Qashidah

Sumber Foto; https://zonasultra.id/provinsi-sultra-juara-di-festival-seni-kasidah-tingkat-nasional.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KETIKA ia memperkenalkan diri melalui telepon, saya belum tahu apa yang dirisaukannya. Ia minta waktu untuk bertemu. Langsung saya katakan sebaiknya dilakukan sore itu juga.

Ternyata, orangnya sudah setengah baya, sudah menemukan arti dirinya dalam hidup. Menjadi pemimpin sebuah kursus musik, melukis, dan bahasa di bilangan Kebayoran. Ia telah mapan dan mulai mencari sesuatu yang bernilai lebih tinggi dari sekadar “menjalankan profesi”. Dan itu ditemukannya dalam agama. Ternyata, yang dipersoalkannya adalah kaitan antara profesinya sebagai musikus dan penghayatan agamanya.

Kepada saya mula-mula ditanyakannya: Apakah yang akan dikenakan Nabi Muhammad “seandainya beliau hidup di masa ini?” Tetap berjubah sajakah. seperti orang Arab dari pedalaman semenanjung bergurun luas itu? Ataukah justru mengenakan pakaian “lebih universal”, seperti celana, dasi, dan jas?

Ini cara yang unik juga untuk memulai sebuah pembicaraan serius. Tapi, diteruskannya dengan pengamatan bahwa setiap hari Jumat TVRI menyiarkan acara yang bernada Islam. Nah, yang menggelisahkan adalah seringnya lagu-lagu gambus Arab, atau juga qashidah modern, dibawakan di layar TVRI.

“Ini mengganggu saya sebagai orang yang berkecimpung di dunia musik,” katanya. Sudah benarkah “kebijaksanaan” menjadikan qashidah sebagai “perwakilan musik Islam” di layar tv, dalam satu rangkaian dengan uraian keagamaan dan pengajian Alquran? Benarkah yang dituju adalah seni “musik agama” yang akan membawa kepada kesadaran orang dan menyentuh getaran rasa pendengarnya kepada kebesaran Tuhan? Kalau memang benar itu yang dituju, dengan kualitas acara yang disajikan sekarang, apa bukan sebaliknya yang terjadi? Saya balik bertanya kepadanya: Apakah yang sepatutnya dianggap sebagai musik yang mewakili Islam?

Jawabnya mengejutkan juga bagi saya: “Ya, yang universal, diakui di mana-mana, seperti lagu pop dan musik klasik. Asal jelas diisi pesan keagamaan, dan bermutu tinggi, dihargai orang di mana-mana.”

Tertegun saya mendengar uraiannya. Teringat saya akan cerita Bung Syu’bah Asa: ada seorang pelukis yang menyebutkan ciptaan Beethoven sebagai “musik yang paling dekat dengan Tuhan”.

Saya sendiri dapat merasakan bagaimana pelukis tersebut sampai kepada kesimpulan itu. Kelembutan dan keaslian alami Simfoni Pastoral Beethoven memang dapat mengantarkan kita kepada kebesaran alam, apalagi pencipta alam itu sendiri.

Tetapi, benarkah universalitas yang dituntut dari medium musik yang “mewakili Islam” itu harus lepas dari warna lokal tempat lahir Islam sendiri, tanah Arabia?

Memang benar, penyajian vulgar dari “tari-tarian Arab” yang mengiringi musik qashidah di sini bermutu rendah dan tidak dapat diterima sebagai “citra Islam”. Juga lirik Arabnya, yang tidak dimengerti bangsa kita, salah informasi. Belum lagi diingat mutu suara penyanyinya yang tampak tak pernah dibekali pengetahuan teoritis tentang musik dan latihan menyanyi di tangan ahli.

Tetapi, cukupkah deretan kelemahan itu, yang lebih bersifat teknis daripada substansial, untuk “menghukum mati” siaran qashidah di layar tv? Bagaimana kalau yang dimunculkan justru rekaman siaran biduanita Fairuz dari Lebanon membawakan ciptaan suaminya (dengan lirik penyair Arab kaliber dunia, Khalil Gibran Khalil) berjudul A’tni an-Naya?

Saya sendiri tidak lagi pernah dapat lepas dari pengaruh lagu ini, yang judul Indonesianya berbunyi Berikan Padaku Seruling sudah berusia lebih dua dasawarsa. Seperti saya juga tak dapat lepas dari karya Beethoven dan Bach yang terasa membawakan keagungan dan kebesaran Tuhan.

Yang jelas, penyajian acara qashidahan sebagai representasi “musik Islam” dalam bentuknya yang sekarang memang harus ditolak. Kawan baruku ini benar seluruhnya dalam hal ini. Masalahnya lalu kembali kepada pihak TVRI: mau berfungsi edukatif yang benarkah atau sekadar memperkirakan kesenangan kelompok formal keagamaan belaka?