adalah merupakan proyeksi ke depan yang masih panjang.

Peran politik yang lebih baik itu peran transformasi, perubahan masyarakat, bahwa Nahdlatul Ulama harus mempersiapkan warganya memasuki era Industri tanpa kehilangan sendi-sendi keagamaannya. Ini merupakan statement yang kompleks, repotnya bukan main, kelihatannya sederhana.

Jadi arti NU harus menciptakan di dalam dirinya momentum atau dorongan yang memungkinkan warga NU itu menjadi manusia modern tapi tetap muslim yang baik dan Ahlussunah wal jama’ah, mengikuti salah satu madzhab empat. Ini proyeksi kita ke depan, bukan peranan politik. Karena melakukan perubahan sosial itu merupakan pekerjaan politik hanya saja politiknya tidak kelembagaan Politiknya adalah merumuskan jalannya negara kita, merumuskan jalannya bangsa kita. Karena politik itu ada lembaganya. Sebetulnya kelembagaan itu, bagian pertama dari politik. Kalau sudah direbut lembaganya, lalu untuk apa politik. Untuk merumuskan kehidupan bangsa, untuk mengarahkan masa depan bangsa, membuat undang-undang, membuat peraturan dan lain-lainnya, yang intinya mengarahkan kehidupan bangsa. Untuk NU tidak perlu tahap yang pertama (kelembagaannya), cukup yang kedua. Sebab kalau sekarang NU walaupun tidak ada wakilnya di Golkar, di PPP dan PDI tetapi kalau MPR saja katut. Kalau 10 orang saja NU di parlemen bobot suaranya melebihi ratusan yang lain. Upamanya saja pemerintah mau membuat UU Perkawinan di mana boleh kawin antar agama, atau menghalalkan judi. Berhubung tidak cocok dengan kepribadian NU, saya rasa tidak akan diteruskan. Jadi kita, masih punya peranan. Peranan mengarahkan, walaupun kadang-kadang ijabi (positif) kadang-kadang salbi (negatif). Negatif itu timbulnya dari pertimbangan kekuatan. Pertimbangan kekuatan itu kalau di Indonesia bukan ditentukan oleh lembaga politik, yang namanya DPR dan komponen DPR yaitu fraksi-fraksi dan induknya Fraksi yaitu Golkar dan partai- partai lainnya, tetapi pertimbangan kekuatan di Indonesia di bidang pengambilan keputusan untuk kepentingan bangsa dan negara itu di bagi antara tujuh, MPR yang membuat GBHN, sedangkan DPR membuat UU, dari situ dibuat peraturan pemerintah oleh eksekutif yang meresmikan dan yang memformalkan.

Adapun keputusannya digodok dan diproses oleh tujuh kekuatan di masyarakt, yaitu:

1. ABRI

2. Birokrasi

3. Kekuatan Sospol

4. Organisasi Profesi

5. Organisasi Kemasyarakatan,

6. LSM

7. Media Massa.

Dalam kekuatan tersebut, NU merupakan ormas, mempunyai kekuatan untuk mengadakan perubahan. Bahwa perubahan sosial tidak akan hanya di lakukan oleh kekuatan politik, Golkar, PPP atau PDI saja sebagai salah satu kekuatan politik. Juga tidak hanya oleh ABRI saja atau birokrasi saja, juga tidak oleh masing-masing ormas saja. Tetapi dilakukan bersama-bersama, kalau terjadi perbedaan visi, maka terjadi tawar-menawar. Posisi tawar menawar itu akan menjadi kuat apabila ada pihak yang berhasil mengumpulkan teman terbanyak. Jadi kalau saya akan melakukan perubahan masyarakat Indonesia, teman saya adalah ormas, organisasi profesi, LSM, Media Massa dan sebagainya. Pihak lain Sospol, ABRI dan Birokrasi. Dalam tawar menawar ini, posisi kita kuat. Sekarang marilah kita periksa selama ini NU seperti apa. Tatanannya bagaimana, duduknya dimana dalam jaringan itu. Kita temannya pers, seperti Ali Maksum mendapat musibah, begitu cepat keluar di media massa, juga tentang NU. Bisa saja positif, bisa juga negatif, tetapi umumnya yang dimuat yang positif. Diantara sebab kenapa keluarga NU tidak mengalami goncangan hebat, setelah pisah dari kekuatan sospol itu, kerena media massa membantu NU, mengapa? Mereka menghormati konsistensi, mereka tahu keikhlasan ulama, mereka tahu pengabdian, mereka selalu sering dibohongi orang. Jadi media massa itu tertarik, tersentuh hatinya kepada NU. Juga turut merasakan dan sama-sama sependapat tentang cita-cita masa yang akan datang, yaitu masyarakat yang bebas, NU kan tidak pernah ngomong-ngomong, teriak-teriak seperti hal kebebasan berpendapat. Di NU ada kebebasan berpendapat, juga di Muhammadiyah. Kuncinya apa? Kalau terjadi rapat pergantian pengurus tidak dari atas, tapi dari bawah. Kalau tingkat MWC ditunjuk oleh ranting, tingkat cabang ditunjuk oleh MWC, Wilayah dan PB ditunjuk oleh Cabang dalam Konggres atau Konprensi Wilayah selama itu berjalan, selama itu pula NU masih bisa dihargai orang luar. Jadi kalau ditanya tentang kekuatan demokrasi di Indonesia, yang ada tinggal NU dan Muhammadiyah. Kalau terjadi perkelahian antara NU dan Muhammadiyah, sebenarnya sungguh mengherankan. Jadi kita dihormati orang karena itu.

LSM sudah ngalembono (mendekat) sama NU, sebab peranannya melayani masyrakat. Dia tahu masyarakat itu milik NU. Jadi pada umumnya mereka respek kepada NU, karena punya akar dan mempunyai potensi untuk mengembangkan masyarakat. Bagi mereka merupakan sekutu, kalau mendukung NU hasil mereka akan luar biasa. Ormas lainnya, walaupun ada perbedaan pandangan, tetap mengakui NU sebagai teman kerjanya.

Lalu lembaga profesi, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) merupakan lembaga profesi yang hormat dengan NU. Jadi boleh dibilang semua pihak dengan NU sama menghormati. Di Birokrasi penghormatan kepada NU juga cukup kuat, di politik jelas kita punya umat sehingga memerlukan kita. Lalu ABRI, ingin stabilitas mereka juga perlu kepada NU. Jadi kekuatan di berbagai bidang bisa dibuat tawar menawar bagi penciptaan Indonesia masa depan. Pertanyaannya, Indonesia yang bagaimana?

Indonesia yang menurut saya, Indonesia yang melaksanakan kedaulatan hukum sepenuhnya yang menjamin kebebasan berpendapat dan berbicara serta yang memperlakukan warganya secara sama. Ada kesamaan perlakuan sesama warga negara. Sebab sakit kita waktu itu, ketika ada komando jihad, jangan membalas menyakiti orang kalau sudah merasakan itu sakitnya setengah mati. Jangan sedikit-sedikit, berkata ini masa, kita gencet, ini masa Muhammadiyah, kita gencet. Namun tidak mendidik. Berarti yang gede tidak bisa momong, seperti anak kecil saja. Disinilah beratnya jadi orang besar. Makanya organisasi NU yang gede, pimpinan organisasinya jarang yang dihargai orang banyak. Karena banyak yang seperti anak kecil. Tetapi menurut perasaan saya bisa diterima dimana-mana, seperti saya ini bisa diterima dimana-mana. Sebab pikiran saya, NU harus bisa melayani orang banyak. Nanti lama-lama mereka akan ikut kita, melayani kita tapi tidak terasa disuruh melayani, karena lebih dahulu kepentingannya diperhatikan, hendaknya pimpinan NU di masa depan bisa begini semua. Misalnya, K.H. Ahmad Shiddiq, tidak ada satupun tokoh-tokoh di negeri ini yang tidak kagum terhadap dia. Secara teoritik bagaimana beliau bisa mendudukkan Mitsaqul Madinah. Jadi kita sudah bisa melihat menuju Indonesia yang demokratis, yang berkeadilan hukum, berkebebasan, dan yang memberikan perlakuan sama kepada warga negara. NU bisa melakukan berbagai tawar menawar dengan yang lainnya. Dimulai dari larangan da’wah dicabut, diberi dukungan finansial, fasilitas, lama-lama bukan saja da’wah dalam arti forum yang terbuka bagi masyarkat, tapi forum untuk menyatakan pendapat. Tradisi sangat penting untuk bangsa kita di masa depan. Jangan dilihat da’wah itu sempit. Hanya sekedar mengajak-ajak kepada Islam, tetapi lebih dari itu, Islam secara luas.

III

Islam sebagai pandangan kemasyarakatan, yaitu masyarakat yang baik, berproyeksi ke depan. Kalau berdasarkan proyeksi yang demikian, maka sudah tentu wajar kalau Nahdlatul Ulama itu hanya mengikatkan kepada salah satu kekuatan sosial politik saja. Karena kita sudah tidak bisa melakukan tawar menawar lagi. Ke Golkar tidak bisa diterima, karena PPP, kita ke KOPRI maaf karena KOPRI merangkap jadi mengurus NU tidak boleh. Lalu jadi anggota NU sembunyi-sembunyi, lalu yang lain sama saja semuanya. Apa lagi PPP memang belum lepas dari gambaran sektarian, gambaran juz’iyah, yaitu hanyalah dia sekedar partai Islam. Kalau sekarang sudah tidak berpolitik lagi, tidak terkait dengan kelembagaan politik lalu kita mengadakan tawar menawar dengan semua pihak, caranya bagaimana. Tentu saja pertama-tama membuktikan lebih dahulu. tidak ada orang yang bisa tawar menawar tidak punya pekerjaan atau tempat yang kita tawarkan. Upamanya saja tawaran tentang pembangunan, pembangunan jalan harus begini, tetapi kita hanya ngomong saja, ini tidak akan ada yang menanggapi. Jadi kita laksanakan menurut kemauan kita, menurut kemampuan kita, pembangunan dari bawah, direncanakan dari bawah, jangan instruksi dari atas. Oleh karena itu kita perlu membikin sendiri program pembangunan yang direncacaakan dari bawah.

Kalau kita tidak ingin pembangunan itu sifatnya sepihak, kita bisa membuat sendiri program pembangunan yang tidak sepihak artinya rakyat yang menentukan. Berhubung pembangunan itu tidak cukup pretelan-pretelan tapi harus terpadu, kita bikin yang terpadu. Jadi kita buktikan lebih dahulu bentuk pembangunan melalui proses salah coba, salah uji, yang benar diteruskan yang salah ditinggal, begitu seterusnya. Itu kegiatan konkritnya.

Visi kemasyarakatan kita untuk masa depan seperti apa. Ini harus dirumuskan mulai sekarang. Kelembagaannya harus bisa menampung kebebasan menyatakan berpendapat, kedaulatan hukum dan menyalurkan aspirasi bawah.

Kalau kita di NU sudah tidak pakai undang-undang, tidak pakai aturan, terus cotat-catut nama orgnisasi, memaksakan kehendak dan sebagainya. Kalau caranya begini, kitan ngomong kedaulatan hukum, tentu orang tidak ada yang percaya. Justru karena itu para ulama-ulama untuk menerima asas Pancasila harus ngumpul dahulu di Situbondo, gegeran dahulu segala macam. Seperti dicover mass media tentang gegeran saya dengan Prof.Dr. H. Thalkah Mansur dari Yogyakarta. Bukan mencari kalah atau menang, tapi untuk mencari keputusan itu melaui proses perdebatan yang sengit, setelah diterima semua pihak, diterima dengan kesatria, ini membuat NU dihargai orang. Karena apa? Karena disitu ada kedaulatan hukum, kebebasan mengatakan pendapat. Hukum itu artinya dalam hal ini keputusan yang diambil secara organisatoris, sudah sah karena semua sudah ikut. Jadi prosesnya, arahnya dan seterusnya ditata dengan musyawarah. Kita melihat proyeksi ke depan sebagai proses membangun, sebagai latar belakang sejarah, kalau sudah kita lihat semuanya, baru kita tuangkan dalam Khiththah.

Kiththah itu sebenarnya sederhana saja, yaitu:

1. Pernyataan dan pembenaran terhadap cara berpikir Nahdliyin ala Ahlussunah wal jama’ah.

Itu penting, sebab lain dengan Khawarij, Mu’tazilah dan Syi’ah. Kelihatannya sepele, tapi penting untuk diterangkan. Kita sering tergoda menyempitkan Ahlussunah wal Jama’ah, yaitu dengan meringkas bahwa Ahlussunah wal Jama’ah itu bermadzhab “fiqh”, mengikuti Abu Mansur Al Maturidi dan Abu Hasan Al Asy’ari, dalam bidang tauhid, serta bidang thariqat mengikuti Imam Junaid Al Bagdadi sampai dengan Imam Al Ghazali. Ahlussunah wal Jama’ah tidak sesempit itu.

Pandangan Masyrakat tentang Ahlusunnah wal jama’ah itu ter- cermin dalam kaidah-kaidah fiqhiyah, darul mafasid muqaddamun ala jalbil mashaleh (menolak kerusakan harus didahulukan atas mencari kemaslahatan). Jadi mafsadah dulu yang harus ditanggulangi dengan membawa baiknya. Memang pakai Honda itu baik, karena pendidikan bisa baik, anak sekolah bisa berjauhan tempatnya, tapi jangan dipamerkan di depan reklame yang naik gadis dengan celana yang “pas-pasan”. Bahkan nantinya di dalam kenegaraan faham Ahlussunah wal jama’ah mengatakan, maa yudraku kulluhu la yadraku jalluhu (apa yag tidak bisa dicapai seluruhnya, jangan ditinggalkan yang pokok).

Bagi yang ingin membikin negara Islam, kalau tidak bisa, jangan ditinggalkan yang paling pokok. Negara di mana kaum muslimin bisa menegakkan tauhid, orang kalau bertauhid tentu berprilaku berdasarkan syari’at. Negara tidak mengukuhkan syari’at sebagai sumber hukum. Kalau ingin syari’at dapat berjalan di negara ini, kita pakai saja sehari-hari untuk kehidupan beragama.

2. Kerangka kegiatan kemasyarakatan Ahlussunah wal Jama’ah berdasarkan pada patokan-patokan,:

a. Orang harus tawassud, berpendirian yang tengah-tengah menyangkut kepentingan masyarakat banyak.

b. I’tidal, yaitu prinsip menggunakan metode-metode yang sesuai dengan kepentingan masyarakat.

c. Tasamuh, kita harus berlapang dada. Ini semangat kemasyarakatan, kerangka kemasyarakatan diikat dengan sejelas-jelasnya.

d Tawazun, keseimbangan, semangat yang utama tentang amar ma’ruf nahi munkar, sudah ada dasarnya bagi umat Islam.

Setelah itu semua lalu siapa yang pegang pimpinan, kita semua bekerja. Dasarnya Ahlussunnah wal jama’ah, kerangkanya semangat kemasyarakatan, lalu siapa yang memimpin, tentu ulama. Kepemimpinan ditangan ulama, dalam arti tidak sembarang orang yang mepimpin, bukan berarti menunggu dawuh dari ulama dalam menjalankan tugas, tapi tanfidiyah dan para pemuda lainnya bekerja mendapatkan persetujuan dari ulama, yaitu syuriyah. Dengan begitu kohesi kita kesatuan kita ini tidak pecah belah, sebab yang jadi ulama harus hati-hati, karena memegang pimpinan, jangan terus berpihak kalau ada orang berpendapat. Tapi bagaimana perbedaan pendapat itu tidak merusak organisasi. Lalu lapangan kerja apa yang harus kita kerjakan. Berhubung kita sudah tahu dasar pemikirannya Ahlusunnah Wal Jama’ah, semangat kerakyatannya, kepemimpinannya ulama, maka pekerjaan yang kita kerjakan harus sesuai dengan Anggaran Dasar NU, yaitu :

1. Peningkatan Silaturrahmi.

Kalau orang sudah tahu tempatnya masing-masing, menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik, melaksanakan hak-hak dan kewajibannya dengan tepat, saya kira tidak ada gegeran-gegeran, ribut-ribut, dan kalau ini bisa dilaksanakan, baru tercapai silatur- rahmi. Jadi yang termasuk silaturrahmi itu adalah penataan dan pemantapan organisasi secara tuntas.

2. Peningkatan Pendidikan

Seperti kita lihat pendidikan yang paling besar jumlahnya adalah NU, tetapi yang paling semrawut ialah NU. Mutunya juga paling rendah. Seperti PP Ma’arif, kalau ditanya sistem pengajarannya, apa. Jawabnya, sistem pendidikan. Padahal sistem pengajaran itu bagian dari pendidikan. Kenaapa orang bisa merumuskan sistem pendidikan, tanpa merumuskan sistem pengajarannya. Lalu yang terjadi menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Yang dimaksudkan pengajaran tapi yang disebut pendidikan. Makanya pendidikan itu kalau menurut NU, adalah sekolahan, pada hal NU ini kaya sekali dengan model-model pendidikan yang non pengajaran, mulai dari Ibtida’iyah sampai Aliyah.

Kemudian penggunaan kutubul muqaranah, dari kitab Safinatun Najjah sampai Syarhul Muhadzab 14 jilid, ini kan merupakan kekayaan budaya NU, kenaapa yang kelihatan di luar itu hanya sekolahannya saja. Pondok Pesantren tidak kelihat, karena tidak pernah dirumuskan dan diurusi, Rabithatul Ma’ahidil Islamiyah saja organisasinya la yamutu wa layahya (tidak mati dan tidak hidup). Ada kegiatan kalau ada pergantian pengurus, sehabis itu sepi lagi.

3. Bidang kegiatan Da’wah

Da’wah itu sebenarnya kegiatan yang bruit, yang kompleks sekali. Kalau kita mau melakukan da’wah, lihat dulu hikmahnya. Menempatkan sesuatu pada tempatnya, ini artinya da’wah itu harus memperhitungkan yang di da’wai. Da’wah itu antara satu orang dengan yang lainya tentu berbeda pendekatannya. Kaum miskin dengan kaum kaya. Masyarakat kecil dengan masyarakat luas. Lingkungan kota dengan lingkungan desa, juga lain semuanya. Apakah kita pernah punya kebijaksanaan da’wah yang seperti ini. Padahal ajaran kita, kekayaan rohani kita, bekal kebudayaan kita kalimunnasa ‘ala godri uqulihim “( kalau bicara dengan orang lain sesuaikan pemikiran dan kemampuannya). Apakah NU sudah mampu melaksanakan konsep itu apa belum. Dalam kekayaan kultural konsep itu tidak dirangkai dalam satu metode da’wah yang jelas dan bulat. Kalau ada metode tentu ada kelengkapan kecapaiannya. Kalau ingin mencapai sesuatu harus tahu sasarannya. Sasaran da’wah ini tidak pernah dirumuskan. Lalu da’wah ini harus diperluas, NU tidak pandai menjaga peristilahan bahasa Arab. Sekarang ada istilah da’wah bilhal, da’wah dengan bukti nyata, da’wah dengan kerja nyata. Seperti orang-orang kristen, cerita anak-anak sudah diborong orang kristen semua, kaset-kaset, film, koran yang top semuanya telah milik mereka. Ini semua harus ditandingi, harus diimbangi tapi jangan digencet, supaya masyarakat kita tambah kaya, dalam suasana ini kita masing-masing memberikan sumbangan kepada kehidupan nasional. Sastra, kesenian bisa dipakai da’wah. Misalnya napak tilas dalam rangka maulid Nabi. Lomba lari marathon untuk memperingati 1 Muharam, koperasi alih teknologi sederhana ke pedesaan atau pengembangan teknologi pertanian. Jadi disini bagi saya pendidikan dan da’wah lebih penting da’wahnya, karena da’wah itu akan mengarahkan pendidikan.

4. Peningkatan Kesejahteraan Warga

Tingkat pendidikan dan kehidupan warga NU memang taqdirnya demikian. Yang paling miskin, paling terbelakang, paling tidak terawat kesehatannya, kebersihannya tidak menggembirakan, yang paling terkena pencemaran lingkungan, yang paling tidak bisa mengorganisir diri dibidang sosial ekonomi, padahal sosial ekonomi itu semata-mata masalah organisasi. Bagaimana yang mengorganisir kekuatan, mengumpulkan modal secara kolektif untuk mencapai hasil yang diharapkan, ini semua memerlukan peningkatan penggarapan secara besar-besaran. Kalau kita secara Cibaduyut tempatnya sepatu itu di Bandung seluruhnya itu warga NU. Di Klaten Batur, cor besi itu semua warga NU, sampai tukang cornya, demikian juga kaum tani. Tapi dimana ada pengusaha NU yang kuat. Kemampuan usaha itu yang tidak ada. Ketrampilan cukup. Oleh karena itu, kalau ada progam ketrampilan supaya disisipkan tindak lanjutnya yaitu ketrampilan berusaha. Jadi bagaimana menumbuhkan ketrampilan itu sendiri.

IV

Jadi ini merupakan pokok isi dari khiththah. Khiththah itu artinya agenda yang kita tarik dari Anggaran Dasar tahun 1926. Bukan berati harus tidak ada perubahan. Agenda itu dari waktu kewaktu ada perubahan. Seperti GBHN, tiap 5 tahun ada perubahan. Khususnya untuk pelaksanaan khiththah, memang pelasanaan itu bisa satu tahap, cuma tekanan pelaksanaannya sekarang ini bagaimana bisa melakukan di 4 bidang tadi, diperlukan pengembangan ketenagaan atau man power development tugas kita sekarang menciptakan tenaga-tenaga untuk itu. Seharusnya komponen pengembangan sumberdaya manusia ini merupakan prioritas. Artinya kalau membuat program diutamakan arahnya kepada peningkatan sumberdaya manusianya, adapun sasaran yang berbentuk kerja, seperti peningkatan sosial ekonomi sebagai sarana untuk mengembangkan sumberdaya manusia.