Kata Pengantar: PKB Didirikan oleh PBNU

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kehadiran tokoh penting, seperti Pak Try Soetrisno, Pak Edy Sudradjat, Pak Suryadi (mantan Wakasad, bukan ketua PDI, red), dan perwira tinggi lainnya, termasuk duta besar Palestina, Ribbi Awad, serta pimpinan NU se-Indonesia, dan juga ribuan warga NU dan non-NU pada acara ini, merupakan pertanda bahwa pertemuan ini diridloi oleh Allah Swt. Kita bertemu di sini, untuk menyaksikan peresmian sebuah partai, Partai Kebangkitan Bangsa yang disingkat PKB.

Jadi, seolah-olah orang lupa, bahwa sepulangnya dari sini, pengurus partai harus kerja keras. Kita, dari NU mungkin sedikit bekerja keras untuk melahirkan partai itu. Hingga, begitu beratnya mengemban amanat dan tugas di atas, pengurus partai harus mampu membuat partai ini dapat berbuat di tengah-tengah warga NU yang demikian banyak. Ini pula, yang dialami bapak-bapak kita pada tahun 1952. Sehabis Muktamar NU di Palembang, ayah saya pun (KH. Wahid Hasyim-red) meninggal dalam kecelakaan lalu lintas untuk berjuang demi kepentingan membesarkan NU yang ikut dalam Pemilu 1955. Itu semua, tak lain karena kecintaan pada NU, sama dengan kehadiran kita ke sini.

Saya, yang ada di desa Ciganjur ini, tidak menyangka bapak-bapak datang dari tempat yang begitu jauh, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara dan lain-lainnya. Ini semua, tak lain hanya karena kecintaannya kepada NU. Karena itu, –sekali lagi, saya mengucapkan “Jazaakumullah khoiro jazaa“, semoga Allah mengimbangi jasa itu dengan jalan yang sebaik-baiknya, itu yang pertama.

Kedua, PBNU sekarang sudah bisa bernafas lega, karena tugas mendirikan partai seperti yang diminta warga NU telah selesai. Tugas ini tidak ringan. Bersama dengan Ro’is Aam KH. Ilyas Ruchiat, saya selalu dalam kepusingan, atas banyaknya permintaan dari warga NU untuk mendirikan partai. Bahkan, dalam waktu yang bersamaan, ada dua permintaan yang berat; yakni, pertama agar diadakan istighosah kubro untuk daerah Jakarta dan sekitarnya. Alhamdulillah, istighosah –yang idenya datang dari KH. Manarul Hidayah dari pesantren Al Mahbubiyah ini, bisa dilaksanakan di Parkir Timur Senayan Jakarta, dihadiri lebih dari satu juta orang. Dengan demikian, tunai sudah tugas PBNU kepada warganya.

Utang kedua adalah utang mendirikan partai. Belasan ribu orang datang ke rumah (Ciganjur, red) untuk menjenguk saya, tetapi sambil membisiki sesuatu, –di sinilah uniknya orang NU, menjenguk sambil mendo’akan sekaligus juga membisiki– “masak massa NU dibiarkan tanpa partai”. Padahal, partai-partai yang ada, umumnya bersifat regional, di tempat-tempat seperti yang ada di Rembang, Cirebon dan Purwokerto dan Jakarta. Di Jakarta sendiri, ada sebuah partai yang sudah diupayakan untuk berdiri.

Dari sini, diketahui bahwa antusiasme warga NU untuk mendirikan partai sangatlah besar. Jika sudah demikian, masak PBNU-nya pura-pura tidak tahu. Karenanya, saya sambut gembira adanya keputusan PBNU untuk membentuk panitia lima yang disusul dengan panitia sembilan –sebagai tim asistensi panitia lima, untuk mempelajari kemungkinan berdirinya sebuah partai ini. Sehingga, sempurna sudah tugas PBNU dalam membuat perangkat mendirikan partai yang kita cintai ini pada hari ini, Kamis Wage, tanggal 23 Juli 1998.

Kita saksikan tadi, KH. Ilyas Ruchiat, KH. Munasir Ali, KH. Muchid Muzadi dan KH. Mustofa Bisri, semuanya telah memberikan restu berdirinya partai baru ini. Walaupun banyak perbedaan pandangan di antara mereka, antar mereka dengan PBNU serta mereka dengan partai yang baru ini. Adanya perbedaan pandangan; baik mengenai masalah personalia, isi, tujuan dan wawasan yang, menyangkut hubungan antara NU dan Partai Kebangkitan adalah hal yang lazim. Perbedaan itu, merupakan sesuatu yang baik, karena bangsa kita tumbuh dari perbedaan-perbedaan yang ada.

Saya merasakan bahwa, lahirnya partai baru ini akan meringankan sebagian tugas NU. Tapi, perlu diingat bahwa, nanti jika partai telah berjalan dan berdiri, semua pengurus NU yang ditugaskan di partai, supaya melepaskan diri dari kepengurusan di NU. Karena apa ? Karena memang, hal ini, telah menjadi ketentuan AD/ART yang, menyatakan bahwa pengurus harian NU tidak boleh merangkap jabatan dalam kepengurusan harian parpol manapun, termasuk parpol yang didirikan warga NU sendiri. Ini penting saya ingatkan, sebab sering dilupakan oleh pengurus-pengurus wilayah NU.

Dengan begitu, pengurus wilayah nantinya akan menjadi panutan bagi pengurus NU di daerah tingkat II. Itu sebabnya, –sekali lagi, saya ingatkan, hendaknya di PBNU lebih dahulu memberikan contoh, baru kemudian ke bawah dan ke bawahnya lagi. Jadi, ini penting sekali buat pengurus-pengurus wilayah yang, saat ini, telah menyusun pengurus partai baru di daerah masing-masing.

Mengenai nama Partai Kebangkitan Bangsa, kata “kebangkitan” jelas diambilkan dari kata “Nahdlok” dalam bahasa Arab. Kita hanya mengikuti ketentuan undang-undang saja. Dalam ketentuan itu, jelas disebutkan adanya pelarangan penggunaan bahasa asing. Maka, dalam hal ini, kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik, yakni kebangkitan. Tetapi, kenapa lantas, “Bangsa”? Kok tidak menggu- nakan “Kebangkitan Umat”? Masalahnya sederhana saja. Sebab, jangan-jangan nanti kalau menggunakan “Partai Kebangkitan Umat”, Undang-Undang menetapkan lain. Yang berarti, tidak boleh menggunakan kata-kata berbahasa Arab (kata-kata asing, red), itu saja pertimbangannya.

Oleh karena itu, kita pilih yang bisa diterima oleh undang-undang, yakni “bangsa”. Di sini, tidak akan pernah ada yang bisa melarang menggunakan kata “Bangsa”, siapapun juga. Karena, substansi kata tersebut, merupakan sesuatu yang inhern (menyatu, red) dalam kehidupan berbangsa kita. Jadi, karena itulah dipilih nama “Partai Kebangkitan Bangsa”. Kebangkitan berasal dari kata nahdloh. Pakai kata “Bangsa”, karena ini dicintai oleh NU. Alasan lain yang penting sekali adalah, bahwa NU sejak semula menginginkan kejayaan bangsa ini.

Dalam Muktamar NU di Banjarmasin, tahun 1935, –sepuluh tahun sebelum Indonesia Merdeka, maka diajukanlah sebuah pertanyaan– apakah kaum muslimin di Indonesia diwajibkan mendirikan Kerajaan Islam? Jawabnya, tidak wajib. Karena apa? Karena, kata “Bangsa” telah masuk ke dalam lubuk hati warga NU. Kita sebagai bangsa terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, ras maupun agama; ada yang Islam serta non-Islam. Karena itu, kalau kita menggunakan kata “Kebangkitan Umat”, kelompok lain tidak akan termasuk di dalamnya. Tetapi, kalau menggunakan “Bangsa” mereka akan termasuk di dalamnya.

Sampai kini, kita masih salah pandangan bahwa, banyak di antara warga kita –terutama warga NU yang menganggap; orang Cina bukanlah orang Indonesia. Ini banyak sekali. Di mana-mana kita temui, padahal ini salah. Karena apa? Karena, kalau dilihat dari sudut ras, Indonesia tidak hanya terdiri dari dua ras, yakni Cina dan ras keturunan asli. Tidak ada keturunan asli di Indonesia. Jika kita bagi betul, sebenarnya, Indonesia ini terdiri dari tiga ras yakni; ras Melayu, Austro Melanesia (yakni orang-orang Ambon, Nusa Tenggara dan Irian) dan ras Cina. Kemudian, ketiga-tiganya membentuk kebangsaan kita, yakni Indonesia.

Karena itulah, dari dulu NU akrab dengan kata bangsa, yang mencerminkan sikap hidup NU. Yaitu, terikat pada agama karena cinta kepada Islam, terikat pada bangsa karena kita adalah warga bangsa. Ini, merupakan suatu hal yang jarang sekali diperhatikan orang di kawasan-kawasan lain. Banyak yang bertanya kepada saya, di Timur Tengah –kenapa terjadi adanya sikap-sikap yang keras terhadap orang lain? Ya, artinya mereka tidak mengerti arti dari berbangsa yang baik. Kalau mengetahui arti berbangsa yang baik, maka kita akan ingat bahwa seseorang yang tidak beragama Islam adalah saudara-saudara kita.

Mereka adalah pendiri dari bangsa kita ini. Bahkan, di dalam proses berdirinya negara Indonesia banyak sekali warga keturunan. Bahkan, lebih dari itu, saya sendiri adalah orang setengah Cina dan setengah Arab. Karena nenek moyang saya, –500 tahun yang lalu, namanya Tan Kim Han, jadi ada darah Cina pada diri saya. Dari situlah, saya tidak bisa terima sikap yang menganggap bahwa di Indonesia ini terdapat perbedaan-perbedaan ras, sama sekali tidak ada.

Pada hari ini, kita bersama-sama mengadakan acara untuk melantik adanya partai baru. Partai baru ini, tentunya, akan bekerja sekeras-kerasnya untuk memenangkan pemilu mendatang. Karena itu, tidaklah heran kalau semua partai yang ikut dalam pemilu, belum-belum sudah ketakutan dengan adanya partai yang baru. Saudara Tosari Wijaya (Sekjen DPP PPP) menyatakan, “untung sekali Partai Kebangkitan Bangsa tidak didirikan oleh PBNU”, ternyata dia salah. Karena, Partai Kebangkitan Bangsa ini adalah partai yang didirikan oleh PBNU.

Dengan demikian, diharapkan seluruh warga NU yang ikut dalam pemilu nanti mencoblos partai kebangkitan kita ini. “Ini bukan kampanye, (meski) belum waktunya”.

Hanya saja, karena PBNU sudah mendirikan dan melahirkan maka dengan sendirinya PBNU merasa terikat dengan partai tersebut. Mudah-mudahan ikatan kita terhadap partai ini juga akan membawa ikatan dalam pemilu nanti. Kita melihat, partai ini sebenarnya lain dari pada yang lain. Dia adalah merupakan bagian dari kehidupan kita bersama-sama, sebagai sebuah bangsa. Kita akan membawakan makna lain yang, didasarkan atas –sekaligus, kecintaan kita pada agama masing-masing. Secara sederhana, –mungkin, dapat dikatakan bahwa partai ini, memang partainya orang tahlilan, istighosah dan juga orang yang bersholawat badar.

Di samping saya, ada Bapak Edy Sudradjat dan Pak Try, keduanya adalah orang yang benar-benar berpikiran kebangsaan (hadirin kontan bertepuk tangan). Tepuk tangan ini, menunjukkan apa yang saya katakan dimengerti oleh warga. Jangan takut tidak ada apa-apa. Bahwa NU akan tetap menganjurkan warganya mendukung partai kebangsaan supaya bekerja sama dengan mereka yang menginginkan kesatuan bangsa yang baik. Ini yang saya ingatkan kepada Pak Try, Pak Edy dan sebagainya. Marilah kita bersama-sama membangun bangsa ini sebagai bangsa yang besar, jangan seperti sekarang. Yakni, bangsa yang menunggu-nunggu utang dari luar negeri. Masa depan adalah masa kita bersama, ini kenyataan.

Sekarang ini, kalau kita dengarkan ucapan pemerintah itu isinya hanya menunggu utang dicairkan dari luar, itu saja. Memang, kita juga menikmati itu, ya tetapi tetap utang dan harus dibayar. Sedangkan bangsa kita itu bangsa yang besar sekali.

Karena itu, sekali lagi, perlu saya nyatakan, partai ini terikat pada asas kebangsaannya dan keagamaannya. Jadi dengan demikian, saya menyambut gembira sekali adanya kelahiran dari partai yang baru berdiri ini. Adapun kalau saya ditanya, siapa yang akan menang dalam pemilu nanti, ya Partai Kebangkitan Bangsa, partai yang mana lagi ? Karena ini diisi oleh orang-orang NU. Mungkin orang lain tidak ikut dalam partai ini, masih ada rasa ngeri-nya itu. Tetapi tidak apa-apa dengan modal orang NU saja sudah cukup besar kok.

Oleh karena itu, partai ini dapat dihitung sebagai partai yang besar dan akan mencapai kebesarannya sendiri. Hendaknya ini diingat-ingat oleh pengurus partai, Kiai Makruf Amin, Kiai Cholil Bisri atau Pak Matori. Bahwa, kita sudah punya wadah partai, warga NU sangat mengharapkan banyak terhadap partai ini Buktikan hal itu dapat anda penuhi di hadapan warga NU.

Saya rasa inilah yang perlu saya kemukakan di sini.