Subchan Dan Nahdlatul Ulama

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pergolakan yang terjadi di dalam tubuh Partai Nu dewasa ini, ternyata berubah pada pembebasan tugas HM Subchan Z.E. dari kedudukannya selaku salah seorang Ketua PBNU hasil Muktamar ke-25 yang baru saja berlangsung di Surabaya. Tetapi keputusan pembebasan tugas tersebut ternyata belum merupakan penutup dari pergolakan tersebut melainkan baru merupakan permulaan dari suatu pergulatan politik yang sengit.
Apa yang terjadi sebelum dan selama Mukta-mar ke-25 itu hanyalah merupakan semacam pendahuluan belaka dari pergolakan itu sendiri. Seperti halnya pers kita dan kalangan luar NU salah menilai perkembangan yang terjadi dalam Muktamar ke-25 dan hasil-hasilnya, kitapun akan membuat kesalahan serupa jika semenjak sekarang meramalkan kesudahan pergulatan sengit yang sedang berlangsung.
Titik yang menentukan bagi Subchan, yaitu dapat atau tidaknya ia menolak keputusan di atas, akan bergantung seluruhnya kepada jalan yang akan diambil oleh Ketua Umum PBNU sendiri, KH Idham Chalid. Idham Chalid yang nota bene adalah operator politik yang paling banyak menimbulkan tanda tanya selama ini hingga sekarang belum dapat dipastikan akan memobilisir segenap kekuatannya untuk mengamankan keputusan pembebasan tugas itu.
Jika Idham Chalid ternyata tidak menggunakan kekuatan sepenuhnya dapatlah dipastikan bahwa Subchan bukan saja akan menang dalam pergulatannya dewasa ini, bahkan akan menjadi lebih kuat kedudukannya. Senang atau tidak ini adalah fakta yang harus diperhitungkan oleh PB Syuriah NU yang mengeluarkan keputusan pembebasan tugas Subchan itu.
Terlepas dari keinginan untuk menyoroti jalannya pergulatan sengit dalam tubuh NU itu, inginlah penulis sekadar menyoroti hubungan Subchan dan Nahdlatul Ulama atas dasar-dasar yang obyektif. Apakah yang menjadi sendi-sendi kekuatannya dalam NU, peranan apakah yang dijalankannya dalam kehidupan Partai NU secara keseluruhan, bagaimanakah prospek NU di masa depan tanpa dan dengan adanya Subchan; itulah sekadar beberapa pertanyaan yang ingin dicari jawabannya secara umum dalam artikel ini.
Kekuatan Subchan sebenarnya bersendikan pada dua faktor utama yang saling berhubungan erat satu sama lain: kemampuan mengorganisir kekuatan dengan baik, dan keberanian untuk menggunakan kekuatan itu sendiri semaksimal mungkin. Qua organisasi kelompok yang dikembangkan Subchan dalam NU memiliki kohesi yang lebih baik dari pada kelompok-kelompok lainnya, lebih jelas line of command-nya, dan tahu apa yang harus dikerjakannya.
Kecekatan kerja kelompok-kelompok Subchan itu relatif memang lebih baik dari pada kelompok-kelompok lawannya. Sudah tentu kekuatan yang terorganisir seperti itu akan lebih mampu memper-oleh hasil yang lebih baik dari lawan-lawannya. Salah satu segi yang menunjukkan kemampuan yang lebih baik itu adalah sukses yang dapat dicapai oleh Subchan di dalam memelihara dan memupuk publik opini melalui media pers. Baik gertak sambal dan ancaman kosongnya, maupun pendapat yang keluar dari hati nuraninya, kesemuanya diterima dan mendapat tempat baik di kalangan pers, tidak sebagaimana yang dialami oleh lawan-lawan Subchan.
Kemampuan mengorganisir pengikutnya itu didampingi pula oleh keberanian Subchan untuk menggunakannya di mana perlu. Baik dalam hal ia merasa yakin benar dan akan menang, maupun dalam hal ia bermain untung-untungan, Subchan tidak pernah ragu-ragu untuk memobilisasi segenap kekuatannya. Kelompok-kelompok lawan Subchan sering harus menghadapi “tembok besar” Subchan ini, dan tidak jarang mereka lalu mundur sebelum memulai menyerang.
Keberanian untuk membuat full commitment seperti inilah yang terutama membuat kelompok Idham Chalid tidak berani melaksanakan rencana mereka untuk memasuki sebuah konfrontasi langsung melawan Subchan dalam Muktamar ke-25 baru-baru ini. Faktor keberanian menggunakan segenap kekuatan sepenuh tenaga inilah yang kemudian menimbulkan kesan bahwa Subchan menguasai massa dan pengurus-pengurus NU dari bawah ke atas.
Lebih daripada masa yang telah lampau, kini Subchan tentu akan mengerahkan segenap kekuatannya menghadapi keputusan pembebasan tugas yang dijatuhkan atas dirinya: kita belum tahu pasti apakah lawan-lawannya akan berani maju terus atau tidak.
***
Subchan selama ini mencoba memberikan kesan bahwa ia adalah tokoh yang sanggup menyalurkan aspirasi-aspirasi “golongan muda” dalam NU. Sedikit banyak usaha telah berhasil, terbukti dengan predikat “modernisator” yang didapatnya dari media pers dan dari dukungan yang diperolehnya dari “ormas-ormas muda” NU. Dengan demikian, tidak heranlah kita bila berita yang bersumber dari kelompok ini dalam media pers kita sering berbunyi “menurut kalangan angkatan muda NU”. Benarkah klaim tersebut? Secara objektif, apakah peranannya bagi “angkatan muda” NU?
Secara politis Subchan berhasil memojokkan lawan-lawannya ke arah sudut “ketuaan”, ke arah posisi “reaksioner” terhadap aspirasi-aspirasi “angkatan muda” NU. Karenanya secara politis pula ia berhak mengklaim predikat pemimpin angkatan muda. Tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan, bahwa klaim tersebut hanyalah bersifat semu belaka dan tidak memberikan pemecahan fundamental “muda” vs “tua” dalam tubuh Partai NU.
Pada waktu NU mula-mula berdiri sebagai jam-‘iyyah, sekelompok tokoh muda berhasil memberikan saluran bagi aspirasi-aspirasi golongan mereka sendiri. Para almarhum Abdullah Ubaid, Mahfudz Siddik, A. Wahid Hasjim dan M. Iljas, berhasil di masa muda mereka membawa perubahan-perubahan fundamental dalam tubuh NU, dengan tidak melalui konfrontasi dengan “golongan tua”.
Jalan yang ditempuh oleh kelompok ini adalah pendekatan kepada “golongan tua” itu sendiri. Secara prinsipil kelompok tersebut menerima kekuasaan mutlak “golongan tua” itu. Sedang dalam pengambilan keputusan mereka memberikan saran-saran dengan cara halus, saran-saran mana hampir seluruhnya merupakan saluran aspirasi mereka sendiri. Dengan cara merebut kepercayaan seperti ini, aspirasi-aspirasi mereka dapat direalisir dengan memakai “baju golongan tua”.
Sebagai katalisator pembaharuan, bila diukur relatif dengan zaman di mana bergerak, kelompok tersebut berhasil membawa NU kepada “masa kini” dengan tidak terlalu banyak gelombang, walaupun harus diakui juga bahwa irama gerak kelompok ini terasa sangat lamban dan bersifat evolusioner.
Approach di atas dilanjutkan pula setelah NU menjadi partai politik oleh tokoh-tokoh seperti Imron Rosjadi, SH, KH. Ahmad Siddiq, Dr. M. Tolchah Mansoer dan M. Hartono. Kelompok ini merelakan diri untuk bernaung di bawah pengayoman “golongan tua”.
Subchan ternyata memilih approach lain, yang dapat disimpulkan sebagai usaha merebut kekuasaan dan menandingi “golongan tua”. Di dalam approach baru itu, Subchan belum pernah secara sistematis mencoba membuat doktrinnya sendiri, vis a vis mengenai kekuasaan semi-religius dari Syuriah sebagai pemegang kata terakhir dalam keagamaan dalam arti yang luas, termasuk penilaian atas politik dan personalia partai.
Memang Subchan mengemukakan pendapat yang kemudian diterompetkan melalui “ormas-ormas muda” NU bahwa hanya Muktamar sajalah yang berhak mengambil keputusan prinsipil, tetapi pendapat hanyalah bersifat insidental dan tidak dirumuskan dalam sebuah doktrin. Karena kebetulan menguntungkan bagi posisinya dewasa ini, diktum tersebut menjadi slogan perjuangannya.
Tidak heranlah jika pengaruh Subchan hanyalah terasa di kalangan tokoh-tokoh “ormas-ormas muda ” NU yang cenderung kepada aksi-aksi politis belaka, bukannya di kalangan muda yang bergerak di kalangan yang lebih trasendental (seperti kebudayaan, pemikiran sosial dan ekonomi, dan sebagainya). Bukanlah kebetulan bahwa pengaruh Subchan justru besar pada tokoh-tokoh seperti Zamroni dan bukannya pada tokoh seperti Mahbub Djunaidi dan Asrul Sani.
***
Mengapa pengaruh Subchan hanya terasa di kalangan pion-pion politik? Dan bukannya di kalangan pemikir-pemikir masyarakat yang masih muda? Jawabnya tidak lain adalah kenyataan bahwa ia selama ini belum pernah menjadikan alternatif konsepsional terhadap doktin kekuasaan tertinggi di tangan Syuriah. Diktum-diktum yang dikemukakannya selama ini kebanyakan bersifat memenuhi kebutuhan sesaat belaka, sehingga tidak dapat dikatakan sebuah alternatif terhadap sebuah doktrin.
Pada umumnya diktum-diktum itu lebih banyak berkecenderungan kepada pembenaran sikap opportunistis, bahkan pada saat-saat tertentu membenarkan pemutarbalikan kenyataan dan mendorong timbulnya sikap hipokrit yang melebihi apa yang dituduhkan oleh kelompok Subchan sendiri atas kelompok-kelompok lawan.
Dengan demikian tidaklah tepat untuk menganggap Subchan sebagai katalisator cita-cita “angkatan muda” dalam NU. Paling banyak ia hanya dapat dianggap katalisator aspirasi-aspirasi politis operasional belaka, tidak lebih dari itu. Modernisasi yang dibawakan lebih banyak bersifat gaya daripada isi.
Walaupun demikian, tidak dapat disangkal bahwa Subchan telah memberikan sumbangan bagi aktivisasi kehidupan Partai NU, setidak-tidaknya dalam artian politis. Jika tidak ada Subchan tentu tidak akan ada usaha-usaha drastis untuk membangunkan NU dari tidur nyenyaknya yang telah berlangsung semenjak Pemilu 1955. Peranan sebagai “pemancing reaksi” ini saja sudah memberikan hak kepadanya untuk dianggap sebagai pre-modernisator NU.
Sebuah sumbangan lain dari Subchan untuk NU harus mendapat tempat dalam catatan kita. Bagaimanapun juga Subchan telah berhasil menimbulkan semacam solidaritas yang unik di kalangan pengikut-pengikutnya. Solidaritas itu sama eratnya dan besar intasitasnya dengan fanatisme kharismatik yang dimiliki “golongan tua” dalam NU. Fanatisme terhadap Subchan ini terkadang menimbulkan bahaya akan munculnya “mob rule” dalam NU, sebagaimana terbukti dalam kedua Muktamar NU yang terakhir (di Bandung dan Surabaya).
Walaupun penulis sendiri belum dapat mengetahui dengan pasti komponen-komponen dari solidaritas ala Subchan ini, yang jelas solidaritas itu sendiri harus dipelajari dan dikuasai oleh mereka yang memegang pimpinan NU di kemudian hari. Jelas dari kenyataan di atas, bahwa peranan Subchan di dalam memberikan alternatif operasional terhadap status quo yang ditimbulkan oleh fanatisme kharismatik bukanlah peranan kecil artinya bagi NU sendiri.
***
Bagaimanakah prospek NU dalam hubungannya dengan Subchan? Kalau ia menang, maka kekuatan kelompok-kelompok lawan akan sangat berkurang dan dapat diperhitungkan bahwa Idham Chalid dalam tempo satu dua periode Muktamar saja akan terlempar dari gelanggang. Syuriah dengan organ-organnya, akan diciutkan wilayah kekuasaannya, hanyalah meliputi masala-masalah nonpersonal dan non-politis belaka. Demikian pula akan hilang kriteria kesusilaan dari penilaian terhadap pimpinan NU, karena akan dianggap sebagai “soal pribadi”.
Pendekatan dengan elemen-elemen Natsir-Sjafruddin di kalangan Parmusi akan berlangsung pesat, dan tekanan-tekanan pihak penguasa terhadap NU akan semakin berat. Dengan demikian NU akan semakin terisolir dari “mainstream” kehidupan politik dan kenegaraan. Sebaliknya jika Subchan tidak berhasil mempertahankan diri, belum dapat diharapkan bahwa keadaan dalam tubuh NU akan dapat segera dinormalisir. Friksi dan benih-benih antagonisme lain yang telah mulai tumbuh di antara “angkatan muda” dan “golongan tua” akan semakin banyak terjadi, selama persoalan fundamental mengenai pem-bagian kekuasaan belum terpecahkan.
Dalam hal ini patut dicatat pula kemungkinan berkembangnya tokoh-tokoh muda yang lebih mo-derat dalam NU, sebagai kekuatan baru yang akan mencoba mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Subchan sebagai penyambung lidah “angkatan muda”. Namun masih disangsikan, apakah mereka memiliki motivasi, ketahanan mental, dan kemam-puan mengorganisir kekuatan seperti yang dimiliki oleh Subchan.
Secara keseluruhan, prospek NU akan lebih sulit diraba jika Subchan mengalami kekalahan, baik prospek politik yang berhubungan dengan pihak-pihak luar, maupun prospek perbaikan di dalam tubuh NU sendiri. Proses pembaharuan dalam tubuh NU mungkin akan terhenti untuk sementara, tetapi yang sudah jelas irama proses itu sendiri akan menjadi berlainan dengan irama dari masa Subchan “jaya” dalam lingkungan Partai NU.
Dengan demikian, di luar kemungkinan tindakan-tindakan dari luar (seperti penggabungan dan sebagainya), prospek NU akan sangat terpengaruh oleh kalah menangnya Subchan dalam pertarungan politiknya dewasa ini…
Artikel ini dimuat di Harian Kompas, 25 Februari 1972