Pasangan Soeharto-Try dan Masa Depan Kita

Sumber Foto: https://www.facebook.com/Filateliku/photos/a.705054512899370/705030609568427/?type=3

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sidang Umum MPR (SU MPR) 1993 telah berakhir. SU MPR itu, telah melaksanakan tugas utamanya, yaitu memilih Presiden/Mandataris dan wakilnya, dan menetapkan GBHN. Presiden Soeharto terpilih kembali dan Jenderal (Purn.) Try Sutrisno ditetapkan menjadi Wakil Presiden.

GBHN juga telah dirampungkan dengan hanya memoles sedikit saja produk hasil Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhankamnas). Memang tidak banyak yang diperkirakan akan menjadi kejutan dalam GBHN ini, karena perhatian hampir seluruhnya tertuju kepada masalah siapa yang akan ditetapkan menjadi wakil presiden.

Masalah wakil presiden itu memang menarik, karena dua sebab. Pertama, harus dijawab pertanyaan apakah wakil presiden akan menjadi “putra mahkota” dan dipersiapkan menjadi presiden tahun 1998? Kedua, apakah wakil presiden itu akan berasal dari angkatan ’45 atau generasi penerus, alias generasi pasca 1945?

Kedua hal itu saling berkaitan dengan suksesi kepemimpinan nasional kita di masa datang, dan karenanya menjadi pusat perhatian. Setidak-tidaknya bagi para pengamat, walaupun tidak begitu diminati oleh masyarakat. Hal itu terbukti dari kenyataan, bahwa oplah/peredaran koran tidak mengalami lonjakan, walaupun proses penetapan wakil presiden itu sebenarnya berlangsung sangat menarik. Memang jalannya proses pemilihan wakil presiden berjalan sangat menarik. Dari semula, suasana sudah dihangatkan oleh pencalonan Pangab (waktu itu) Try Sutrisno oleh Fraksi ABRI (FABRI), sesuatu yang menimbulkan banyak pertanyaan pada waktu itu. Adakah fraksi itu bermaksud “mendahului” (pre-empt) calon-calon lain? Benarkah tindakan itu dilakukan untuk mencegah terpilihnya kembali Wapres (waktu itu) Sudharmono atau terpilihnya Menristek B.J. Habibie? Jika benar, bukankah itu sebuah fait accompli kepada Presiden Soeharto?

***

Perkembangan selanjutnya menampakkan situasi politik yang sangat mencekam. Presiden Soeharto tidak menunjukkan sikap menerima atau menolak calon Wapres Try Sutrisno itu.

Namun diketahui, bahwa Sudharmono memperoleh dukungan besar di lingkungan Fraksi Karya Pembangunan (FKP) dan Fraksi Utusan Daerah (FUD) dalam SU MPR 1993. Dengan sendirinya, prospek perbenturan antara kedua kekuatan. FABRI di satu pihak dan FKP-FUD di pihak lain, menjadi semakin nyata pada waktu itu.

Apalagi Fraksi PDI (FPDI) dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) pagi-pagi telah menyatakan dukungan kepada calon Wapres Try Sutrisno. Seolah-olah keduanya dipersuasi oleh FABRI dalam antisipasi akan sebuah pertarungan total secara dramatis di hari-hari terakhir SU MPR 1993.

Suasana menjadi tambah dramatis, ketika diperdebatkan di koran-koran haruskah seorang presiden terpilih menerima demikian saja pencalonan seseorang sebagai wakil presiden, walaupun ia sendiri tidak setuju dengan calon tersebut? Pertanyaan itu timbul karena pada hari-hari pertama SU MPR 1993 semua fraksi telah sepakat dengan calon tunggal Try Sutrisno.

Akan adakah “konfrontasi” antara presiden terpilih dan MPR? Bukankah tidak tertutup kemungkinan bahwa presiden terpilih akan ngambek? Semua pertanyaan itu bermuara pada sebuah pertanyaan besar: mampukah SU MPR 1993 memproses berbagai kehendak dan aspirasi itu, kalau memang benar-benar ada, dalam sebuah proses akhir yang mulus tanpa gejolak? Jawabannya sekarang sudah kita ketahui, yaitu bahwa hal itu memang dapat dilakukan.

Tabir segala misteri politik itu mulai tampak tersingkap, ketika pimpinan FUD menyatakan dukungan kepada Try Sutrisno untuk jabatan wakil presiden. Disusul kemudian oleh FKP. Segalanya menjadi gamblang pada dua hari terakhir SU MPR 1993, dimulai dengan pernyataan kesediaan Try Sutrisno untuk dicalonkan, dan kesediaan Presiden Soeharto bekerja sama dengannya.

Menjadi tidak relevan lagi isu Presiden Soeharto di fait accompli oleh FABRI atau tidak. Juga mengapa ia sebenarnya dapat menerima pencalonan Try Sutrisno. Dan juga apakah semula memang ada gerakan memilih kembali Sudharmono, atau mendukung B.J. Habibie.

Semua terkubur dalam pergelaran indah pemilihan dan kemudian pelantikan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Try Sutrisno secara mulus. Sedemikian indah, sehingga melupakan kita akan kenyataan bahwa SU MPR kali ini adalah kor “setuju” belaka dari awal hingga akhir. Drama tidak terjadi dalam SU, melainkan di luarnya.

***

Namun, keindahan itu sama sekali tidak dapat menutup mata kita dari pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan kita. Akankah secara otomatis Wakil Presiden Try Sutrisno menggantikan Presiden Soeharto dalam masa jabatan berikut, 1998-2003?

Kalau tidak, bukankah harus dipertanyakan bagaimana dapat dimunculkan calon-calon alternatif dalam masa lima tahun mendatang? Bukankah harus sudah dipikirkan sejak sekarang mekanisme politik untuk menampung hal itu, jika memang dibutuhkan? Kalau tidak, bukankah yang akan terjadi adalah proses “menunggalkan calon” saja, dalam SU MPR 1998, seperti selalu terjadi selama ini?

Keputusan dan ketetapan hasil SU MPR 1993 dapat dijadikan acuan membuat mekanisme seperti itu. PJPT II yang akan dikembangkan rumusannya dari GBHN sekarang, mengutamakan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Peningkatan seperti itu, yang tidak hanya bersifat pengembangan keterampilan dan kemampuan teknis belaka, melainkan juga mengutamakan tumbuhnya etos kerja, disiplin, wawasan kehidupan, dan etika sosial yang lebih mendorong timbulnya sikap kompetitif dalam diri manusia Indonesia di tahun-tahun mendatang. Dan itu semua hanya mungkin tercapai, manakala seluruh bangsa dapat mengenal kebutuhan dan kemampuan keseluruhan para warganya untuk mengembangkan kehidupan secara baik.

Pengembangan itu hanya mungkin terjadi, manakala ada keterbukaan yang bersifat mendasar. Bukan hanya sekadar “keterbukaan” kosmetik seperti yang kita miliki saat ini.

Keterbukaan mendasar itu harus mencakup informasi yang penuh akan bagaimana dan mengapa keputusan-keputusan besar diambil. Juga siapa-siapa para pelakunya. Kalau Wakil Presiden Try Sutrisno akan dicalonkan mengganti Presiden Soeharto di tahun 1998, harus jelas sejak awal, apakah boleh ada calon-calon lain untuk menyainginya atau tidak. Dan kalau tidak, harus jelas ada alasannya; karena kalau tidak ada alasan, kesetujuan rakyat hanyalah sikap semu saja. Dan kita tidak akan pernah menjadi bangsa yang kuat, besar dan mampu bersaing dalam era globalisasi dunia kini, jika hanya bersistem politik yang menghasilkan sikap-sikap semu dari bangsa kita belaka.

***

Jelaskah dengan demikian, bahwa ditetapkannya pasangan Soeharto-Try Sutrisno sebagai presiden dan wakil presiden merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kita sebagai bangsa. Bukan karena sekadar dipilih oleh MPR, melainkan oleh kebutuhan untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar di atas secara jujur dan benar.

Hanya dengan cara mencari jawaban itulah menjadi terwujud apa yang oleh pengamat R. Bill Liddle dinyatakan “terpilihnya pasangan Soeharto-Try membawa peluang lebih besar bagi demokratisasi”.

Sedangkan demokrasi adalah persyaratan bagi kebesaran bangsa kita di masa depan, kalau dilihat apa yang terjadi pada (bekas) Uni Soviet dan beberapa negara lain.

Tetapi semua pertanyaan di atas menjadi tidak relevan lagi, jika memang tidak ada prospek pergantian pemegang jabatan presiden dalam SU MPR tahun 1998. Cukup menarik untuk diamati dengan cermat selama lima tahun mendatang, bukan?