Pembebasan Melalui Pendidikan: Punyakah Keabsahan?

(Tinjauan Sepintas atas Sebuah Pendekatan)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kita sudah lama diyakinkan oleh sebuah kesimpulan bahwa pendidikan adalah wahana terpenting untuk mencapai kemerdekaan. Sejarah telah membuktikan hal itu jika para pemimpin perjuangan kemerdekaan di berbagai negara jajahan memulai kegiatan mereka dari bidang pendidikan. Dari Rabindranath Tagore yang mendendangkan kejayaan dan kehormatan negerinya –dan dengan demikian secara implisit menuntut kemerdekaan tanah airnya– hingga Sudirman yang di kemudian hari menjadi Panglima Besar APRI dan berpangkat jenderal; banyak para pejuang kemerdekaan yang berpangkat dari profesi pendidik dalam jenjang karier mereka. Guru adalah ‘jabatan asal’ yang mungkin terbanyak didapati di kalangan para pejuang kemerdekaan di seluruh dunia, di samping dokter, insinyur, dan pengacara. Banyak disiasat orang, mengapa profesi guru dapat menjadi tempat pembibitan begitu subur untuk perjuangan kemerdekaan negeri dari penjajahan. Ada yang mengembalikan kenyataan itu kepada idealisme luhur yang dituntut oleh profesi tersebut, yang bersesuaian sepenuhnya dengan keluhuran cita-cita kemerdekaan. Namun, ada juga yang mengembalikannya kepada sesuatu yang lain, yaitu asal-usul para guru di masa kolonial yang umumnya berasal dari kalangan ningrat rendahan atau ‘priyayi kecil’ (lesser nobility). Nasib tidak membawa mereka kepada jenjang profesi lebih tinggi, dan kekecewaan yang diakibatkannya lalu dilontarkan dalam bentuk kemarahan ke alamat penjajah.

Apa pun motif mereka memimpin perjuangan kemerdekaan, yang jelas mereka umumnya lalu berpindah profesi ke dunia politik dan pemerintahan, begitu kemerdekaan dicapai. Menjadi pejabat pemerintahan ataupun pemimpin partai-partai politik, mereka segera larut ke dalam pola kehidupan sebagai elit negeri. Konsumsi berlebihan menjadi ciri hidup mereka, korupsi menjadi pertanda kekuasaan yang digunakan terlalu berlebihan, dan sikap otoriter adalah gaya memerintah yang mereka kembangkan. Ke manakah gerangan idealisme yang semula begitu kuat mewarnai kehidupan mereka? Begitu pula, mengapakah begitu cepat mereka lupakan sebuah prinsip pendidikan yang utama, yaitu pentingnya arti keteladanan dan percontohan? Begitu mudahkah hilangnya kejujuran sikap, yang menandai kepribadian guru di masa kolonial, untuk digantikan oleh kemunafikan yang tidak lagi mempedulikan norma-norma susila?

Tetapi dunia pendidikan tidak hanya kehilangan guru-guru seperti itu, yang pada hakikatnya merupakan ‘kehilangan relatif’, kalau diingat kesudahan jalan hidup mereka setelah tidak lagi menjadi guru. Ada kehilangan yang lebih besar akibatnya, yaitu menurunnya kualitas guru dan wibawanya secara drastis. Pemekaran jumlah sekolah secara masif dalam waktu relatif tidak terlalu lama telah membawa akibat penyediaan korps guru yang berkualitas rendah. Ini adalah masalah Mesir dan India dalam dasawarsa enam puluhan dan Indonesia dalam dasawarsa tujuh puluhan, dan tampaknya tidak akan terpecahkan dalam waktu dua dasawarsa. Gaji yang rendah yang dapat disediakan oleh sistem pendidikan nasional yang dikelola oleh pemerintah hampir seluruh negara yang mencapai kemerdekaan semenjak Perang Dunia II, telah membuat profesi guru bukan pekerjaan yang menarik bagi manusia berkualitas tinggi.

Kesulitan itu ditambah pula oleh tidak jelasnya arah pendidikan yang diprogramkan secara nasional itu. Kalau di masa kolonial pendidikan diarahkan kepada penciptaan korps pegawai rendahan untuk kepentingan pemerintah jajahan dan kebutuhan niaga ekspor komoditi sumber alam mentah ke ‘negeri induk’, maka di masa kemerdekaan lalu ada kesulitan untuk menemukan arah pendidikan nasional yang seharusnya dimiliki. Mula-mula arahnya dirumuskan sebagai ‘penanaman semangat kemerdekaan’, atas kerugian arah semula, yaitu penciptaan ‘kelas kerani’. Namun segera ternyata, bahwa ‘semangat kemerdekaan’ saja tidak akan menciptakan lapangan kerja bagi lulusan sistem pendidikan sekolah yang dikembangkan secara masif dalam waktu begitu cepat. Setelah satu atau dua dasawarsa, pendidikan lalu mengambil sikap ‘banting setir’: rumusan arah pendidikan lalu dirumuskan sebagai ‘melayani kebutuhan pembangunan nasional’.

Perubahan demi perubahan dalam rumusan arah pendidikan itu tetap tidak membawa hasil yang diinginkan karena watak ‘menciptakan kelas kerani’ tidak pernah sepenuhnya hilang, bahkan semakin menjadi-jadi. Keterampilan, kebolehan, dan kecakapan apa pun yang diperoleh di pelbagai bidang akan kehilangan arti positifnya bagi kelulusan pendidikan yang tidak menghilangkan watak itu. Adapun watak itu sendiri dibawakan, atau lebih tepat dipertahankan, oleh sistem perekonomian yang kurang lebih sama dengan di masa kolonial. Perekonomian masih diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan barang-barang murah dari negara-negara yang baru merdeka itu di kalangan negara-negara yang sudah maju industrinya, yang notabene adalah para bekas penjajah. Apakah barang yang diekspor ke bekas ‘negara-negara induk’ itu masih berbentuk bahan mentah atau telah diolah sepenuhnya atau sebagian, tidaklah penting benar. Yang terpenting harganya murah sehingga memungkinkan pengolahan baru atau lebih lanjut dengan margin laba cukup besar di negara-negara tempat tujuan ekspor itu sendiri. Sedangkan pola ekspor seperti itu berarti penekanan upah pekerja serendah mungkin di negara-negara pengekspor.

Dua hal yang menjadi akibat di bidang pendidikan dari sistem perekonomian yang arah perjalanannya demikian itu. Pertama, tetap sempitnya ruang gerak sektor usaha dalam perekonomian membawa kepada tetap sedikitnya kesempatan kerja yang dapat diraih oleh lulusan pendidikan yang ada. Kedua, kalaupun kesempatan kerja yang sulit dicari itu akhirnya diperoleh, maka upahnya juga akan sangat rendah. Sedikitnya kesempatan kerja dan rendahnya upah tidak akan memungkinkan munculnya arah pendidikan yang terlepas dari tema ‘penyediaan kerani’ di masa penjajahan. Mengapa? Karena seluruh perhatian lalu dipusatkan kepada ‘pencapaian’ untuk menjadi sarjana di beberapa bidang yang ‘laku keras’ belaka: ekonomi (terutama perusahaan), kedokteran, teknik, dan bahasa (untuk melayani modal asing yang baru masuk dan jaringan komunikasi ekspor barang murah itu). Atau, sebagai pilihan, jalan pintas yang cukup menarik, yaitu menjadi pegawai negeri, karena pendapatan di sektor tersebut akan memadai (bukan karena gaji tinggi, tetapi karena penghasilan akan besar melalui berbagai cara).

Pendidikan lalu terkait secara salah dengan tema ‘pemenuhan kebutuhan pembangunan’, yaitu terkait hanya dengan salah satu aspeknya saja. Itu pun aspek yang sebenarnya temporer, yaitu selama sistem perekonomian masih diarahkan kepada ekspor barang murah sebanyak mungkin ke negara-negara yang maju industrinya. Pendidikan lalu mengarah kepada penyediaan tenaga kerja setengah jadi untuk kepentingan produksi barang-barang ekspor murah itu, sedang di saat yang sama ia dituntut pula untuk menyediakan sejumlah sangat kecil tenaga pengelola di tingkat tertinggi dunia usaha. Dengan demikian, dunia profesi dalam arti yang luas menjadi terlalaikan atau, kalau juga diberi perhatian, hanya terbatas pada sejumlah bidang yang ‘laku keras’ seperti kedokteran dan teknik. Sedangkan pendidikan untuk menghasilkan petani yang mandiri, usahawan kecil yang berswadaya, dan pengrajin yang dapat bersaing dengan barang impor boleh dikata tidak pernah dicapai. Padahal itu yang menjadi kebutuhan sebenarnya bagi masyarakat, dan diharapkan dapat dihasilkan oleh dunia pendidikan negara-negara yang belum lama merdeka.

Dalam keadaan demikian, pendidikan lalu menjadi bagian dari jaringan saling ketergantungan global yang menjadi ciri utama hubungan internasional saat ini, yaitu ketergantungan negara-negara sedang berkembang kepada negara-negara yang sudah maju industrinya dalam hal modal, teknologi, pengelolaan usaha, dan jasa-jasa di satu pihak dan kebutuhan negara-negara maju industri itu akan barang-barang murah dari negara-negara sedang berkembang di lain pihak. Saling ketergantungan sesisi itu dengan sendirinya membebankan sesuatu yang sangat berat untuk dipikul, yaitu ‘sistem pemerasan keringat’ yang tidak akan mengangkat mayoritas penduduk negara-negara yang sedang berkembang dari lembah kemiskinan secara berarti. Secara kosmetis memang dapat diandaikan terjadinya ‘tetesan ke bawah’ hasil pembangunan, terutama yang berbentuk meningkatnya penghasilan perorangan tahunan (per capita annual income), namun dalam kenyataan justru proses pemiskinan yang berlangsung.

Secara total, pendidkan lalu kehilangan relevansinya bagi bagian terbesar warga bangsa-bangsa yang sedang berkembang, kecuali sebagai proses pemberian status sosial tersendiri, sebagai ‘warga yang pernah bersekolah’. Dengan ungkapan lain, pendidikan yang terutama bertumpu pada sistem sekolah menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat yang dilayaninya. Asing dalam arti orang tidak mengetahui konsep dasarnya, tidak peduli akan persoalan-persoalan dasar yang dihadapinya, dan tidak mau tahu implikasi parahnya keadaan pendidikan itu sendiri. Ia dibiayai masyarakat hanya sekadar dibiayai, karena tidak layak suatu bangsa tidak memiliki pendidikan, tanpa ditanya telah memadai atau belum pembiayaan itu. Lebih jauh lagi, kalaupun ada pembiayaan dari lapisan terkecil masyarakat yang merasa cukup tergugah untuk mengeluarkan uang guna memelihara sistem pendidikan mereka sendiri yang serba elit, toh tetap tidak ada yang mempertanyakan relevansi pembiayaan itu bila diukur dengan hasil yang dicapai melalui pendidikan tersebut. Sedangkan rekreasi, hal yang dianggap sebagai kebutuhan tambahan dalam hidup, masih dipertanyakan cost-benefit ratio-nya, perbandingan pengeluaran dan hasil yang dicapai.

Tidak heran bila lalu muncul sejumlah kritik mendasar terhadap dunia pendidkan di negara-negara sedang berkembang. Mula-mula kritik itu hanya berkisar pada soal-soal metodik dan didaktik belaka, kemudian berkembang kepada orientasi pendidikan yang dimiliki. Tidak cukup itu, lalu mulai dipertanyakan asumsi-asumsi dasar pendidikan yang digunakan, dilanjutkan dengan pertanyaan tentang kegunaan hakikinya. Terakhir, muncullah dalam dasawarsa tujuh puluhan konsep-konsep tandingan yang mengajukan sistem pendidikan alternatif. Dalam liputan kedaerahan, nasional, maupun internasional, gugusan pemikiran tentang pendidikan alternatif itu mengalami perkembangan cukup pesat, terlebih-lebih setelah Paulo Freire dan Ivan Illich mengajukan gugatan konsepsionalnya yang mendasar terhadap sistem pendidikan yang mereka nilai sebagai menindas (opresif).

Sebagai gema dan gaung suara gugatan, konsep pendidikan alternatif memang cukup memperoleh perhatian, setidaknya di kalangan intelektual dan pendidik yang memiliki jangkauan berpikir yang cukup jauh. Apalagi dalam kenyataan sehari-hari, sejumlah upaya percobaan telah dirintis di bidang pendidikan, untuk sedikit banyak mengajukan alternatif terhadap sistem pendidikan yang ada. Dihidupkannya kembali sistem ashram di India, gerakan Sarvodaya di Sri Lanka, pendidikan ‘budaya sendiri’ di Afrika, pesantren dan pendidikan pedesaan di negeri kita, kesemuanya itu lalu secara tergesa-gesa disodorkan sebagai pelaksanaan ‘sistem pendidikan alternatif’. Dilupakan, bahwa kesemua percobaan itu bertolak dari kebangunan kultural, bukannya dari kesadaran politik dari ‘pendidikan alternatif’ yang dibuat konsepnya oleh orang-oraang seperti Freire dan Illich.

Karenanya, di sini akan dicoba secara singkat untuk melakukan tinjauan atas sistem pendidikan alternatif itu, terutama dari sudut kemungkinan aplikasinya di negeri kita. Tinjauan seperti itu perlu dilakukan, mengingat perhatian yang mulai timbul mengenai sistem tersebut, terbukti antara lain dari terbitnya buku terjemahan karya Freire ini. Tanpa dilakukan tinjauan atasnya, maka tidak lengkaplah upaya memahami sistem pendidikan alternatif itu, dan akan terjadi penerapan yang mentah, yang justru bertentangan dengan hakikatnya. Mengapa demikian? Karena penerapan tanpa melalui pengolahan lebih jauh akan menghasilkan sikap melawan kepada kekuasaan yang ada, dan dengan sendirinya membawa kepada ‘pukulan balasan’ dari kekuasaan itu. Padahal inti sistem pendidikan alternatif bukanlah melawan kekuasaan yang ada, melainkan mengubah warga masyarakat dalam orientasi dan pola hidup yang diikutinya.

Memang harus diakui adanya kecenderungan cukup kuat untuk menerima begitu saja apa yang datang dari luar, tanpa pemeriksaan mendalam tentang hakikat dan implikasi pelaksanaannya secara verbatim di negeri kita. Ini dapat dimengerti, karena ia tidak lain adalah bagian dari proses yang sama, yaitu penerimaan yang luas atas hal-hal yang masuk ke sini, dari budaya konsumsi tinggi hingga gaya hidup orang muda yang serba santai di permukaan dan penggunaan teknologi tinggi tanpa memperhitungkan kegunaan optimalnya. Sama mudahnya dengan hal-hal itu, masuk pula pemikiran dan konsep-konsep perlawanan terhadapnya, sebagaimana dikembangkan di negeri-negeri lain. Arus ‘pemikiran dan konsep alternatif’ mengambil bentuk bermacam-macam, dari revitalisasi nasionalisme seperti rintisan Renato Constantino di Filipina, konsep ‘transnasionalisasi – tandingan’ (counter-transnationalization) dari Amerika Latin, hingga munculnya ‘Islam sebagai sistem alternatif’.

Begitu banyak gagasan, pemikiran, dan konsep yang masuk – di antaranya pemikiran tentang sistem pendidikan alternatif – hingga terasa sudah waktunya untuk melakukan tinjauan atas keseluruhan proses pencarian alternatif itu. Tinjauan dapat dilakukan secara global, namun juga secara sektoral, yang biasanya memberikan kedalaman visi sebagai hasil. Tinjauan ini adalah sebuah upaya dini secara sektoral, guna memperoleh gambaran yang kurang lebih akan dapat menjadi jendela penglihatan atas pemikiran alternatif di bidang pendidikan.

Dasar pemikiran alternatif di bidang pendidikan adalah kenyataan pincangnya struktur masyarakat di negara-negara sedang berkembang. Keseluruhan struktur masyarakat berfungsi opresif bagi rakyat kecil, yang menjadi korban eksploitasi ekonomi bagi kepentingan pemilik modal yang kuat nun jauh di sana, di negeri-negeri maju industri. Keseluruhan jaringan hubungan internasional menjamin proses penghisapan yang lemah oleh yang kuat. Pendidikan juga menjadi bagian dari proses penghisapan dan opresi itu, yang berakibat pada proses pemiskinan dan pemapaan (pauperisasi) berkepanjangan di negara-negara sedang berkembang. Karenanya, pendidikan tidak bisa diharapkan dapat membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan kepapaan, tanpa ia sendiri dilepaskan dari tali-temali yang mengikatnya justru kepada struktur masyarakat yang pincang.

Keseluruhan tata kehidupan masyarakat, baik secara total maupun dalam lingkup sektoral masing-masing, tersusun secara gradual dalam acuan yang menunjang pelestarian struktur masyarakat yang pincang itu sehingga kepentingan rakyat terbanyak praktis tak terwakili dalam kehidupan bersama. Pendidikan, agama, kebudayaan, politik, dan seterusnya, kesemua itu berfungsi membelenggu rakyat kepada struktur masyarakat yang pincang itu, yang pada analisa terakhir didominasi oleh perekonomian kapitalistik yang sudah mencapai taraf tinggi (tidak lagi hanya menguasai teknologi, melainkan memonopoli informasi). Kapitalisme internasional adalah sumber dari kepincangan struktur masyarakat, sedangkan ‘kebisuan’ sektoral di masing-masing negeri adalah salah satu ujung mata rantainya.

Kemerdekaan politik tidak berarti banyak, karena ia justru memperkuat struktur yang ada dan memberikan legitimasi kepadanya, karena negeri yang bersangkutan ‘tidak lagi dijajah’. ‘Kebudayaan nasional’ yang dikembangkan setelah kemerdekaan justru melupakan rakyat kecil dari masalah mereka yang sebenarnya, yaitu belenggu kepincangan struktur yang bersifat mondial. Agama pun berfungsi demikian, karena dinding-dinding yang menyekat semua umat beragama pada hakikatnya memalingkan perhatian rakyat kecil dari perjuangan mereka yang sesungguhnya. Demikian seterusnya, semuanya berujung dan berpangkal pada struktur masyarakat yang pincang dan penyebabnya, yaitu kapitalisme internasional.

Berhadapan dengan kenyataan demikian total, yang tidak lagi dapat dilawan oleh siapa pun pada penglihatan pertama, rakyat memilih untuk membisu seribu bahasa. Membiarkan diri mereka dibelenggu dan dikungkung. Sebabnya tidak lain adalah karena kesadaran yang ditempa oleh sejarah, bahwa sia-sia upaya untuk mengubah keadaan. Setiap kali dilakukan upaya, selalu dikalahkan oleh kepincangan struktur itu sendiri. Bahkan negara-negara sosialis, yang sebagai produk ideologi Marxisme-Leninisme seharusnya berfungsi membebaskan rakyat dari penindasan itu, ternyata dalam waktu tidak sampai setengah abad telah melakukan peran menindas, yaitu ketika pemerintahan dikuasai kaum ‘aparatchik’ (fungsionaris partai) yang berkoalisi dengan birokrasi pemerintahan dan kompleks industri militer dalam pengelompokan yang oleh Milovan Djilas disebut sebagai ‘kelas baru’. Tesis kegagalan komunisme itu, yang oleh Mao Zedong dirumuskan sebagai ‘munculnya hegemonisme Rusia’, menjadi bertambah lengkap ketika Maoisme sendiri dihancurkan di daratan Tiongkok dan digantikan oleh kebijaksanaan ‘Empat Pokok Modernisasi’-nya Deng Xiaoping.

Kini lengkaplah sudah penderitaan rakyat kecil. Bukan hanya masih terbelenggu oleh struktur yang pincang secara total, mereka pun harus kehilangan apa yang selama ini dianggap sebagai ideologi-ideologi pembebasan dan harus menjauhi mereka yang selama ini dianggap kawan seperjuangan. Karena itu, diperlukan refleksi yang tuntas atas keadaan yang begitu menyedihkan, dengan cara melakukan introspeksi mendalam dan mendasar. Dari refleksi itu muncul temuan terpenting, yaitu bahwa rakyat sebenarnya memiliki kekuatan potensial untuk membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan kepapaan akibat struktur masyarakat yang pincang. Kekuatan potensial itu bertumpu pada modal-modal kultural yang mereka miliki, salah satu di antaranya adalah kemampuan mendidik diri sendiri untuk melakukan pembebasan atas tenaga sendiri, dengan cara yang mereka pilih sendiri, dan sesuai dengan program yang mereka kembangkan sendiri.

Masalah utamanya adalah kekuatan itu masih bersifat potensial selama rakyat sendiri belum menyadarinya sebagai kekuatan. Karenanya, mereka harus disadarkan akan kekuatan itu, dan ini berarti keharusan penyadaran rakyat akan keadaan mereka yang sebenarnya. Ini diperlukan agar kekuatan yang ada tidak digunakan hanya untuk tujuan yang lebih kecil dari pembebasan total mereka dari belenggu kepincangan struktural masyarakat tempat mereka hidup. Penyadaran itu, sering dikenal dengan istilah populer dalam jargon ‘pembangunan alternatif’ sebagai ‘konsientasi’, adalah kunci dari upaya mendorong dan membantu rakyat membebaskan diri sendiri. Salah satu bentuk penyadaran itu adalah apa yang dikemukakan Paulo Freire dalam buku ini, yaitu membiasakan rakyat mengenal kemampuan mereka sendiri untuk menumbuhkan kelembagaan demokrasi yang benar. Pengenalan itu dilakukan dengan membiasakan rakyat kepada praktek kebebasan melalui pendidikan. Dalam program pendidikan sebagai praktek kebebasan terdapat kompleksitas tinggi dari sebuah program untuk merumuskan masalah secara benar, menciptakan materi dan bentuk pendidikan yang sesuai bagi pemecahan masalah tersebut, dan menciptakan jaringan hubungan yang memungkinkan pelaksanaan konsep itu sendiri secara universal di seluruh dunia. Bagaimanakah konsep ini harus dilihat dari sudut pandangan bangsa kita sendiri, pada saat yang sedang kita jalani dalam proses kehidupan sekarang ini?

Sebuah kritik utama atas konsep tersebut, jika diletakkan dalam perspektif kesejarahan, adalah titik tolaknya yang masih terlalu politis.Ia masih menghadapkan rakyat kepada kekuasaan pemerintah, masih meletakkan kata ‘alternatif’ dalam konteks konfrontatif terhadap kekuasaan. Jika ini dipaksakan, maka akan terjadi sebuah proses irelevansi atas gagasan itu sendiri, karena tidak sesuai dengan kenyataan negeri kita sendiri. Bangsa kita tidak begitu mudah menerima paradigma ‘pertentangan kelas’, karena ia mengandaikan pola hubungan konfrontatif dalam hubungan ‘atas-bawah’. Karena masih pekatnya pola hubungan horisontal antara berbagai satuan etnis, religius, bahasa, dan budaya dalam keragaman yang sangat tinggi, dengan sendirinya tidak mungkin untuk mencari penerimaan universal bagi sudut penglihatan pola hubungan vertikal ‘atas-bawah’.

Yang lebih tepat digunakan di negeri ini adalah pendekatan kultural, yang berupa ajakan untuk menghilangkan sekat-sekat horisontal, daripada pendekatan politis yang mengutamakan analisa kelas dan tesis anti-kekuasaan. Pendekatan kultural tidak akan kurang-kurang dampaknya pada pencapaian tujuan membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan kepapaan, jika ia digunakan secara tepat, yaitu dalam menciptakan manusia yang sadar akan dirinya secara kultural. Konteks kultural itu akan menumbuhkan semacam moral yang menolak perbedaan tidak asasi antara manusia, menolak ketundukan kepada apa yang tidak benar, dan menolak keputusasaan. Dengan kata lain, pendekatan kultural akan memunculkan kekuatan moral, yang jika dimiliki oleh jumlah cukup manusia dalam sebuah masyarakat, akan mengubah corak hidup masyarakat itu sendiri secara total.

Kritik utama yang dapat diajukan kepada pendekatan kultural ini adalah sulitnya ia diletakkan dalam kerangka teoretis yang akan ada dalam literatur ‘sistem alternatif’. Ia tidak menampilkan wajah yang usai, tidak seperti pendekatan politik yang sudah menemukan rumusan-rumusan pasti. Pendekatan kultural bahkan tidak tidak berurusan langsung dengan sistem kekuasaan yang ada, melainkan lebih mementingkan kemampuan manusia untuk mengenal diri sendiri dan memilih cara pembebasan diri sesuai dengan pengenalan diri sendiri itu. Dengan kata lain, pendekatan politik membawakan program yang berwatak sistemik, sedangkan pendekatan kultural lebih mementingkan program yang senantiasa berkembang dan tidak boleh ‘dibakukan’ hanya dalam sebuah sistem saja.

Kesadaran yang muncul dari pendekatan kultural memang terdengar tidak rasional bagi pendekatan politik, seperti munculnya kesadaran untuk perbaikan mendasar atas struktur masyarakat yang ada oleh mereka yang berada dalam sistem kekuasaan. Sudah tentu perubahan yang diingini itu tidak dilakukan secara drastis, apalagi dengan cara-cara radikal, melainkan dilakukan secara gradual, biasanya dengan ‘baju’ perbaikan cara kerja, optimasi efisiensi, dan seterusnya. Mereka yang memiliki orientasi sama, tetapi berada di luar sistem kekuasaan, melakukan kerja sama untuk mencapai perbaikan gradual itu. Dengan demikian, pengertian ‘di luar’ dan ‘di dalam’ sistem kekuasaan tidaklah harus otomatis diandaikan sesuatu yang dapat dibedakan secara politis dan secara tajam. Tipisnya garis batas antara kedua kelompok itu sudah tentu memiliki implikasinya sendiri, yaitu tidak adanya keharusan menghadapkan program kerja masing-masing secara diametral.

Pada titik ini, sebuah ‘kaidah’ fundamental harus dipahami, yaitu fungsi komplementer antara program pemerintah dan program swasta/masyarakat, dalam artian masing-masing mengakui fungsi dampingan (counterparting functions) yang dimilikinya dalam ‘kerja bersama menyukseskan pembangunan’. Pola inilah yang oleh Kardinal Jaime Sin dari Filipina dirumuskan sebagai ‘kerja sama kritis’ (critical collaboration) dengan pemerintahan Marcos saat ini. Dalam pola ‘kerja sama’ seperti itu masing-masing menerima kehadiran yang lain sebagai esensial, namun pada saat yang sama memegang hak untuk mencari jalan sendiri sebagai varian lain dari pencarian ‘teman kolaborasi’nya itu.

Titik inilah yang sebenarnya patut digunakan sebagai sudut penglihatan bagi tesis-tesis yang dibawakan buku karya Freire ini. Perbedaan maha penting antara pendekatan kultural dan pendekatan politik adalah langkanya kecenderungan ‘penyusunan kekuatan’ (matchvorming) dalam pendekatan kultural itu. Mungkinkah cara ini menghasilkan pembebasan total manusia dari belenggu kemiskinan dan kepapaan pada akhirnya? Terserah kepada sejarah, dan saat ini kepada penilaian masing-masing, untuk menentukannya.