Sekali Lagi Tentang Forum Demokrasi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Forum Demokrasi bukanlah suatu organisasi dalam pengertian yang lazim. Dari semula, ia dimaksudkan sebagai perwujudan keprihatinan, dengan menyediakan “ajang” yang terbuka (forum) untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang jadi sumber rasa prihatin tersebut. Karena itu, forum ini pada hakikatnya tak mengenal keanggotaan, apalagi keanggotaan tetap dan terikat. Namun, sebagai wahana terbuka, tentunya ia mengenal peserta ataupun pendukung. Dalam hal ini, Forum Demokrasi bersifat inklusif, bersikap merangkul dan mengajak, bukan eksklusif dan menampik. Para penanda tangan pertama pendirian forum ini juga tak lain adalah peserta dan pendukung dalam pengertian yang sama. Hanyalah merupakan kebetulan belaka bahwa ada yang serta mulainya dan yang datang kemudian. Selanjutnya, tak ada lagi yang perlu dibedakan.
Perhatian dan kepentingan yang melibatkan para peserta dan pendukung Forum Demokrasi adalah keutuhan bangsa Indonesia, yang ingin selalu dijaga, sambil tetap bergerak dalam proses menuju masyarakat yang lebih dewasa dan lebih maju. Disadari bahwa ternyata perikehidupan kebangsan yang utuh itu hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis. Atau sebaliknya, suasana tidak adanya demokrasi, suasana kurang kebebasan, justru akan menjadi sumber tumbuhnya sikap-sikap curiga-mencurigai, sikap mementingkan golongan atau kelompok sendiri, dan sikap meninggalkan norma-norma dan acuan umum, untuk kemudian menggunakan nilai masing-masing dalam mengukur segalanya. Akhirnya, visi kebersamaan dan persamaan terkorbankan, sebelum ide itu sendiri sempat terwujud.
Isu sektarianisme yang baru-baru ini kita ambil sebagai contoh, adalah gejala yang timbul akibat kurangnya kebebasan dan tidak adanya demokrasi yang dimaksud. Sayang, contoh gejala sektarianisme lalu ditanggapi seakan-akan ia adalah masalah pokok. Seakan-akan ia penyebab, bukan akibat. Padahal, yang jadi inti soal adalah demokrasi dan kebebasan yang tidak cukup itu.
Hal itulah yang menimbulkan keyakinan bahwa proses pendewasaan bangsa tidak lain adalah melalui proses demokratisasi, dan masyarakat yang maju adalah masyarakat yang demokratis, yang sering dikenal sebagai masyarakat Pancasila yang dicita-citakan itu.
Demokrasi, sebagaimana juga halnya dengan negara, tidaklah pernah sempurna dan memuaskan. Kerelaan untuk menerima kenyataan ini justru membangkitkan tekad untuk selalu mengusahakan perbaikan terus-menerus, agar menghampiri kesempurnaan, sekaligus menjaga agar tak terjadi kemerosotan dan kemacetan, apalagi penyimpangan dan ketimpangan yang tidak perlu.
Penghayatan bahwa demokrasi adalah suatu proses, yaitu proses yang ajek dan tak henti-hentinya (yaitu pengertian yang dinamis dari demokrasi), itulah yang mendorong kita untuk mendayaupayakan proses demokratisasi secara bersama melalui Forum Demokrasi. Penghayatan inilah yang menjalin hubungan kebersamaan dalam forum ini, walaupun, seperti telah dikatakan di atas, Forum ini tidak mengenal keanggotaan dalam pengertian yang lazim (saat ini tidak dirasa perlu untuk menentukan batas tegas persyaratan, hak dan kewajiban anggota misalnya).
Tetapi dasar kebersamaan itu perlu dikonretkan, karena usaha demokratisasi bukan barang yang mudah dan bebas dari tantangan dan tentengan. Beban risiko apa yang disanggupi untuk disumbangkan oleh masing-masing demi langkah-langkah perwujudan demokrasi?
Pengalaman menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari yang telah sempit dan materialistis itu tidak banyak yang sanggup bertahan terhadap ancaman, tekanan, hasutan atau rayuan dan rangkulan (cooptation) dari kekuatan demokratis dan antidemokratis yang ingin mempertahankan keadaan yang ada (status quo), atau bahkan memundurkannya. Tak jarang hal ini dilakukan atas nama stabilitas politik yang sukar dibantah kegunaannya begitu saja. Telah kita saksikan, betapa banyak yang gugur dan patah, atau setidak-tidaknya berbelok di tengah jalan, dengan berbagai alasan masing-masing. Mau tak mau, rasa kecewa dan kecil hati tetaplah timbul karenanya. Tetapi apabila proses demokratisasi memang harus berjalan, kita tidak boleh dibuat tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan yang memang dahsyat itu. Sambil menunjukkan pandangan ke depan, di tempat yang paling bawah, sebuah garis harus ditarik, yang jadi batas untuk membedakan siapa yang masih bersedia memberi arti bagi proses demokratisasi, dan siapa yang bukan dan tidak akan pernah sanggup. Garis itu ialah sebuah kesanggupan bermartabat, dengan tekad atau ikrar yang menyatakan bahwa sekalipun belum atau tidak mampu untuk secara positif memberi sumbangan bagi tegaknya demokrasi, pantang untuk terlibat atau melibatkan diri dalam setiap sikap atau perbuatan yang “membunuh” atau menghambat pertumbuhan demokrasi itu sendiri. Kesanggupan seperti ini mengandung risiko yang paling kecil dan diperhitungkan akan sanggup dipikul oleh setiap orang yang memang berkesungguhan dalam itikad mendukung proses demokratisasi di negeri ini. Bila prinsip dengan konsekuensi seringan ini pun tak bisa dijanjikan, apalagi yang tertinggal untuk diandalkan sebagai etika demokrasi? Berdiri tegak melawan atau mencegah suatu pelanggaran hak asasi manusia, misalnya, boleh jadi dirasa terlalu berat untuk kondisi kita sekarang ini.
Tetapi sekadar menghindari dari ikut serta atau terbawa dalam peristiwa tercela itu, apakah itu juga mustahil?
Dalam “Mufakat Cibeureum” dirumuskan bahwa “Prasyarat minimal untuk berhasilnya perjuangan dewasa ini ialah bila para pendukungnya tidak melibatkan diri dalam sikap dan tindakan yang justru melemahkan proses demokratisasi itu sendiri.” Melalui garis inilah dijalin jaringan yang menghubungkan segenap peserta dan pendukung Forum Demokrasi. Ini minimum sifatnya, dan tak ada yang lain dari ini syarat keikutsertaan, sekalipun tidak formal, dalam Forum Demokrasi
Kita tidak berkeinginan untuk mempersulit masalah dengan bertengkar mengenai teori demokrasi, setelah berketetapan hati untuk memperjuangkan proses demokratisasi mulai sekarang ini juga. Apalagi kalau debat itu dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda kedudukannya. Yang satu berposisi bebas dan terbuka untuk perubahan pendapat, sedangkan yang lainnya terikat pada doktrin dan tidak punya otonomi dalam berpikir dan menyatakan pikirannya.
Atau, yang satu kritis tetapi gentar, sedangkan yang lain berani lantaran berkuasa, tetapi dogmatis. Dialog bebas untuk menambah kearifan jadi tidak dimungkinkan. Namun demikian, atau justru karenanya, memang tak ada salahnya bila secara garis besar diketengahkan beberapa pokok pikiran mengenai segi demokrasi, yang dirasa perlu untuk diperhatikan dan dibahas, agar tidak jadi salah mengerti dan agar bisa terang perbedaan antara yang sesungguhnya dan yang seakan-akan, karena masyarakat kita sebetulnya berada dalam suasana “seolah-olah”: seolah-olah hukum sudah tegak, seolah-olah sistem demokrasi berlaku, seolah-olah tindakan penguasa atau konstitusional, seolah-olah ada kebebasan, dan sebagainya. Semua lalu menerimanya sebagai wajar, hanya karena tak bisa mengelak, dan terpaksa ikut bermain dalam sistem “seolah-olah normal” ini, demi keselamatan dirinya.
Di atas telah disinggung pandangan tentang demokrasi sebagai suatu proses. Salah satu maksudnya ialah untuk menyatakan bahwa demokrasi tidak dipandang sebagai suatu sistem yang pernah selesai dan sempurna. Boleh dikatakan, ia selalu berada dalam bentuk kesementaraan, dalam keadaan menjadi. Kesukaran akibat dari pernyataan ini ialah bahwa akan timbul reaksi yang menggunakan sifat “sementara” dan “tidak sempurna” dari proses demokrasi itu, sebagai alasan pembelaan (apologia bagi sistem yang ada: bukankah itu mengharuskan kita menerima keadaan yang ada dengan sabar, karena memang kondisi demokrasi sekarang belum mencapai tingkat yang memuaskan semua pihak?
Soalnya bagi kita ialah cara kita menerima realita kondisi yang ada. Berbeda dengan kaum apologis itu, bagi kita, suatu kondisi diterima sebagai suatu realita yang bisa dan harus diubah untuk perbaikan. Sambil menerima ketidaksempurnaan, sekaligus juga kita menyesalkan dan menyayangkan kekurangan yang tidak perlu terjadi. Garis bawah perlu kita berikan pada soal “yang tidak perlu terjadi”. Bagi kaum apologis, kenyataan diterima untuk dipertahankan, dan dimanfaatkan, untuk kepentingan sendiri.
Oleh karena itu, para apologis sistem sering merasa perlu mengeluarkan dalih yang merendahkan mengenai “belum siapnya rakyat” untuk menjalankan kedaulatan rakyat dan “kurang terdidiknya rakyat” untuk bisa menghargai kebebasan demi pelaksanaan hak warga negaranya, sebagai alasan untuk menunda perubahan. Seolah-olah, problem demokrasi kita adalah soal tingkat budaya masyarakat saja.
Demokrasi sebagai proses juga mengandung makna bahwa kadar pelaksanaan konkret dari prinsip demokrasi itulah yang jadi ukuran terpenting. Dengan sistem ketatanegaraan yang sama, artinya dengan susunan kekuasaan yang secara formal sama, bisa didapat keadaan demokrasi yang berlain-lainan. Pada suatu waktu tertentu misalnya, sebuah lembaga legislatif lebih berimbang pengaruhnya dengan eksekutif, dibanding dengan waktu yang lainnya. Atau, pengaruh suara rakyat, yang berbeda dari satu kurun ke kurun lainnya. Keadaan atau kondisi demokrasi kita bisa berubah-ubah, berkembang baik atau merosot ke bawah, tergantung dari imbangan kekuatan yang berlaku. Pemahaman ini mendorong kita untuk memupuk lebih banyak kekuatan yang berpihak pada demokratisasi. Selain itu, kita juga disadarkan bahwa adanya demokrasi itu tidak Cuma ditentukan oleh adanya lembaga-lembaga konstitusional atau badan-badan resmi suatu sistem demokrasi. Lembaga-lembaga (institusi) itu bisa tidak berfungsi, dan hanya punya nilai nominal. Adanya DPR bukan langsung berarti berfungsinya perwakilan. Adanya MPR belum tentu berarti rakyat berdaulat.
Adanya pers belum tentu ada kontrol sosial. Adanya pengadilan belum memastikan keadilan. Walhasil, adanya lembaga-lembaga demokrasi belum menjamin adanya demokrasi sendiri. Bagaimana bekerjanya, dan bagaimana terjadinya lembaga-lembaga itu, adalah pokok yang terpenting. Dalam keadaan efektif, lembaga-lembaga demokrasi memang dibutuhkan untuk mekanisme demokrasi. Tetapi bukan berarti bahwa proses demokrasi cukup disalurkan dalam lembaga-lembaga itu saja. Hak rakyat untuk menyatakan dan menyatukan pendapatnya secara langsung tetap merupakan bagian penting dalam mekanisme demokrasi. Keadaan yang kita saksikan sekarang, sayangnya, adalah terbalik. Sekalipun lembaga-lembaga demokrasi kurang berfungsi, ia malah dijadikan alibi (bukti) adanya demokrasi, sambil menjadikan lembaga-lembaga itu satu-satunya tempat yang sah bagi pemberian izin melakukan pencetusan aspirasi rakyat. Seolah-olah, dengan membuat badan-badan, dengan sendirinya jiwa demokrasi menjadi ada dan hidup. Ini adalah cara pandang yang sempit mengenai “demokrasi institusional”. Dengan akibat, seharusnya aspirasi yang menentukan jenis dan watak lembaga yang dibutuhkan, namun yang terjadi ialah bahwa lembaga-lembaga (institusi) telah membatasi aspirasi yang dimungkinkan.
Membatasi pengertian demokrasi sekadar sampai adanya lembaga, dan mengizinkan penyaluran seluruh aspirasi hanya melalui lembaga yang diresmikan itu, akan lebih terasa tidak mencukupi, mengingat tingginya kemajemukan (pluralitas) masyarakat kita.
Demokrasi yang kita inginkan itu beroperasi dalam kenyataan kemajemukan masyarakat: yaitu adanya berbagai golongan dan kelompok, besar kecil, yang berbeda-beda bahkan bertentangan, yang berdasarkan baik suku, agama, keyakinan, kelompok kepentingan, maupun pengelompokan dengan dasar lainnya, yang sama-sama berhak untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam mengambil keputusan politik. Demokrasi dan mekanismenya tidak akan bisa, dan memang tidak perlu, melenyapkan perbedaan yang ada. Semboyan kekeluargaan pun yang seolah-olah mempersatukan semua, nyatanya tidak otomatis akan bisa melebur keragaman itu. Justru demokrasi itu adalah pengakuan akan adanya perbedaan. Selamanya, di dalam masyarakat yang isinya berbeda-beda itu, suara mayoritas yang akan menentukan keputusan bersama. Ini diakui, dan tidak dirisaukan. Pembatas dari kehendak mayoritas itu, selama masih ingin mempertahankan demokrasi, ialah tidak melanggar hak minoritas dan meniadakan eksistensi kelompok yang kecil. Ini adalah konsensus yang menjadi syarat demokrasi pluralis. Bila tanpa batas ini, atau batas ini dilanggar, masyarakat yang monolitik mungkin akan terjadi. Atau, terjadi perpecahan yang tidak putus-putusnya.
Asas dari pluralisme ini, memang, melaksanakannya tidak semudah seperti mengucapkannya. Tetapi sebagai asas, hendaknya dapat diusahakan untuk dijunjung bersama.
Hal lain yang penting untuk ditekankan, agar tidak menimbulkan salah pengertian mengenai posisi yang kita ambil, ialah tentang hubungan hukum dengan demokrasi. Tidak perlu lagi diulangi bahwa kita menghendaki negara hukum dan supremasi hukum, dan dipenuhinya persyaratan rule of law. Tetapi bagaimana mewujudkan itu semua? Sementara ini, catatan ingin kita berikan atas tiga hal soal konstitusi, soal peradilan bebas, dan soal hak uji peraturan perundang-undangan.
Konstitusi pada hakikatnya mengatur tentang kekuasaan dan hubungan kekuasaan di dalam negara. Memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warga negaranya, berikut menjamin perlindungan baginya. Kita ingin memberi penekanan pada segi ini, yaitu bahwa konstitusi justru diadakan untuk menjamin warga negaranya dari kemungkinan kesewenang- wenangan kekuasaan negara. Ini didasarkan paham bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan. Cara mendekati seperti ini, berlainan dengan kebiasaan yang melihat konstitusi sebagai sumber “pemberi kekuasaan pada negara”, membuka kemungkinan untuk memahami bahwa kekuasaan negara pun bisa bertindak inkonstitusional, yaitu ketika ia bertindak melampaui batas kewenangan yang ditetapkan dalam konstitusi. Sehingga, suatu pelanggaran atau pengingkaran hak-hak warga negara, bahkan sekadar penghambatannya oleh kekuasaan negara, baik melalui keputusan pejabat ataupun peraturan perundang-undangan sekalipun, tidak lain adalah perbuatan inkonstitusional. Tetapi, soalnya, siapa atau badan apa yang akan menilai konstitusionalitas suatu keputusan, kebijakaanaan, atau peraturan?
Soal yang pelik ini, yang selain bersifat legal juga terutama politis, tidak akan dapat kita bahas pemecahannya sekarang. Hanya, tentu kita dengan yakin dapat mengatakan bahwa termasuk dalam proses demokratisasi ialah usaha untuk menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary), juga berwenang mengadili gugatan pelanggaran hak konstitusi warga negara, dan menciptakan suatu instansi penguji kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan konstitusi (judicial review), apakah itu Mahkamah Agung atau suatu mahkamah konstitusi tersendiri.
Segi-segi demokrasi yang dibahas di sini tidak dimaksud sebagai pemaparan lengkap dari gambaran ideal demokrasi yang kita inginkan. Tetapi dipilih segi yang mengandung potensi kontroversi, atau membuat kabur, bila tidak ditegaskan posisi yang akan diambil. Itu pun tidak berarti bahwa posisi tersebut mutlak disetujui dan berlaku bagi semua dan di setiap saat. Dalam hal ini, kita kembali kepada pendekatan bahwa demokrasi adalah suatu proses, dan bukan merupakan barang jadi, bentuk final. Dan, tidak ada yang akan keberatan, atau ingin menyangkal, bahwa demokrasi seperti itu sebenarnya yang bernama Demokrasi Pancasila.
Betapa pun tidak kompletnya, rasanya telah cukup untuk memenuhi maksudnya, yaitu agar bisa menyimpulkan darinya sesuatu, yang dibutuhkan untuk menunjukkan apa yang harus kita kerjakan bersama dalam mendukung proses demokratisasi selanjutnya. Baik melalui Forum Demokrasi, maupun melalui usaha-usaha searah lainnya dari kalangan yang menaruh keprihatinan yang sama.