Pancasila dan Kondisi Objektif Kehidupan Beragama
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam meniliki kehidupan beragama di negeri kita dewasa ini, sebuah “benang merah” tak terelakkan lagi selalu muncul ke permukaan. Ia merupakan penggambaran dari kondisi objektif kehidupan beragama kita sebagai bangsa. Wujudnya adalah masih besarnya rasa saling mencurigai antara sesama kita, baik dalam artian masyarakat beragama maupun pemerintah.
Di antara sesama pemeluk agama masih belum terjalin rasa saling mempercayai, bukan hanya antara para pemeluk agama yang berbeda, melainkan juga antara pemeluk agama yang sama. Demikian juga antara pemerintah dengan masyarakat pemeluk agama masih terdapat salah pengertian akan sikap dasar yang dianut masing-masing terhadap agama, sesuatu yang memang tak terhindarkan lagi akan saling berbeda.
Antara para pemeluk berbagai agama belum tercapai kesepakatan akan hakikat pemahaman yang harus dilakukan. Yang dimasudkan di sini adalah pemahaman atas keyakinan agama orang lain. Kaum muslimin masih menganggap konsep tauhid Islam adalah satu-satunya penafsiran, yang dapat diterima atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsep tauhid ini menekankan ketunggalan Tuhan dalam esensi maupun manifestasinya.
Pandangan seperti ini jelas sekali merupakan penerapan konsep Islam atas pemahaman para penganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha. Mereka semua memisahkan antara hakikat Tuhan dengan manifestasi-Nya. Dalam pandangan ini, keyakinan akan ketunggalan zat Tuhan sudah memahami untuk menafsirkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, walaupun dalam manifestasinya Tuhan akan mengambil penggambaran simbolis berbilang lebih dari satu.
Keyakinan akan Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Suci di kalangan kaum Katolik dan keyakinan umat Hindu akan dewa-dewa, merupakan bentuk konkret dari penafsiran ini. Sudah tentu terasa tidak masuk akal bagi kaum muslimin. Sebaliknya, kaum muslimin mendambakan pelaksanaan ajaran agama secara tuntas. Ini dirasakan sebagai penggunaan negara untuk kepentingan satu pihak saja bagi umat beragama lain.
Persepsi seperti itu yang menyembulkan kecurigaan kepada Islam, sudah tentu membingungkan bagi kaum muslimin, apalagi yang betul-betul “nyantri”. Bagi mereka, negara memang sebuah instrumen bagi pelaksanaan ajaran agama. Kalau tidak, maka agama akan kehilangan dimensi kolektifnya.
Pandangan ini oleh mereka yang tidak beragama Islam, tentu dianggap sebagai kecenderungan teokratis, dan akan membuat Indonesia menjadi semacam “negara agama”. Padahal bagi kaum muslimin, “penegaraan ajaran agama” adalah sesuatu yang diwajibkan oleh agama mereka, sesuai dengan konsep amar makruf nahi munkar.
Penanganan Yang Tepat
Kesalahpahaman antara umat beragama dengan pemerintah juga mewarnai kehidupan beragama kita. Keinginan pemerintah untuk mengatur hubungan antara para pemeluk agama yang saling berbeda, sering dirasakan sebagai pengekangan oleh umat beragama. Dengan demikian, sikap itu melanggar prinsip kebebasan menjalankan ibadah dan ajaran agama, yang dijamin oleh UUD 1945.
Sebaliknya, kegigihan pimpinan umat beragama untuk menjaga kemurnian ajaran agama mereka, sering kali ditanggapi secara negatif oleh kalangan pemerintah: dianggap sebagai pandangan sempit yang tidak mempedulikan keharusan menyukseskan pembangunan nasional. Dalam beberapa kasus, kegigihan seperti itu bahkan ditanggapi sebagai ekstremisme, yang dapat membahayakan keselamatan negara. Konsekuensinya, ia harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.
Sebagai “limbah permasalahan”, anggapan seperti itu lalu menimbulkan kesenjangan di lingkungan agama yang sama, yaitu antara “kaum moderat” yang akomodatif dengan “kaum garis keras” yang divonis sebagai kaum fanatik. Pertikaian sengit itu telah berlangsung di kalangan umat Islam, termasuk di lingkungan gerakan Islam yang besar-besar.
Kasus-kasus konkret seperti “masalah jilbab” (lebih tepat disebut humulah) menunjukkan kesenjangan hebat itu. Ada yang menuntut penggunaannya bagi siswa-siswa sekolah, karena menutup rambut adalah perintah agama. Tetapi ada juga yang menganggapnya sebagai masalah khilafiyah (perbedaan pandangan), yang tidak perlu disembulkan ke permukaan. Dilancarkan tuduhan bertentangan, ekstremisme bagi satu pihak dan “menjual keyakinan” bagi yang lain.
Kondisi di atas dengan sendirinya mengharuskan kita untuk melakukan penanganan yang tepat, agar tidak mengakibatkan hal-hal yang merusak bagi kehidupan bangsa di masa depan.
Integrasi bangsa kita pada dasarnya belum mantap dan tuntas, karena berbagai faktor sejarah masa lampau dan masa kini. Kesenjangan pandangan secara mendasar dan berlarut-larut akan membahayakan integrasi nasional yang telah dicapai. Sebuah kerangka penanganan masalah haruslah yang dikembangkan untuk kemudian dilaksanakan secara tuntas, jika diinginkan hasil yang memuaskan.
Pola yang Jelas dan Fungsional
Kerangka yang mungkin baik untuk dikembangkan saat ini adalah mendudukkan agama dan Pancasila pada sebuah pola hubungan yang jelas dan fungsional. Selama ini Pancasila hanya dilihat sebagai pengatur lalu lintas hubungan antaragama belaka, agar tidak timbul pertentangan hebat antara para pemeluk berbagai agama.
Kalau dirumuskan peranannya, maka hanya dalam hubungan sepihak saja: Pancasila tidak menggusur agama dari kedudukan historisnya, dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan agama. Tidak ini, tidak itu, dan seterusnya. Agama juga dirumuskan demikian: tidak bertentangan dengan Pancasila, tidak begini dan tidak begitu. Pola hubungan “serba tidak” itu memperlihatkan watak defensif dan agama dan Pancasila, satu terhadap yang lain. Ini berarti antara keduanya terjadi pemisahan kedudukan in–toto.
Memang benar, agama dan Pancasila tidak boleh diidentikkan secara menyeluruh, karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, menjadi kerangka kemasyarakatan kita sebagai bangsa. Dalam keadaan demikian, Pancasila haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang kedudukannya secara fungsional.
Agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif, yang memberikan warna spiritual kepada kegiatan mereka. Agama menempatkan seluruh kegiatan masyarakat pada tingkat yang tidak sekadar bersifat insidental belaka. Agama adalah faktor utama yang memberikan perspektif dinamis bagi kehidupan dalam pengertian yang paling dasar pertanggungan jawab manusia kepada sang Maha Pencipta.
Hubungan Simbiotik
Dalam acuan paling dasar, Pancasila berfungsi mengatur hidup kita sebagai kolektivitas yang disebut bangsa, sedangkan agama memberikan kepada kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan (social purpose). Tanpa tujuan kemasyarakatan yang jelas dengan nyata, hidup bangsa kita hanya akan berputar-putar pada siklus pertentangan antara cita pemikiran dan kecenderungan naluri alamiah belaka.
Agama justru menyatukan kedua unsur mutlak kehidupan itu dalam sebuah kerangka etis yang paripurna. Kerangka etis seperti itulah yang harusnya melandasi moral Pancasila sebagai aturan permainan paling dasar bagi bangsa dengan negara. Jelaslah dengan demikian, antara agama dan Pancasila terdapat hubungan simbiotik, yang satu tak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bukannya sekadar hanya ideologi negara belaka.
Jika ditujukan untuk menciptakan kesadaran tinggi akan hakikat hubungan simbiotik antara agama dengan Pancasila seperti digambarkan di muka, perkembangan kehidupan beragama di tanah air kita akan selalu bertumpu pada sebuah wawasan hidup yang jelas. Wawasan itu akan mampu menggabungkan semangat kebangsaan kita dan perspektif kemanusiaan universal, yang harus kita kembangkan dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Dengan kata lain, pengembangan kehidupan umat beragama haruslah memperhitungkan dimensi-dimensi nasional dan global dalam perspektif wawasan hidup yang bulat.
Baik agama maupun Pancasila harus berfungsi mengembangkan wawasan hidup seperti itu, kalau diinginkan hidup kita menjadi hidup bangsa yang benar-benar merdeka dan berdaulat. Jelaslah dari uraian di atas bahwa sebuah strategi dasar bagi pengembangan kehidupan beragama bagi bangsa kita, harus dibuat untuk menampung kebutuhan operasionalisasi hal-hal pokok yang diuraikan di atas. Terpulang kepada kita semua, mampu atau tidaknya banga ini menyusun strategi kehidupan beragama.