Penafsiran Kembali Kebenaran Relatif
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam dialog dengan para mahasiswa di Samarinda akhir Januari lalu, lagi-lagi keluar sebuah pertanyaan yang di mana-mana penulis hadapi, terutama dari kalangan anak muda. Seorang mahasiswa bertanya; mengapa penulis tak mau menerima sesuatu yang dianggap sebagai pendirian Islam, umpamanya saja mengenai kehadiran “negara Islam”? Nah, jawaban atas pertanyaan itu, penulis kemukakan dalam tulisan ini untuk dipikirkan bersama. Kalau ada argumentasi berbeda, diharapkan disampaikan pada penulis. Bisa jadi itu akan mengubah pendirian penulis, atau malah sebaliknya. Ini penting dilakukan, untuk semakin menajamkan argumentasi orang yang pro (menyetujui) atau kontra (menentang) terhadap sebuah gagasan atau pendapat. Ini hal biasa dalam sebuah pertukaran pendapat yang bebas dan terbuka, untuk mencapai kebenaran bagi sebuah persoalan.
Kita memang belum terbiasa dengan hal seperti ini, karena sekian lama kita terpasung dalam menyampaikan pendapat. Mengapa? Karena para penguasa otoriter memaksakan pendapat dan memaksakan “kebenaran” miliknya sendiri. Karena kalau pintu perdebatan dibuka, salah-salah akan ada argumentasi yang menyangkal “kebenaran” yang dikemukakan rezim tersebut. Apalagi, kalau kontra argumentasi itu dikemukakan dalam bentuk pertanyaan. Kalau tidak dapat menjawab, maka sang penguasa itu akan kehilangan pendapat, sesuatu yang tidak diinginkan. Bukankah filosof Yunani kuno, Plato, pernah menyatakan, sebuah pertanyaan berarti separuh kebenaran. Ketakutan akan lemahnya argumentasi sendiri, menyebabkan seseorang tidak memperkenankan adanya pertukaran argumentasi, yang menjadi dasar sebuah perdebatan terbuka dan saling tukar pendapat. Karenanya sejarah telah mencatat, seorang penguasa otoriter tidak akan bersedia mengadakan dialog dan pertukaran pendapat. Lain halnya dengan agama yang memiliki “kebenaran moral”, yang tetap akan ada walaupun terjadi penyanggahan. Kitab suci al-Qurân menyatakan; “Kalau para hamba-Ku bertanya tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat (dengan mereka) memenuhi permintaan orang yang berdo’a jika (diajukan) kepada-Ku (wa idzâ sa’alaka ‘ibâdî ‘annî fa-innî qarîbun ujîbu da’wata al- dâ’i idzâ da’âni)” (QS al-Baqarah [2]:186).
Prinsip di atas, perlu dikemukakan di sini, karena hanya melalui dialog yang bebas dan terbuka, dapat dicapai kebenaran akhir yang diikuti dan diterima orang yang berpikiran sehat dan wajar. Inilah arti penting dari sikap jujur, untuk mempertahankan kebenaran, berpikir, berpendapat dan menyatakan pendapat. Ini pula yang merupakan ciri berlangsungnya kehidupan demokratis, tidak seperti di beberapa negara tetangga kita. Mereka mengajukan klaim sebagai negara demokratis, namun dengan alasan keamanan internal, diberlakukan kekangan/hambatan psikologis agar tidak menyatakan pendapat secara bebas. Dengan kata lain, yang berlaku di tempat-tempat itu adalah demokrasi prosedural, bukan demokrasi sesungguhnya. Kalau ditambahkan embel-embel kata lain pada istilah demokrasi, seperti demokrasi rakyat dan demokrasi Islam, maka pada akhirnya demokrasi itu sendiri akan mati dan tidak muncul ke permukaan.
Kembali pada pertanyaan mahasiswa di atas, mengapa ada “ajaran Islam” yang ditolak? Penulis dapat menjawab bahwa tidak pernah menolak “ajaran Islam yang baku”, seperti tauhid dan sebagainya. Namun, penulis hanya menyanggah pendapat yang oleh banyak orang dianggap sebagai “ajaran tetap” dalam agama Islam. Padahal, ajaran itu telah berubah melalui perubahan zaman, dengan menggunakan cara tertentu. Di antara cara tertentu itu, adalah penafsiran ulang (reinterpretasi) oleh kaum muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai kebenaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu berubah dengan adanya penafsiran ulang itu. Contoh yang dapat dikemukakan di sini, adalah penafsiran ulang atas ucapan Rasulullah Saw: “Maka Aku (akan) membanggakan kalian (di hadapan) umat-umat (lain) pada hari kiamat (fa innî mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah).” Dalam penafsiran lama, kaum muslimin mengartikan kebanggaan beliau itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga mereka pun berbanyak-banyak anak. Tafsiran ulang yang baru, yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga Berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: kebanggaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan tempat dan waktu (Shalihun li kulli zamânin wa makânin).
Dengan demikian, apa yang tadinya dianggap sebagai “kebenaran” lalu dianggap oleh sebagian kaum muslimin sendiri, pada masa kini, sebagai “kebenaran relatif” yang perlu diberi tafsiran baru. Contoh di atas adalah sebuah kenyataan empirik yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun.
Sebuah tafsir ulang lain yang dapat dikemukakan di sini, adalah melaksanakan sumpah setia ketika berjanji; “Orang-orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âahadû)” (QS al-Baqarah [2]:176), sebuah ungkapan firman Allah yang tadinya dianggap janji secara umum saja. Tafsir ulang atas istilah tersebut, dapat diartikan dengan pengertian baru “menjunjung tinggi profesionalisme”. Bukankah janji tertinggi dari seseorang, disampaikan ketika ia mengucapkan sumpah/prasetia jabatan? Bukankah dengan demikian, berarti Islam sangat mengutamakan profesionalisme, dengan segala implikasinya?
Jelaslah dari keterangan di atas, dengan tafsir ulang seperti itu, “kebenaran relatif” Islam dapat ditegakkan secara pasti. Dengan demikian, ada jalinan sangat halus antara keyakinan yang terdapat dalam diri seorang muslim dan data empirik. Hal ini telah terjadi dengan sendirinya, sebagai proses alami yang wajar, dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin. Ini dimungkinkan oleh kenyataan yang terdapat dalam sejarah kaum muslim sendiri, seperti yang kita ketahui dari bacaan selama ini.
Ketentuan ushûl fiqh (teori hukum Islam) berbunyi; bahwa hukum agama (qarâr al-hukmi) terbagi dalam dua jenis; qath’iyah al-tsubût (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau dalil naqli) dan dhanniyah al-tsubût (hukum tidak berdasarkan sumber tertulis atau dalil aqli). Dengan demikian, sepanjang dapat diterima oleh akal, maka sebuah hukum agama dapat berlaku berdasarkan pandangan akal dan selama tidak bertentangan dengan sumber-sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits. Pembedaan ini dilakukan dalam teori hukum Islam karena tidak semua hal lalu ada sumber-sumber tertulisnya. Bagi kasus-kasus yang termasuk dalam kategori ini, maka dibuatlah jenis hukum yang tidak berdasarkan pada sumber-sumber tertulis. Termasuk dalam hal ini, fatwa Syekh Yusuf al-Qaradhawi, bahwa bunga bank yang tidak eksploitatif dan berguna bagi reproduksi barang (termasuk dalam ongkos produksi), tidaklah dapat dianggap riba. Masih banyak penafsiran lain tentang hal ini. Di sinilah sangat terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu al-ummah).” Kalau kita pegang adagium ini, maka yang dilarang hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita.
Sekarang, bila sebuah hukum agama sudah ada dalam sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah al-tsubût), sementara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Lalu, apakah yang harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita menggunakan sebuah kaidah hukum Islam (qaidah al-fiqh), bahwa keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk dilaksanakan (al-dharûratu tubîhu al-mahdhûrât). [1] Hal ini, umpamanya saja, terlihat pada kasus negara yang sudah meratifikasi Deklarasi Universal tentang HakHak Asasi Manusia (HAM)—(Universal Declaration of Human Rights) yang ditetapkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Deklarasi HAM itu terdapat masalah hak memeluk atau berpindah agama. Ini tentu bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, sebab menurut hukum agama (fiqh) orang yang berpindah agama Islam kepada agama lain, harus dianggap sebagai apostacy (murtad). Kalau hukum ini dilaksanakan, maka lebih dari 25 juta jiwa penduduk Indonesia yang berpindah dari agama Islam ke agama lain dalam lingkungan negara Republik Indonesia, dapat dijatuhi hukuman mati.
Catatan kaki:
[1] Lihat Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadla’ir fi al-Furu’, hlm. 60.