Pemilu, Demokrasi, dan Kejujuran TNI
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
ARTIKEL “PKB, TNI, dan Pembelajaran Demokrasi” (Kompas, 6/10) masih memunculkan berbagai reaksi Ada yang setuju, ada yang tidak dengan keadaan yang diperkirakan penulis. Yang mengherankan, reaksi yang tidak setuju justru kecil jumlahnya.
Penulis menilai, ini menunjukkan amat sedikit intelektual dan pengamat yang memiliki/menerbitkan reaksi tertulis atas keadaan yang berkembang saat ini, dan amat sedikit alternatif yang tersedia. Dengan demikian, opsi dari alternatif yang dinyatakan pun menjadi amat sedikit.
***
KEBISUAN ini menimbulkan pemikiran, diperlukannya pemerintah alternatif total menjadi lebih besar daripada dulu. Dalam bahasa kasar, alternatif total adalah pengambilalihan kekuasaan pemerintahan oleh mereka yang takut ada revolusi sosial/konflik horizontal (seperti penjarahan massa).
Yang paling tidak setuju revolusi sosial adalah TNI, para pengusaha keturunan Tionghoa, keturunan India, dan sebagian birokrat. Saat ditanya seorang teman, penulis menjawab, ia pun tidak menyukai pengambilalihan/pemindahan kekuasaan karena sifatnya inkonstitusional.
Namun, bila hal itu dilakukan karena ada keyakinan/pembuktian, ada aneka tindakan untuk menunda pemilu legislatif maupun pemilihan presiden yang direncanakan tahun 2004, berarti ada upaya menunda pemberlakuan demokrasi sebenarnya di negeri kita, maka penulis dapat mengerti mengapa diambil langkah itu. Penulis berpegang kaidah fiqh (hukum agama), “tiap keputusan tentu ada sebab musababnya”.
Tindakan mengambil alih kekuasaan itu harus dibaca sebagai “keadaan terpaksa” sebagai alternatif terbaik dari keadaan terburuk (akhafudh al dhararain), yaitu jalan terakhir menyelamatkan demokrasi yang sebenarnya. Karena penundaan pemilu (legislatif maupun presiden) adalah sesuatu yang dapat menggagalkan upaya demokratisasi.
Ini sudah kita rasakan saat terjadi pelengseran kepresidenan penulis tahun 2001 secara tidak konstitusional. Jadi, bila ditilik secara jujur, pengambilalihan kekuasaan saat ini belum tentu merupakan tindakan inkonstitusional melanggar Undang-Undang Dasar.
Apa yang harus diperbuat bila hal itu “terpaksa” dilakukan? Dua buah kerja harus dijalankan. Pertama, pembentukan sebuah pemerintahan peralihan yang langsung menetapkan pemilu yang jujur, adil, dan terbuka dilaksanakan tepat waktu, seperti ditetapkan undang-undang. Ini berarti persiapan yang teliti atas aparat pemilu, Komisi Pemilihan Umum maupun Panitia Pengawas Pemilu. Segala macam “praktik dagang sapi” dalam KPU harus disudahi, hal-hal yang “menggantung” harus ditentukan pasti.
Kedua, harus disosialisasikan dan dibuktikan dengan cepat aneka persiapan pemilu sedang dilangsungkan dengan baik, obyektif, dan jujur. Jika leveransir kotak-kotak pemungutan suara dan kebutuhan pemilu lainnya telah ditentukan, harus diberikan laporan rinci dan terpercaya dari mereka, serta siap diperiksa publik baik melalui anggota tim pemeriksa inventaris maupun masyarakat.
***
UNTUK memperoleh dukungan massa guna menjamin terlaksananya pemilu pada waktunya, diperlukan pendekatan pada salah satu atau lebih partai politik yang ada. Komunikasi terbuka dengan masyarakat pun diperlukan, di kota besar maupun kawasan lain di Tanah Air. Harus ada obyektivitas dan “keadilan permainan” dalam pembentukan lembaga-lembaga yang diperlukan untuk itu.
Selama kebersihan dan kejujuran pelaksanaan pemilu dirasakan masyarakat, dan sengaja ditanyakan kepada rakyat yang menghadiri aneka pertemuan umum, jika mereka menjawab positif berarti kejujuran pemilu dapat dijamin. Persoalannya, bagaimana menghindari kecurangan dan manipulasi penghitungan suara. Bila dalam hal ini kita tidak berhasil, keseluruhan pemilu tidak akan berarti.
Pencatatan hasil penghitungan suara amat menentukan. Di sinilah peran warga TNI, memimpin dan melaksanakan penghitungan suara dengan tepat dan melaporkannya kepada badan yang adil dan dipercaya dunia internasional. Untuk itu diperlukan keterbukaan dengan mempersilakan masyarakat melakukan pemeriksaan (checking) langsung di tempat (atas pencatatan dan pengiriman laporan dari TPS dengan radio, telepon, atau Internet) kepada lembaga penerima di Jakarta. Juga ada pemeriksaan langsung oleh para monitor luar negeri atas penerimaan langsung laporan dari TPS maupun pengiriman laporan itu kepada pihak Internasional yang ditunjuk.
Dengan demikian, menjadi jelas arus laporan yang jujur, obyektif, dan langsung akan menjadi kunci keberhasilan atau kegagalan pemilu. Dampaknya amat berarti bagi kelangsungan atau kegagalan demokrasi. Jelas, baik TNI maupun para monitor asing harus mampu bekerja sama melaporkan tiap pelanggaran yang terjadi serta upaya rekayasa atas hasil pemilu.
Di sini kita sampai pada pertanyaan kunci: dapatkah TNI dipercaya menjadi penentu kejujuran dan aktivitas hasil pemilu? Bukankah selama ini kita saksikan banyak “oknum” TNI di segala bidang melakukan kesalahan dan kecurangan?
Jika jawaban atas rangkaian pertanyaan itu negatif, hasilnya tentu nihil. Namun, penulis yakin, semangat menjunjung tinggi disiplin yang selama ini tertanam kuat dalam perilaku TNI dapat menjamin adanya pelapor yang dapat dipercaya dari TPS ke lembaga selanjutnya. Dalam hal ini penulis mempercayai TNI karena pengalaman di masa gerilya. Banyak keluarga dan kerabat penulis menjadi tentara maupun polisi. Penulis melihat sendiri bagaimana mereka mau hidup jujur dalam kekurangan, amat mengharukan!
Bahkan, pemerintah kita pun “tidak sempat” memberi penghargaan yang layak kepada jasa-jasa mereka, baik dalam masa serba kekurangan sebagai purnawirawan maupun yang masih berdinas aktif. Contoh, adik ayah penulis, Mayor Jenderal (Purn) Div Brawijaya alm A. Khaliq Hasyim, yang menjadi salah seorang pendiri Bakin dan pembebas Kota Madiun dari pemberontakan tahun 1948. Keluarganya, K.H. A. Hakam Khaliq, tidak menuntut apa-apa sebagai pensiunan guru agama negeri di Madrasah Mualimat di Cukir (Jombang) kini, ia sekeluarga tetap jujur.