Perdamaian Belum Terwujud di Timur Tengah
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada akhir Februari hingga awal Maret 2003 ini, penulis berada di Washington DC, Amerika Serikat (AS), guna menghadiri sebuah konferensi perdamaian untuk kawasan Timur Tengah. Undangan sebagai peserta konferensi, diberikan oleh IIFWP (Interreligious and International Federation for World Peace, Federasi Internasional Antar Agama untuk Perdamaian Dunia), yang berkedudukan di New York. Mengapakah penulis jauh-jauh mengikuti konferensi tersebut, padahal hampir setiap hari demonstrasi-demonstrasi di tanah air, menuntut turun/lengsernya pasangan Megawati-Hamzah Haz? Penulis memutuskan pergi ke negara Paman Sam itu, karena dua alasan. Pertama, karena perkembangan dalam negeri baru mencapai titik kulminasi setelah minggu kedua bulan Maret 2003. Kedua, karena persiapan-persiapan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Inggris sudah berjalan sangat jauh, -saat tulisan ini dibuat- dengan dikirimnya 198.000 pasukan AS dan 40.000 tentara Inggris ke kawasan tersebut, berarti pencegahan perang lebih terasa urgensinya di kawasan Timur Tengah saat ini.
Tentu ada orang yang berpendapat, sikap gila dalam pendirian penulis, karena menilai saat ini justru saat yang paling baik untuk memulai sebuah inisiatif baru guna mencari titik perdamaian abadi bagi kawasan Timur Tengah. Bukankah persiapan negara adikuasa AS dan sekutunya Inggris Raya, merupakan petunjuk tak terbantahkan akan persiapan perang yang sudah berjalan sangat jauh, hingga tidak dapat dihentikan? Bukankah pertimbangan-pertimbangan geopolitik telah memaksa AS dan para sekutunya untuk menggunakan perang sebagai “alat pemaksa” atas Irak? Jawabannya, adalah bahwa dapat dibenarkan ucapan ahli strategi perang Jerman Von Clausewitz, bahwa “perang adalah kelanjutan dari diplomasi/perundingan yang gagal”. Dalam pandangan penulis, sikap negara-negara besar seperti Jerman, Prancis, Rusia, dan Tiongkok menunjukan, bahwa upaya-upaya diplomatik tetap memiliki relevansi yang besar, dalam mencari solusi damai atas masalah Timur Tengah. Karenanya, dari sekarang sampai dengan terjadinya secara aktual/formal pemboman atas Irak, dapat dikatakan peluang bagi perdamaian di kawasan itu tetap terbuka.
Kita pun sudah terbiasa menghadapai kenyataan, bahwa penyelesaian sebuah konflik didapati hanya pada akhir sebuah proses yang panjang di hadapan persiapan-persiapan “penuh kekerasan”, yang dalam bahasa asing disebut “merebut kemenangan dari gigitan musuh di saat-saat terakhir” (snatch victory from the jaws of defeat). Namun, hal itu tidak akan tercapai, apabila dua buah tindakan tidak diambil pada waktu yang bersamaan. Pertama, adanya sebuah forum yang untuk kesekian kalinya membicarakan dan kemudian menetapkan upaya terakhir yang harus dijalankan untuk menyelesaikan konflik secara damai. Kedua, begitu keputusan diambil, harus segera ditunjuk orang yang melaksanakannya, dalam waktu yang begitu sempit.
Dengan dua persyaratan itulah, baru ada harganya untuk “menggunakan kesempatan dalam kesempitan”. Kesempatan menegakkan perdamaian abadi di kawasan tersebut, dengan menggunakan kesempitan menghadapi kenyataan pahit di kawasan tersebut.
*****
Penulis mengajukan dalam pidato pembukaan di konferensi itu, bahwa perdamaian abadi di Timur Tengah hanya dapat dicapai, kalau penyelesaian damai atas konflik Israel-Palestina dikaitkan dengan perdamaian di Irak. Perdamaian antara Israel–Palestina dapat saja dicapai dengan dihentikannya persiapan–persiapan untuk melakukan pemboman dan pengiriman pasukan-pasukan ke negeri Abu Nawas itu. Dengan demikian, penyelesaian konflik Israel-Palestina akan membawa perdamaian di Timur Tengah, jika dihentikan persiapan perang dalam skala besar ke Irak.
Demikian pula, upaya perdamaian dapat dilakukan dengan berhentinya pemboman atas Irak, jika ternyata hal itu tidak membawa hasil. Dengan kata lain, ucapan Von Clausewitz di atas harus diteruskan dengan ungkapan “perundingan/negosiasi adalah kelanjutan dari peperangan yang gagal”. Kegagalan peperangan atas Irak akan terjadi, jika Presiden AS, George Bush Jr. gagal menangkap Saddam dalam waktu yang cepat. Mengapa? Karena rakyat AS tidak akan bersedia membiayai peperangan untuk jangka waktu yang lama, walaupun negara tersebut telah mencapai kekayaan berlimpah-limpah, atau justru karena persenjataan yang sangat canggih juga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk digunakan. Dikombinasikan dengan demonstrasi di mana-mana, termasuk di AS dan Inggris, untuk tidak menyelesaikan konflik tersebut dengan kekerasan, maka dapatlah diperhitungkan peperangan akan terhenti dengan sendirinya, kalau Saddam Hussein tidak juga segera tertangkap oleh musuh-musuh politiknya.
Maka untuk menolong “muka” AS-Inggris dan Israel, -upaya ini dilakukan agar tidak membuat peperangan berjalan lama diperlukan langkah-langkah untuk mencapai dua pemecahan (solusi), caranya adalah dengan mencapai kesepakatan antara ke empat pihak (AS, Inggris, Israel, dan Irak), yang berlanjut dengan penghentian tindak-tindak militer di kawasan Israel-Palestina dan Irak. Digabungkan dengan melakukan hal-hal berikut ini, pertama, dengan memperkuat negara Palestina merdeka, melalui pemberian bantuan keuangan berupa kredit murah berjangka panjang bagi negara itu, katakanlah sebesar 1 miliar dolar AS. Karena dengan bantuan seperti itu, kebangkitan industri dan perdagangan Palestina akan menjadi sangat cepat, apabila para pemimpin Palestina mampu menciptakan pemerintahan yang bersih di masa depan. Kedua, untuk menghindari perang, -ini paling pahit dan sulit dilaksanakan mengusahakan agar Saddam Hussein lengser dari jabatan kepresidenan secara sukarela, untuk memungkinkan tercapainya negara Palestina yang kuat secara industrial/komersial dalam waktu cepat.
*****
Untuk memungkinkan tercapainya hal tersebut di atas, yaitu “menolong posisi” Israel dan Amerika Serikat-Inggris dalam percaturan politik internasional, maka diperlukan seorang penengah yang bersedia mondar-mandir ke AS, Inggris, Israel, Palestina, Libya, Irak, dan negara-negara lain di Timur Tengah. Dengan demikian, sikap untuk menentang atau mendukung posisi Israel dan Amerika Serikat-Inggris dalam kedua hal tersebut, harus dibaca sebagai sikap permulaan (initial attitudes), yang dapat saja berubah karena perkembangan keadaan. Sedangkan peran “negosiator” (juru runding) itu, kalau tidak dilakukan oleh seseorang secara pribadi (seperti disebutkan di atas), dapat saja dilakukan oleh sekelompok orang (institusi/grup). Hal itu telah dilakukan dalam kasus Aceh oleh Henry Dunant Center, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang berkedudukan di Geneva.
Kesungguhan sikap negara-negara yang terlibat, maupun kegigihan sang negosiator sangatlah diperlukan, untuk mencapai perdamaian abadi di kawasan itu. Karenanya, negosiator tersebut haruslah memperoleh dukungan kuat dari siapapun, dalam bentuk bantuan logistik maupun kemudahan-kemudahan yang lain. Kalau tugas itu dibebankan pada seseorang, haruslah dipastikan orang tersebut memiliki stamina yang sangat prima, dibantu oleh dua orang asisten yang bekerja terus-menerus selama beberapa bulan. Tentu saja, peranan seperti itu akan sangat menarik hati siapa pun, hingga banyak yang ingin melakukannya. Tetapi, tentu saja tidak setiap orang (termasuk para diplomat dan para negarawan) mampu untuk melaksanakannya. Ada sebuah persyaratan lain yang sangat penting dalam hal ini; negosiator itu haruslah dipercaya oleh semua pihak yang terlibat, yang juga membawa “kelayakan” bagi seorang muslim untuk tugas tersebut.
Itulah sebabnya,mengapa penulis bergairah untuk datang ke Washington DC. Pertama, untuk mengemukakan pendapatnya, bahwa sampai titik terakhir sekalipun, harus diupayakan penyelesaiaan damai (peaceful settlement) yang bersifat permanen untuk kawasan Timur Tengah. Kedua, untuk bertemu dan menyampaikan beberapa hasil pemikiran pada negosiator yang dipilih atau ditunjuk oleh konferensi di ibu kota negara tersebut. Konferensi diselenggarakan di sebuah hotel di Washington, yang dari dalam ruangannya masih dapat terlihat bekas-bekas serangan ke gedung Pentagon pada Tragedi 11 September 2001, diharapkan ia menjadi forum dengan kewibawaan sangat tinggi (prestigious body) dalam lingkup politik dunia. Di samping itu, penulis juga dapat memenuhi undangan berceramah pada Universitas Michigan di Ann Arbor dan disamping check up medis di Boston General Hospital. Perjalanan menarik walaupun sangat melelahkan.