Posisi Struktural Kepemimpinan Umat
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sejak awal sejarahnya, umat Islam telah didera oleh pilihan sulit antara dua kecenderungan. Di satu pihak, ajaran Islam yang penuh dengan keharusan menolong mereka yang lemah dan tidak beruntung. Di pihak lain, Islam sebagai “agama hukum” senantiasa cenderung memaksakan ketundukan penuh kepada pemegang kekuasaan. Walaupun kecenderungan ini juga diiringi dengan kecenderungan selalu mempertanyakan keabsahan sistem pemerintahan yang tidak mau menerima “tugas” menerapkan ajaran Islam secara penuh dalam kehidupan negara. Atau, dengan kata lain, selalu berusaha menolak paham sekularisme.
Dualisme antara populisme dan pandangan legalformalistik ini dengan sendirinya sangat mewarnai peta kepemimpinan umat Islam di mana saja di seluruh dunia. Minimal dalam abad ini. Di Iran, dualisme akhirnya dipecahkan oleh Ayatullah Khomeini, yang secara mutlak menempatkan perlawanan kepada pemerintahan Syah Iran sebagai “perjuangan agama”. Melalui perlawanan itu, Khomeini lalu membangun sebuah masyarakat baru yang dicita-citakan.
Ketika pemerintahan kita masih berbentuk pemerintahan kolonial sebelum kemerdekaan, masih mudah gerakan-gerakan nasional diajak untuk bersikap melawan. Minimal memberikan perlawanan pasif dan nominal belaka: politik nonkooperatif dalam (hampir) semua bidang kehidupan. Masalahnya menjadi berbeda, setelah ternyata kemerdekaan tidak membawa “pemerintahan Islami”. Yang berdiri adalah “pemerintahan nasional” yang hanya menerima beberapa bagian saja dari keseluruhan ajaran Islam dan tata hukumnya.
Karena itu, dapat dimengerti jika gerakan-gerakan Islam lalu memutuskan untuk memperjuangkan sebuah “negara Islam” dalam Konstituante 1956-1959. Ketika proyek itu gagal, dengan dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, gerakan-gerakan Islam lalu menerima kenyataan itu dengan mengembangkan sikap-sikap akomodatif terhadap penataan politik, menuju kepada “wawasan kebangsaan”. Adalah cukup menarik untuk melihat apa dampak dari pilihan mengambil sikap akomodatif tersebut di lingkungan gerakan-gerakan Islam. Dua perkembangan segera akan terjadi.
Di satu sisi, gerakan-gerakan Islam yang sudah mapan, dalam bentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Muhammadiyah dan NU, mengambil sikap mendukung pemerintah “berwawasan kebangsaan” yang didirikan Orde Baru semenjak dua puluh lima tahun terakhir ini. Kenyataan bahwa pemerintahan bersifat otoriter. Walaupun tidak sampai kepada pemerintahan totaliter, diterima sebagai “kenyataan tak terelakkan”. Lebih-lebih setelah beberapa bagian dari Hukum Islam dijadikan bagian Hukum Nasional.
Di sisi lain, sejumlah aktivis gerakan-gerakan Islam justru mengambil sikap lain. Bagi mereka, yang kebanyakan berkecimpung dalam berbagai LSM (lembaga swadaya masyarakat), masalah utamanya bukanlah menerima Pancasila atau menolaknya. Hal itu sudah kedaluwarsa karena Pancasila memang sudah dimapankan oleh berbagai jenis rekayasa politik dan ekonomi yang dilakukan Orde Baru sejak awal tahun-tahun 1970-an. Masalah utama yang harus dipecahkan, menurut mereka, adalah bagaimana menerjemahkan nilai-nilai luhur dari Pancasila dalam kehidupan bangsa secara keseluruhan. Caranya adalah dengan memperjuangkan keadilan sosial dalam bentuknya yang paling konkret: struktur masyarakat yang bersikap adil kepada rakyat kecil.
Untuk mewujudkan struktur seperti itu, dilakukan kerja-kerja rintisan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat, terutama orang kecil, untuk memperbaiki nasib melalui pembentukan “kelompok operasional” yang akan mengusahakan terciptanya kondisi di mana suara rakyat kecil dan kepentingan mereka menjadi ukuran utama keberhasilan proses pembangunan. Dengan kata lain, mengembangkan proses demokratisasi dari bawah, di hadapan pola-pola pembangunan yang disodorkan pemerintah, yang dinilai sebagai “teknokratik” dan mendikte dari atas (top down approach).
Dalam perkembangan selanjutnya, pembagian jenis gerakan-gerakan Islam seperti itu, antara yang puas dengan status quo bentuk kemasyarakatan yang ada dan mereka yang menginginkan demokratisasi, ternyata menampilkan sosok baru: perubahan pengelompokan. Kalau tadinya dipisahkan antara mereka yang akomodatif dan mereka yang bersikap kritis terhadap pemerintah, pemisahannya sekarang adalah antara mereka yang mencoba masuk ke dalam sistem politik yang ada, dan mereka yang ingin mengembangkan independensi masyarakat dari “jangkauan negara”.
Muhammadiyah dan NU memilih “jalan independensi” dari pemerintahan itu, dalam arti menjaga kedaulatan intern masing-masing dari campur tangan pemerintah. Sebaliknya, sejumlah tokoh LSM yang dahulu bersikap sangat kritis terhadap teknokrasi, kini justru melakukan identifikasi yang dibawakan pemerintah. Agenda mereka sudah berubah sama sekali: bagaimana menguasai birokrasi pemerintahan dalam waktu secepat mungkin, agar “bendera Islam” dapat segera berkabar dalam kejayaan dan keagungan.
Segala macam argumentasi dikemukakan untuk membenarkan perubahan sikap tersebut. Mulai dari “peran historis” umat Islam yang menghadiahkan Pancasila kepada bangsa dan negara, hingga isu dominasi pemerintahan dan perekonomian oleh kalangan minoritas. Didengungkan “hak sejarah” umat Islam atas pemerintahan, karena kedudukannya selaku mayoritas bangsa. Dengan argumentasi seperti itu, mereka mengajukan tuntutan agar gerakan-gerakan Islam memperoleh “jatah yang sudah menjadi hak” mereka untuk diwakili secara memadai dalam pemerintahan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menampilkan tokoh-tokoh yang dianggap mewakili Islam dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, seperti diisyaratkan adanya oleh isu “penghijauan MPR” yang beredar beberapa waktu yang lalu. Langkah berikut yang ditempuh adalah mengemukakan kesahihan tuntutan perwakilan yang memadai bagi umat Islam dalam Kabinet Pembangunan VI. Sebuah langkah yang pada dasarnya tidak salah. Bukankah tipe warga negara berhak mengabdi kepada nusa dan bangsa melalui bidang yang diinginkan masing-masing.
Namun, masalahnya tidak sesederhana ini. Perjuangan umat Islam tidaklah harus mengutamakan jalan memasuki dan menguasai birokrasi pemerintahan. Justru tekanan pada peranan terlalu besar di pihak birokrasi pemerintahan itu sendiri yang memerlukan kajian ulang. Argumentasinya sederhana saja: penguatan posisi dan peranan birokrasi justru akan berakibat melemahkan inisiatif dan kiprah masyarakat, terutama semakin menepikan rakyat kecil dari proses pengambilan keputusan dalam pembangunan. Dengan ungkapan lain, penekanan berlebihan akan peran birokrasi akan mengakibatkan semakin sulitnya dilakukan transformasi sosial yang sesuai dengan kebutuhan dan perspektif rakyat. Dalam pandangan ini, peranan pemerintah haruslah bersifat sejajar dengan peranan masyarakat, sehingga tidak terjadi proses penggusuran (marginalisasi) inisiatif rakyat untuk membangun.
Transformasi sosial hanya dapat dilakukan, manakala seluruh bangsa dapat menyadari perlunya perubahan dalam cara hidup, cara kerja dan bentuk sejumlah lembaga kenegaraan. Dengan kata lain, transformasi sosial hanya terjadi melalui perubahan keadaan. Karena itu, peranan masyarakat guna memungkinkan perubahan struktur pemerintahan, walaupun tidak mengubah struktur dasar negara, tetap menjadi persyaratan utama bagi sebuah transformasi sosial. Sedangkan secara luas telah diakui, bahwa keadaan umat Islam secara mendasar tidak akan dapat diperbaiki tanpa melalui transformasi sosial berukuran masif.
Transformasi sosial tidak mungkin terjadi, kalau hanya mengenai sebuah sektor masyarakat saja, betapa besarnya sekalipun porsi sektor itu. Dengan kata lain, transformasi atas kehidupan umat Islam saja, dengan tidak melibatkan umat-umat lain, pada hakikatnya bukanlah sebuah transformasi. Dengan demikian, menjadi sangat tidak benar upaya mengubah struktur masyarakat hanya untuk kepentingan sekelompok masyarakat belaka. Transformasi harus dilakukan atas semua warga masyarakat. Dengan demikian, upaya mengubah status quo juga tidak dapat dianggap sebagai transformasi sosial, apabila tidak disertai oleh sikap terbuka kepada seluruh warga bangsa dan keseluruhan masyarakat, tanpa pandang bulu asal usul agama, etnis, budaya dan bahasa daerah masing-masing. Dengan jelas tampak bagi kita, bahwa pola kiprah yang harus dilakukan adalah melakukan perbaikan dalam kehidupan rakyat kecil secara masif, dengan meluruskan kecenderungan pendekatan teknokratik untuk memperkuat yang sudah kuat dan menunjang sektor sudah modern. Padahal, justru yang visi birokratis dari pemerintah kita sepenuhnya bersikap seperti itu. Jadi, menunjang pola pembangunan teknokratis akan melestarikan status quo, sementara pelestarian status quo berarti menunda pelaksanaan transformasi yang bersifat masif dan berwatak mendasar. Apakah dampak dari perkembangan ini atas kepemimpinan umat Islam?
Seperti telah dikemukakan di atas, gerakan-gerakan Islam yang mapan selalu mengambil sikap akomodatif terhadap pola pemerintahan yang ada. Dengan demikian, mereka tidak akan dapat melakukan perubahan struktural yang bermuatan transformasi sosial. Sebaliknya, para aktivis LSM telah melakukan rintisan bagi proses transformasi sosial dalam lingkup kecil-kecil. Tidak terpadunya kedua pendekatan itu menampilkan posisi struktural yang ambivalen di kalangan kepemimpinan umat Islam. Ada yang ingin mempertahankan status quo struktur masyarakat, tetapi ada juga yang berusaha mencari alternatif dan merintis perubahan sosial dalam konteks yang membebaskan rakyat kecil dari himpitan ketidakberdayaannya sendiri.
Manakah yang diterima mewakili kepentingan umat Islam? Kalau tidak dapat dijawab dengan memuaskan, bukankah benar bahwa kepemimpinan umat Islam justru berada dalam kemelut yang parah?