Semata-Mata dari Sudut Hukum Agama

Sumber Foto: https://international.sindonews.com/berita/1359213/42/perang-teluk-1991-warisan-bush-untuk-timur-tengah

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Konflik Teluk, yang sekarang pecah menjadi Perang Teluk, dilihat dari sudut mana pun adalah sebuah tragedi berskala besar, karena berkesudahan pada perusakan besar-besaran, kalau tidak berupa jiwa dalam jumlah sangat besar. Belum lagi trauma psikologis yang diakibatkannya. Dan juga dislokasi sumber-sumber ekonomi dunia yang ditimbulkannya, terutama atas kerugian yang secara komparatif lebih besar lagi bagi negara-negara berkembang daripada bagi negara-negara industri maju.

Walaupun orang bisa saja melihatnya sebagai tragi-komedi, kalau dilihat proses yang dilampaui konflik itu sendiri. Negara feodal gombal dengan penguasa rakus yang mengancam tatanan produksi minyak dunia yang dikehendaki sesama negara OPEC, dicaplok oleh negara tetangga yang diperintah seorang megalomania. Begitulah kira-kira gambaran Kuwait dari Amir al Sabah dan Irak dari Saddam Hussein. Pembela “kedaulatan” Kuwait adalah sejumlah negara Arab, yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak dikehendaki rakyat mereka masing-masing, dan yang memerintah hanya melalui teror dan hukuman mati di luar pengadilan.

Di luar itu, Kuwait dibela oleh Amerika Serikat (AS) karena kepentingannya sendiri akan minyak bumi. Ada unsur komedinya, karena AS menggunakan argumentasi tata hukum internasional, yang didiamkannya saja ketika Uni Soviet menyerbu Hongaria tahun 1956, atau kemudian lagi Afganistan. Setelah Perang Dunia II, AS memang menjadi polisi dunia, tetapi beraninya hanya melawan negara-negara berukuran sedang (Korea Utara, Vietnam Utara, dan Irak). Secara guyon disebutkan hanya ada dua “negara besar” yang diserbu AS dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir ini, yaitu Grenada dan Panama.

Tetapi, guyon atau tidak, secara moral kita tidak dapat melihat konflik Teluk hanya sebagai sebuah tragi-komedi. Ia adalah sebuah tragedi besar, karena korban yang ditimbulkannya. Karenanya tidak bisa diperlakukan hanya sebagai lelucon yang tidak lucu. Dan pemihakan kepada salah satu pihak yang bersengketa itu, adalah sikap lucu yang tidak lucu. Apalagi kalau pemihakan itu dilakukan atas nama sesuatu yang serius, seperti demokrasi atau agama.

Tidak satu pun di antara pihak yang bersengketa itu dapat berbicara atas nama penegakan demokrasi. Terlalu banyak berteman dengan diktator-diktator lokal (Chiang Kai Sek. Pinochet, Hafez Assad, dulu Saddam Hussein sendiri, dan seterusnya), telah merusak kredibilitas AS sebagai pembela demokrasi bagi negara-negara berkembang. Apa pun pertimbangan geopolitisnya, sikap mendua terhadap despotisme jelas membuat AS sebagai pembela demokrasi, mau tidak mau meluntur.

Dari sudut agama juga demikian. Mana pun dari kedua belah pihak yang bertikai dalam konflik Teluk itu, tidak dapat memperoleh pembenaran dari sudut pandangan agama. Karenanya, orang seperti Paus Yohannes Paulus II hanya berhak mengambil sikap menyayangkan tragedi Perang Teluk dan mengajukan imbauan penyelesaian secara damai. Apalagi para ulama dan cendekiawan muslimin, seharusnya justru beriba hati atas tragedi itu sendiri, karena korbannya adalah kaum muslimin sendiri.

Namun, manusia tetap manusia. Ulama yang dekat dengan kekuasaan senantiasa membenarkan sikap penguasa. Begitu pula dalam kasus konflik Teluk kali ini. Ulama yang berpihak kepada Irak, lalu membuat fatwa pengkafiran Raja Fahd, dan dalam “bahasa Islam”, menyatakan darahnya halal untuk ditumpahkan alias patut dibunuh. Sama dengan “hukuman mati” atas Salman Rushdie. Sebaiknya, ulama pro-Arab Saudi berbicara tentang “Saddam yang tak ber-Tuhan”, dan karenanya juga patut dibunuh, itu semua dituangkan dalam “fatwa hukum agama”, seperti dikeluarkan oleh Mufti Mesir (mufti al Diyar al Masriyyah) sebagai otoritas tertinggi pembuat fatwa di negeri tepi Sungai Nil itu.

Sungguh tragis, agama digunakan hanya untuk pembenaran sikap-sikap politis. Sudah tentu moralitas dari suatu sikap agama lalu hilang, begitu ia ditundukkan kepada kepentingan sesaat seperti itu. Kita sekarang lalu menangisi perangnya itu sendiri, korban yang ditimbulkannya, dan ketololan para ulama dan cendekiawan yang dapat dimanipulasikan oleh kekuasaan seperti itu.

Ternyata belum cukup tangis kita itu. Bagai guntur di siang bolong, seorang ulama terkemuka kita, yang mewakili lembaga keulamaan top di negeri ini, membuat fatwa hebat kelewat. Dari sudut pandangan agama, katanya di layar televisi beberapa waktu yang lalu, Saddam Hussein adalah bughat alias pembangkang. Katanya, Al-Qur’an langsung menunjuk pihak yang tidak mau berunding (dan tentunya mengalah) dalam pertikaian antara dua kelompok muslimin, dinyatakan sebagai pembangkang. Seharusnya ia melanjutkan bahwa kitab suci Al-Qur’an memerintahkan pihak pembangkang itu wajib diperangi.

Sangat berat bagi kita untuk menerima pendapat dan sikap seperti itu dalam kasus Saddam Hussein ini. Masalahnya adalah kompleksitasnya persoalannya sangat tinggi. Siapakah yang membangkang dalam soal ini? Saddam-kah, yang merasa, bahwa ia hanya menunaikan kewajiban merebut kembali wilayah Irak yang dulu diambil Inggris dan dijadikan negara Kuwait? Saddam-kah yang ingin memaksakan penyelesaian adil masalah Palestina dengan tindakannya atas Kuwait itu? Tidakkah Arab Saudi dapat dinamakan pembangkang, justru karena mengundang pasukan-pasukan nonmuslim untuk menggempur sesama bangsa muslim? Ah, mengapakah tidak cukup kita harus menangisi mereka yang berperang di kawasan Teluk, termasuk korban dari kalangan non-muslim, tetapi juga harus menangisi ulama kita di sini? Tidak dapatkah kita mengeluarkan fatwa agama semata-mata dari sudut pandang hukum agama itu sendiri, tanpa pertimbangan politis? Allah jualah yang mengetahui jawabannya. Wallahu’alimun bidzatis sudur (Allah jualah yang mengetahui semua yang mempunyai hati).