Sebuah Teori Tentang Terorisme
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
MINGGU itu, 8-14 Desember 2004, penulis berada di Australia. Bahkan ketika tulisan ini dikirim ke Jakarta, penulis baru saja kembali dari Universitas Monash, seusai meluncurkan sebuah keprofesoran (chair) dalam bidang kajian antarbudaya dan antaragama. Kajian itu didirikan atas inisiatif Unesco daerah Australia. Dalam hampir semua acara penulis, selalu ditanyakan tentang asal-usul terorisme dan bagaimana cara-cara untuk mengatasinya.
Tentu pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang mudah dijawab dan tidak cukup dengan satu macam jawaban saja. Tugas penulis adalah mencari jawaban-jawaban yang tepat, dalam jangka panjang memberikan kemungkinan memperoleh kepastian cara menangani masalah itu dengan tepat. Karena penulis adalah pengikut mendiang Mahatma Gandhi yang menolak penggunaan kekerasan (abimsa), mengutamakan perlawanan damai (satya graha) dan senantiasa mementingkan kemampuan sendiri (swadesi), dengan sendirinya penulis lalu menolak cara-cara represif dalam menyelesaikan masalah itu.
Salah sebuah teori yang penulis kemukakan — dalam dua-tiga kesempatan — adalah pendekatan historis. Penulis menyatakan bahwa ada dua pendekatan (approach) kaum muslimin terhadap berbagai tantangan dalam sejarah manusia selama hampir lima belas abad.
Pertama, pendekatan budaya (kultural) yang lebih bersifat jangka panjang. Penulis mengambil contoh, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah lembaga yang lahir di abad ke-20 Masehi. Namun akar-akar mereka kembali kepada masa lampau yang panjang, yaitu proses masuknya Islam ke kawasan ini hingga sekarang. Memang hasilnya bermacam-macam, karena proses kelahiran masing-masing sangat berbeda satu dari yang lain. Muhammadiyah lahir tahun 1912, sebagai responsi orang-orang yang menganggap perlu adanya pemurnian ajaran Islam supaya dapat menghadapai berbagai tantangan dari luar dan dalam. NU lahir dari kegalauan para ulama tradisional akan tantangan modernisasi terhadap berbagai hal yang menjadi buah pikiran para ulama ‘tradisionalis’ selama ini.
Kesemuanya itu menunjuk kepada berbagai krisis yang dihadapi kaum muslimin. Bagaimana mereka menjawab berbagai tantangan dengan cara berbeda-beda adalah tetap menunjukkan adanya sebuah ‘reaksi kultural’ terhadap perkembangan di dalam dan di luar diri masing-masing. Dalam hal ini, reaksi kultural itu selalu bersikap perubahan demi perubahan sosial yang tidak memakai kekerasan. Perubahan demi perubahan itu memang berlangsung sangat lama, sehingga tidak memungkinkan penggunaan kekerasan sama sekali. Dalam bentuk bermacam-macam, atau terjadi di berbagai bidang yang saling berbeda, ia tetap bersifat kultural. Karena itu, walaupun diandaikan berbagai lembaga yang dihasilkan akan bubar atau ditiadakan, tidak menjadi masalah. Inilah yang biasanya dianggap sebagai ‘pengertian benar dari ungkapan Islam tidak perlu bela. Artinya, Islam akan membela dirinya sendiri dengan berbagai cara, dan tidak bergantung kepada orang sama sekali, siapapun ia dan apapun kedudukannya.
Kedua adalah pendekatan institusional atau kelembagaan yang sebenarnya dilakukan oleh mereka yang kurang mengetahui ajaran-ajaran Islam. Karenanya, mereka mementingkan aspek kelembagaan dari Islam. Mereka melihat bahaya bagi Islam di mana-mana dan mereka melihat semua hal yang terjadi sebagai ‘ancaman’ terhadap lembaga yang bernama ‘agama Islam’. Karena itu, mereka lalu ‘membela Islam’ dengan segala cara yang dapat mereka lakukan. Termasuk dalam hal ini penggunaan kekerasan, yang sebenarnya menggunakan teknologi mutakhir dari apa yang mereka anggap sebagai ‘ancaman’ terhadap Islam.
Seorang penanya mengajukan pengamatan bahwa lembaga-lembaga pendidikan tradisional, seperti pesantren dan madrasah, disebut sebagai penyebab adanya kaum fundamentalis yang menggunakan kekerasan itu. Penulis kemukakan bahwa hal itu tidak benar, karena pada umumnya para teroris muslimin datang dari universitas-universitas modern. Hal inilah yang harus dimengerti lebih dahulu, sebelum kita ‘memecahkan masalah’ tersebut.
Kesalahpahaman bahwa Islam sama dengan terorisme sebenarnya sudah berjalan lama sekali. Ini disebabkan sebagian oleh perilaku kaum muslimin sendiri, sebagian oleh kurangnya pemahaman yang benar tentang hakikat Islam. Jadi baik di luar kalangan kaum muslim sendiri maupun pemahaman dari luar, Islam sering diartikan secara salah. Dari sinilah sebenarnya terletak pentingnya kesediaan melaksanakan dialog antar-budaya dan antaragama, seperti apa yang sedang dirintis lembaga baru di Universitas Monash itu. Memerlukan kesediaan untuk memandang berbagai persoalan tidak hanya dari sebuah sudut saja, termasuk apa yang sering dikemukakan sebagai ‘kebenaran kita’. Di sini pula sebenarnya terletak arti firman Allah SWT “Tiada yang kekal kecuali wajah Allah” (la yabqa illa wajbahu). Jika kita memahami kebenaran ini, maka hal-hal lain akan menyusul. Memang berat tugas para pemikir, tetapi memang demikianlah keadaannya.
Dengan mengemukakan keadaan di atas, penulis bermaksud memulai mengembangkan sebuah upaya untuk ‘melihat kenyataan’ secara lebih rasional, dari pada cara-cara emosional yang sering dilakukan oleh berbagai kalangan kaum muslimin. Ini pun sebenarnya mengandung risiko penulis akan dianggap oleh sementara kalangan sebagai ‘melecehkan Islam’. Tetapi, memang risiko seperti itu harus diambil jika kita tidak ingin pertentangan menjadi semakin meluas. Apalagi bagi seorang pengamat, “keadaan” kaum muslimin seperti apa yang penulis jalani saat ini. Kecintaannya kepada Islam membuat penulis tidak sampai hati membiarkan salah pengertian mengenai kaum muslimin dan berbagai ajaran Islam berlangsung terus, baik di kalangan kaum muslimin sendiri maupun di luarnya. Cara terbaik dalam pandanggan penulis adalah memberikan keterangan rasional yang dapat dijadikan pegangan dalam mengatasi permasalahan yang terjadi.
Pendekatan dialogis dengan kepercayaan-kepercayaan lain itu harus tetap dijalankan untuk memperoleh pegangan yang jelas dalam menyelesaikan berbagai persoalan sangat kompleks yang terjadi dalam kehidupan yang rumit ini. Bahwa Islam menolak penggunaan kekerasan jarang dimengerti orang. Keputusan fiqh bahwa kaum muslimin diperbolehkan menggunakan kekerasan “hanya jika diusir dari rumah-tempat tinggal mereka (idza ukhrijuu min dziyaribim)” jarang atau hampir tidak diketahui orang, termasuk kaum muslimin sendiri. Padahal, ini menunjukkan bahwa kaum muslimin tidak dibenarkan menggunakan kekerasan terlebih dahulu.
Inilah dasar dari sikap menolak penggunaan kekerasan yang ada dalam ‘warisan kultural Islam’. Kurangnya pengetahuan semacam itu sebenarnya adalah kesalahan kaum muslimin sendiri, yang terkadang mereka tuduhkan kepada ‘upaya di luar untuk menodai nama Islam’.