NU Dulu dan Kini
Oleh: K.H Abdurrahman Wahid
NAHDLATUL Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan orang Islam terbesar di dunia saat ini. Sepuluh tahun yang lalu, ada orang yang mengatakan warga NU 35 juta orang, sedangkan Muhammadiyah berjumlah 28 juta jiwa. Beberapa tahun kemudian, pihak intelijen sebuah negara jiran menyatakan, warga NU ada 60 juta orang, sedangkan Muhammadiyah 15 juta orang.
Sewaktu penulis menjadi presiden ada yang mengeluarkan laporan tertulis, warga NU ada 90 juta orang, sedangkan Muhammadiyah lima juta orang. IAIN (sekarang disebut UIN, Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah di Ciputat melakukan survei, bahwa NU berwarga 42% penduduk Indonesia, sedangkan Muhammadiyah 15%. Penulis bermaksud menunjukkan, bahwa NU memiliki arti penting dalam kehidupan bangsa kita, sejak berdirinya dalam tahun 1926, dan saat ini pun masih memiliki arti seperti itu. Karenanya, sebagai bangsa tiap perubahan di NU akan berarti banyak bagi kita.
Demikian pula, kelahiran NU juga terkait dengan pertumbuhan kita sebagai bangsa dan negara. Di tahun 1935, menurut Einar Sitompul dalam tesisnya yang kemudian diterbitkan oleh Badan Penerbit Kristen Gunung Mulya di Jakarta, NU menyatakan tidak perlu adanya negara Islam di kawasan Nusantara, sesuai dengan teks kuno Bugyah Al-Mustarsyidin, kawasan bekas kerajaan Islam harus dipertahankan, termasuk kawasan Hindia Belanda yang diperintah oleh kaum non-muslimin, karena dahulunya ada kerajaan Islam di kawasan tersebut. Kewajiban mempertahankan kawasan tersebut adalah karena tentu di dalamnya ada orang-orang yang ingin mempertahankan ajaran-ajaran Islam dalam teori dan praktik. Di samping itu, muktamar juga menyatakan tidak diperlukan negara Islam untuk melaksanakan ajaran agama tersebut. Karena itu, dengan mudah NU menerima kehadiran Negara Pancasila, walaupun tidak melarang kehendak mendirikan Negara Islam.
Pada tahun 1943, pihak Jepang bertanya siapakah yang menjadi wakil bangsa kita dalam negosiasi kemerdekaan dari tangan Jepang? NU menjawab yaitu Soekarno. Ini berarti NU membedakan kepentingan bangsa kita dari kepentingannya sendiri, sebagai golongan. Ini menunjukkan lagi-lagi perlu adanya perbedaan antara kepentingan seluruh bangsa dari kepentingan golongan. Ini adalah pengakuan mereka terhadap pluralitas/kemajemukan penduduk yang mendiami kawasan ini, dan perbedaan asal-usul mereka dalam Bahasa Ibu, penampilan etnis dan biologis, budaya dan adat kebiasaan, agama dan pemikiran ideologis yang mereka kembangkan. Karena itu, tidaklah mengherankan jika mereka lalu menerima “permintaan” kaum non-muslimin dalam pembentukan negara kita setelah proklamasi diumumkan tanggal 17 Agustus 1945, untuk mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar 1945 saat itu. Bersama semua gerakan-gerakan Islam, NU mengakui persamaan kedudukan warga negara di muka undang-undang.
Pada tanggal 22 Oktober 1945, Pengurus Besar (PB) NU di Surabaya mengeluarkan ‘Resolusi Jihad’, yang menyebutkan kewajiban mempertahankan Republik Indonesia adalah jihad di jalan Tuhan (Jihad Fi Sabilillah), artinya mempertahankan sebuah negeri non-Islam adalah kewajiban agama. Ini menunjukkan hubungan sangat halus antara negara sebagai entitas/wujud wadah untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama tersebut. Inilah yang sering disalahpahami sebagai ‘kewajiban’ mendirikan negara, untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama samawi tersebut. Hal ini tampak jelas dalam Keputusan Menteri Agama KH A Wahid Hasyim di tahun 1950, bahwa pelajar putri berhak mendaftarkan diri untuk memperoleh beasiswa pemerintah (seperti halnya para siswa pria) untuk diterima pada sekolah Guru Hakim Agama Islam Negeri (SGHAIN) yang sekarang menjadi Fakultas Syariah Jurusan Qadha pada IAIN/UIN yang ada di negeri kita.
Keputusan di atas berdasarkan kenyataan, bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara Pancasila dengan UUD yang tidak membeda-bedakan antara para warga negara pria dan wanita. Ini juga yang menjadi dasar bagi keputusan sidang kabinet yang penulis pimpin sebagai Presiden RI sebulan sebelum dilengserkan secara tidak sah, bahwa setiap Undang-Undang atau peraturan DPRD I dan II, yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yang ada, dianggap batal dengan sendirinya. Hal ini menjadi sangat penting, karena manyangkut persamaan hak dan kewajiban bagi kita para warga negara tanpa pandang bulu. Pihak Mahkamah Agung adalah badan yang berhak mengambil keputusan dalam hal ini, seperti juga bahwa lembaga tersebut adalah satu-satunya badan yang berhak menentukan sesuatu hal menggangu ketertiban umum atau tidak, bukannya Polri.
Akan sangat menentukan keadaan NU dahulu dan sekarang jika kita lihat, dahulunya pimpinan NU berkerja atas keikhlasan, kini kita lihat ada upaya untuk ‘membeli’ pengaruh itu dengan uang dan jabatan. Sudah tentu hal seperti ini harus segera diakhiri, jika kita ingin melihat bahwa tidak semua pihak harus memperebutkan’ kekuasaan melalui uang dan jabatan. Hal itulah yang menjadi pangkal “ketimpangan” sistem politik yang kita miliki sekarang. Para pemimpin sistem politik serba timpang itu mencoba mempertahankan kedudukan (status quo) dengan jalan membeli pengaruh dan kekuasaan. Kalau kita ingin membebaskan’ sistem politik kita dari hal-hal seperti itu, bukankah hal itu juga harus dimulai dari lembaga-lembaga yang memiliki pengaruh besar seperti NU? Sebuah keinginan yang tidak berlebihan rasanya bagi kita.
Dahulu selalu ada kesungguhan untuk melakukan keadilan dalam bentuk semangat kekeluargaan yang kuat, yang berbentuk fair play (permainan sehat) dalam penyusunan kepengurusan NU. Dan, pelantikan mereka di berbagai tingkatan satu-satunya hal yang harus diperhitungkan’ adalah ajaran-ajaran agama dan etika/akhlaknya. Jika sudah memenuhi hal itu, tidak perlu diperhatikan apa yang dilakukan “orang di bawah” dalam penyusunan kepengurusan. Ketika penulis menjadi Ketua Umum PBNU (akhir 1984 hingga awal 2000), hasil-hasil konferensi cabang dan wilayah provinsi selalu dibuat surat ketetapan (SK)-nya. Kemudian barulah ditetapkan hari pelantikan mereka. Jadi tidak ada pilih kasih, apakah itu anak buah KH As’ad Samsul Arifin dari Situbondo, ataukah anak buah Idham Chalid. Semuanya itu diperlakukan sama, tugas Ketua Umum PBNU adalah menghargai hasil-hasil konferensi intern NU itu pada berbagai tingkatan.
Kedua hal yang disebutkan di atas, adalah sesuatu yang terasa berubah dalam tubuh NU selama beberapa tahun terakhir ini. Siapa yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan PBNU tidak mendapatkan SK dari PBNU, serta tidak kunjung dilantik. Ini akan melemahkan NU dalam jangka panjang, karena memang kekuatan-kekuatan kreatif hanya mau berada ada di lingkungan NU tanpa uang dan jabatan, jika tidak “dikekang” oleh siapapun. Inilah yang selalu diingat penulis selama menjadi Ketua Umum PBNU dalam periode 1984-2000. NU bukanlah organisasi politik praktis yang menjanjikan apa-apa kepada para pengurusnya melainkan perkumpulan perjuangan yang terkait oleh cita-cita bersama, bukan oleh kepentingan bersama. Kalau hal ini dilupakan oleh pimpinan NU sendiri, maka ia telah menyimpang dari arah yang dimilikinya ketika ia didirikan dalam tahun 1926.
Karena hal-hal di atas itulah maka NU sebagai perkumpulan perjuangan di bidang keagamaan sekarang menjadi salah satu kekuatan besar di negeri kita, yang memberikan inspirasi dan semangat berjuang untuk menegakkan demokrasi di negeri kita. Sebagai satu-satunya alat perjuangan berarti yang memperjuangkan demokrasi di negeri kita, NU diharapkan dapat menjadi pelopor bagi kebangkitan bangsa di bidang ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Karena itulah ‘kebersihan’ diri pengurusnya dan sikap yang adil bagi semua pihak di kalangan mereka harus dipertahankan mati-matian, untuk memimpin perjuangan bangsa kita ke arah kebebasan dan kekuatan yang kita kehendaki.
Kalau hal ini tidak diperhatikan, lebih baik NU dimatikan saja, dan dibentuk organisasi baru yang berjiwa demikian, seperti dikehendaki oleh beberapa orang sesepuh dalam pertemuan mereka pada sebuah pondok pesantren di Jawa Timur baru-baru ini. Langkah drastis, namun hal ini biasa terjadi dalam proses mengambil dan membuang di lingkungan sejarah manusia, bukan?