Sumbangan M.M. Azami Terhadap Penyelidikan Hadis

Sumber Foto: https://www.republika.id/posts/40830/syekh-mustafa-azami-profil-ulama-pembela-sunnah

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tujuan uraian ini adalah untuk meneliti sumbangan yang diberikan oleh M.M. Azami kepada penyelidikan Hadis. Untuk itu, terlebih dahulu harus diterangkan apa dan siapa Azami, serta apa yang dimaksudkan dengan penggunaan istilah “Penyelidikan Hadis” dalam uraian ini.

Nama sebenarnya dari Azami adalah Muhammad Mustafa al-Azami, seorang penyelidik muslim yang memperoleh pendidikan tinggi lanjutan (post-graduate) pada Universitas Cambridge di Inggris. Pada tahun 1965/1966 ia memperoleh gelar doktor filsafat dalam ilmu-ilmu agama Islam, dengan disertasinya yang berjudul q. Kini ia berdiam di Qatar, di mana fia bekerja sebelum memperoleh gelar doktoratnya yang disebut di atas.

Sumbangan yang diberikannya kepada penyelidikan Hadis adalah disertasi yang disebutkan di atas. Adalah suatu hal yang cukup mengherankan, bahwa hanya dalam sebuah disertasi saja ia berhasil memberikan sumbangan yang demikian fundamental bagi penyelidikan Hadis, sebagaimana akan terlihat di belakang nanti.

Mengenai arti yang dimaksud dengan istilah “Penyelidikan Hadis” dalam uraian ini, dapatlah dijelaskan, bahwa yang dimaksudkan adalah penyelidikan klasik yang sudah menemukan bentuknya yang menetap. Penyelidikan Hadis di negeri kita boleh dikatakan masih bersifat serba klasik, sebagaimana terlihat dalam lingkungan perguruan tinggi agama dan pesantren kita dewasa ini. Penyelidikan yang bersifat klasik itu sebenarnya hanya meliputi lapangan-lapangan dan kaedah-kaedah yang sudah disetujui bersama “kebenarannya” oleh para ulama kita di masa lalu (al-funun al-muttafaq ‘alaiha), seperti;

  1. pemahaman dan penghafalan teks-teks yang tertulis dalam corpus Hadis yang utama (fahm wa hifdz al-ahadits al-mudawwanah fi kutub al-Hadits), terutama teks-teks terkenal untuk mendidik keimanan, akhlak dan pengetahuan basis mengenai agama, seperti teks-teks Hadis yang termuat dalam Kitab al-Arbain karya Imam an- Nawawi.
  2. menguasai definisi-definisi masing-masing kategori Hadis (ta’rifat al-ahadits min jihah sihhiyatiha), definisi mana terhimpun dalam sebuah disiplin yang berdiri sendiri, terkenal dengan nama Ilmu Musthalah al-Hadits.
  3. meneliti kedudukan dan kekuatan para periwayat Hadis (al-ruwat, transmitter), seperti apa yang dicakup oleh lapangan yang dikenal dengan nama Ilmu al-Rijal, Thabaqat al-Muhadditsin, dan sebagainya.
  4. penelitian atas cara-cara pengambilan hukum agama dari teks Hadis (istinbath al-ahkam al- fiqhiyyah min al-ahadits).

Lapangan-lapangan yang disebut dalam point a. b, dan c di atas, oleh Azami dinamai dirasat tahammul al-Hadits/studi penyebaran Hadis.

Penyelidikan Hadis secara klasik ini telah menemukan bentuknya yang sekarang kita kenal semenjak beberapa abad lamanya. Konsensus umat Islam atas penyelidikan klasik tersebut sudah bulat tercapai, dan dengan demikian ia merupakan media ilmiyah satu-satunya yang diakui “kebenaran”nya. Kesimpulan yang dicapai oleh penyelidikan Hadis klasik ini tidak dapat lagi diganggu gugat oleh siapapun.

Benarkah hanya penyelidikan Hadis secara klasik ini yang dimaksudkan oleh penggunaan istilah “penyelidikan Hadis” dalam judul uraian ini? Tidak, yang dimaksudkan adalah penyelidikan modern tentang Hadis, baik penyelidikan klasik maupun penyelidikan yang dirintis oleh para penyelidik dewasa ini.

Orientalisme (ilmu-ilmu Ketimuran) sejak semula telah memberikan perhatian kepada penyelidik Hadis. Sebab-sebab yang mendorong perhatian itu dapat dicari pada beberapa faktor. Di antara faktor-faktor tersebut, yang mungkin terkuat adalah lebih mudahnya usaha memburuk-burukkan Islam melalui penelitian atas Hadis dari pada melalui penelitian terhadap al-Qur’an. Alasan untuk mencurigai motif-motif utama para orientalisten di dalam mendiskreditir agama Islam melalui penyelidikan Hadis menjadi lebih kuat dalam hati kita, jika kita lihat hasil-hasil penemuan para sarjana Arab sendiri. K.S. Salabi, dalam artikelnya mengenai orientalis Henri Lamnes, artikel mana dimuat dalam antologi Historians of The Middle East.

Adanya keinginan untuk mendiskreditir Islam ini telah mengakibatkan banyak kekeliruan bagi penyelidikan Hadis hingga saat ini. Gambaran yang sangat negatif dan prasangka berlebih-lebihan terhadap Islam telah menyesatkan hampir semua kaum orientalisten, kecuali beberapa penyelidik/sarjana belaka yang sanggup memupuk pandangan jernih tentang obyek yang diselidiki.

Faktor lain yang juga kuat di dalam mendorong perhatian terhadap penyelidikan Hadis adalah banyaknya kontradiksi di dalam corpus Hadis sendiri. Kontradiksi ini menimbulkan kebutuhan akan adanya sebuah metode yang secara sistematis dapat memecahkan kebingungan mengenai Hadis itu sendiri, dan kebutuhan ini menimbulkan rangsangan bagi para orientalisten untuk menemukan metode seperti itu.

Kalau kita ingin membuat klasifikasi terhadap periode yang ditempuh oleh orientalisme dalam penyelidikan Hadis, maka dapatlah kita bagi dalam tiga periode; masa pra Goldziher, masa Goldziher cs. menyusun teori-teori mereka, dan masa setelah Goldziher.

Dalam masa pra Goldziher, jadi sebelum tahun 1890, pandangan para orientalisten tentang Hadis dapat disimpulkan dengan ringkas sebagai berikut: Hadis adalah sebuah corpus yang mengandung ucapan-ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad Saw, corpus-corpus mana seluruhnya dikarang oleh orang terkemudian dari beliau. Dengan demikian, menurut pandangan mereka, Hadis bukanlah ucapan dan perbuatan sebenarnya dari Nabi Muhammad Saw. Konsekuensinya, Hadis sebagaimana definisi yang dipercayai oleh umat Islam, dalam pandangan mereka tidak pernah ada. Menurut mereka, Hadis adalah karya manusia biasa yang tidak memiliki kebenaran agama sama sekali.

Periode kedua dalam penyelidikan orientalisten mengenai Hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher menerbitkan karya utamanya dalam tahun 1890, bejudul Muhammadanische Studien. Di samping bukunya yang lain, Die Zahiriten, karya di atas adalah puncak dari tulisan-tulisan Goldziher.

Titik tolak dari teori Goldziher tentang Hadis adalah pendapat-pendapat berikut;

  1. Yang dapat dibenarkan berasal dari masa hidup Nabi Muhammad saw. hanyalah al-Qur’an belaka. Yang lainnya, termasuk Hadis, adalah “buatan” kaum muslimin pada abad kedua dan ketiga Hijri.
  2. Dasar dari anggapan tersebut adalah “bukti-bukti” yang menunjukkan bahwa masyarakat Islam sebelum abad kedua dan ketiga Hijri adalah masyarakat yang belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara upacara-upacara rituil keagamaan dan mengembangkan doktrin-doktrin agama yang kompleks, buta huruf masih merajalela, dan kebudayaan yang berpusat dalam lingkungan istana raja-raja dan hanya hidup di kota-kota besar, ternyata masih bersifat lepas dari hubungan dengan agama (sekuler). Keadaan ini berlangsung terus hingga akhir pemerintahan dinasti Umayyah di Damaskus, bahkan hingga terus berlanjut hingga pemerintahan beberapa khalifah dinasti Abbasiyah di Baghdad.
  3. Dasar lain dari adanya anggapan tersebut adalah tidak adanya peninggalan tertulis yang menunjukkan bahwa Hadis dipelihara dengan sadar dengan cara “diturunkan” secara tertulis dari generasi ke generasi, hingga ke permulaan abad kedua Hijri, ketika Imam Ibn Syihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks Hadis. Sejumlah Hadis yang sangat kecil jumlahnya memang terpelihara terus-menerus diturunkan secara lisan dari guru ke murid dan demikian seterusnya secara berantai. Tetapi sebagian besar Hadis yang kemudian terkumpul dalam corpus Hadis (kutub al-shihhah, kutub al-masanid) adalah Hadis-hadis buatan generasi-generasi akhir, bukannya berasal dari masa kehidupan Nabi Muhammad Saw.. Karenanya sulitnya mencari mana di antara sekian ribu Hadis yang dapat dinyatakan benar-benar berasal dari masa kehidupan Nabi Muhammad Saw., dengan sendirinya Hadis secara keseluruhan harus dinyatakan tidak berasal dari masa tersebut. Dengan demikian, menurut Goldziher, Hadis sebagai ungkapan yang berasal dari Nabi Saw. tidak dapat dibenarkan secara ilmiyah. Yang dapat diterima adalah Hadis sebagai sunnah dalam pengertian bahasanya belaka. Sunnah adalah jalan yang ditempuh seseorang atau segolongan manusia. Jika corpus Hadis diartikan sebagai pembentukan secara evolusioner hukum yang mengatur kehidupan manusia, tidak peduli berasal dari masa hidup Nabi Muhammad Saw. maupun dari masa jauh setelah beliau wafat, maka Hadis memang benar ada. Tetapi tidaklah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah untuk menganggap Hadis secara keseluruhan berasal dari masa hidup Nabi Saw.

Demikianlah serba sedikit gambaran tentang pandangan orientalis Hongaria yang terkenal, Ignaz Goldziher, tentang kedudukan Hadis dan asal-usulnya.

Setelah Goldziher mengeluarkan bukunya yang menggemparkan itu, maka para orientalisten segera melanjutkan usaha mereka untuk membuat rekonstruksi yang lebih terperinci mengenai perkembangan Hadis dan lain-lain ilmu pengetahuan keislaman atas dasar-dasar dan metode deduksi yang dibuat oleh Goldziher dalam karyanya yang disebutkan di atas. Nama para orientalisten yang melanjutkan usaha Goldziher, seperti Margoliouth, Nicholson, Snouck Hurgronye dan Hargstrasser segera memenuhi lembaran-lembaran penerbitan dalam lingkungan orientalisme, mengupas berbagai segi dari “penyelidikan baru” tentang Islam, termasuk Hadis. Tetapi tidak ada pendapat yang boleh dikatakan fundamentil baru dalam lapangan penyelidikan Hadis, karena semua karya para orientalisten yang disebut namanya di atas hanya mengulangi belaka apa yang telah dikemukakan oleh Goldziher belaka.

Barulah pada tahun 1950 muncul karya baru yang melanjutkan dasar-dasar penyelidikan Goldziher itu ke dalam sebuah lapangan yang sama sekali baru, yaitu karya orientalisten Yahudi Joseph Schacht yang berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Walaupun bersifat lanjutan dalam metodenya atas penyelidikan Goldziher, Schacht berhasil mencapai hasil-hasil yang boleh dikatakan baru dalam penyelidikan Hadis. Dalam bagian lain dari uraian ini akan ditunjukkan hasil-hasil baru yang dicapai oleh Schacht itu, serta bagaimana Azami meruntuhkan hasil-hasil baru tersebut.

Sementara itu, di masa setelah Schacht menerbitkan karya pokoknya itu, beberapa orientalisten sampai kepada kesimpulan lain yang tidak sepenuhnya sama dengan kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh Goldziher. Jalan bersimpang di antara sesama orientalisten mulai ditempuh oleh penyelidik-penyelidik seperti Watt, Von Grunebaum,

Arberry dan Jefferi, berpuncak pada Prof J Robson yang menyanggah “kebenaran ilmiyah” hasil-hasil yang dicapai oleh Schacht di bidang penyelidikan Hadis. Aliran baru ini lebih menekankan pada usaha “merasakan” dan menyelami apa yang menjadi latar belakang sesuatu pendapat atau doktrin yang diterima oleh konsensus umat Islam dan bukannya membuat hipotesis sendiri mengenai doktrin tersebut. Mereka lebih mementingkan pengenalan atas cara berfikir dan merasa yang dimiliki oleh umat Islam daripada mencari kesimpulan yang obyektif secara ilmiyah murni. Approach baru ini, yang berlandaskan teori-teori pengenalan/pendekatan psikologis, memang jauh berbeda dari metode deduksi Goldziher yang mengutamakan “obyektivitas” ilmiyah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sikap dasar aliran baru ini adalah skeptisisme yang sehat terhadap kemampuan orang-orang bukan muslim, betapa ahlinya sekali pun, untuk membuat analisa yang paling tepat mengenai apa yang menjadi buah fikiran dan perasaan orang-orang Islam sendiri. Daripada membuat deduksi yang mungkin salah mengenai pemikiran/pendapat orang-orang Islam, lebih baik ditempuh cara yang “lebih aman”: membiarkan orang-orang Islam sendiri mengemukakan pendapat mereka.

Latar belakang adanya perbedaan approach di antara sesama orientalisten ini harus kita ketahui sebelum kita memasuki pembicaraan mengenai metode yang ditempuh oleh Azami. Metode Azami ini bertitik tolak pada hal-hal berikut:

  1. Penelitian semua hipotesis para orientalisten, seperti teori-teori Goldziher dan Schacht, penelitian mana terutama didasarkan atas pendekatan kepada cara pemikiran umat Islam di waktu itu;
  2. Penelitian atas autentika bahan-bahan kesejarahan yang digunakan oleh para orientalisten dalam penyelidikan mereka, terutama dengan menggunakan perbandingan dengan teks-teks yang masih disimpan dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip/naskah kuno).

Joseph Schacht dan Hadis

Schacht memulai penyelidikannya dengan penelitian perkembangan hukum Islam (al-fiqh) semenjak permulaannya. Karena perkembangan hukum Islam (tarikh al-tasyri) hampir seluruhnya bertaut dengan Hadis dalam segenap tahap pertumbuhannya, maka menurut Schacht penyelidikan yang teliti atas hukum Islam akan memberikan gambaran nyata tentang pertumbuhan Hadis.

Menurut Schacht, hukum Islam dikenal semenjak penunjukkan para hakim-hakim agama (al-qudhat, tunggal: al-qadhi) dengan dasar pemberian keputusan secara perseorangan, setelah memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam al-Qu’an, ketentuan-ketentuan mana merupakan pokok dasar bagi hukum agama itu sendiri. Peranan pengambilan keputusan secara perseorangan (individual legal reasoning) amat besar di dalam menumbuhkan hukum Islam yang melengkapi secara terperinci hukum-hukum agama yang pokok seperti terdapat dalam kitab suci al-Qur’an. Pengambilan keputusan secara perorangan tersebut pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok yang saling bertentangan di dalam pengambilan keputusan. Kolektivisasi pengambilan keputusan secara perseorangan itu pada akhirnya melahirkan sebuah fenomena baru dalam perkembangan hukum Islam. Fenomena itu adalah lahirnya aliran-aliran hukum dalam Islam (al-madzahib/law schools), aliran-aliran mana kemudian menimbulkan rentetan pertentangan hukum yang tidak kunjung habis. Dalam keadaan argumentasi masing-masing sama kuat, maka diperlukan adanya proyeksi kepada tokoh yang dianggap dapat mengalahkan pihak lawan. Maka mulailah muncul keputusan-keputusan hukum yang dikatakan berasal dari tokoh utama pemberi hukum, umpamanya Imam al-Nakha’i di kalangan aliran hukum yang berada di Irak.

Pada gilirannya, sistem memproyektir keputusan hukum kepada seorang yang dianggap otorita yang lebih tinggi, dengan konsekuensi timbulnya proyeksi lawan yang sama. “Ronde ketiga” menghasilkan sesuatu yang baru, yaitu proyeksi kepada seorang Sahabat, taruhlah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Proyeksi kepada Sahabat ini di kalangan al-fiqh dinamai ara’ al-Shahabah wa al-Ikhtilaf bainahum.

Untuk mengatasi jalan buntu yang ditimbulkan oleh beradunya pendapat-pendapat itu, diperlukan proyeksi kepada otoritas tertinggi, yaitu proyeksi kepada Nabi Muhammad Saw. lahirlah bentuk pengambilan keputusan yang baru: Hadis Nabi. Pendapat seorang Tabiin harus mengalah kepada keputusan seorang Sahabat, begitu pula pendapat seorang Sahabat harus tunduk kepada ucapan dan perilaku Nabi Saw. Mengingat Nabi Muhammad Saw. adalah otoritas tertinggi yang merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, maka Hadis dengan segera merupakan kata akhir dalam pertikaian hukum.

Hadis segera beredar dengan pesat, dan untuk setiap Hadis diedarkan pula Hadis yang bertentangan, dan dengan demikian corpus Hadis yang sampai ke tangan kita penuh berisikan dengan Hadis-hadis yang saling bertentangan.

Di samping mengemukakan teorinya tentang proyeksi ke belakang, Schacht juga membuat penelitian mendalam mengenai struktur transmisi (isnad) yang mendukung proyeksi Hadis ke belakang kepada kehidupan Nabi Saw. Dalam penelitiannya itu, Schacht mengemukakan teori tentang transmisi-berganda (multiplying transmission), dengan mana ia dapat menentukan waktu pada saat mana sebuah Hadis mulai “diedarkan”. Penelitian-nya dalam bidang-bidang lain yang bersangkut-paut dengan Hadis meliputi peranan ijma’, adat-kebiasaan, analogi (al-qiyas) dan bentuk-bentuk pengambilan keputusan lainnya yang rasionil serta perdebatan sengit antara mereka yang mempertahankan pendapat perseorangan dalam pengambilan keputusan hukum dan mereka yang menghendaki dipatuhinya Hadis sepenuhnya sumber hukum yang tersendiri.

Demikianlah serba sedikit penggambaran tentang hipotesis-hipotesis yang dikemukakan oleh Schacht dalam karya massifnya, The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Pada tahun 1961 ia menerbitkan bukunya, An Introduction to Islamic Law, yang kembali mengupas permasalahan-permasalahan Hadis pula.

M.M. Azami dan Sumbangannya

Untuk mengetahui besarnya sumbangan yang diberikan oleh Azami kepada penyelidikan Hadis, terlebih dahulu kita harus sedikit banyak mengetahui pengaruh yang didapatkan oleh teori-teori Goldziher dan Schacht pada sebagian penyelidik muslim.

A.A.A. Fyzee di dalam bukunya, A Modern Approach to Islam, menerima tanpa syarat tesis-tesis yang dikemukakan oleh Schacht itu, walaupun ia adalah salah satu hakim muslim dalam susunan mahkamah agung negara bagian Bombay, India.

Fazlur Rahman, Direktur Islamic Centre di Karachi, dalam bukunya Islam, mengemukakan sanggahan mengenai dasar pokok pandangan Goldziher dan Schacht cs. mengenai Hadis, terutama mengenai rekonstruksi terbentuknya aliran-aliran hukum Islam. Tetapi walaupun demikian, ia menerima tesis pokok dari Schacht mengenai “diedarkannya” Hadis dan mengenai teori proyeksi ke belakang.

Walaupun beberapa orang penyelidik muslim sendiri menerima sebagian saja atau seluruhnya teori-teori Schacht tentang pertumbuhan Hadis, namun seorang penyelidik muslim lainnya telah merintis jalan ke arah penghancuran teori-teori Goldziher dan Schacht. Penyelidik tersebut adalah Nashr al-Din al-Asad, dewasa ini Rektor Universitas Jordania di Amman. Dalam bukunya, Mashadir al-Syi’r al-Jabili al-Ula, ia berhasil menjadikan fakta-fakta dan dokumentasi mengenai perkembangan yang subur dari seni tulis menulis di daratan Arab. Buku al-Asad inilah yang sebenarnya terlebih dahulu merintis jalan yang kemudian ditempuh oleh Azami.

Di atas tadi terlebih dahulu telah disebutkan titik tolak metode yang digunakan oleh Azami dalam karyanya. Kedua titik tolak, penelitian atas hipotesis para orientalisten dan penelitian atas autentika bahan-bahan kesejarahan yang digunakan, dikembangkan oleh Azami menjadi lapangan-lapangan penyelidikan berikut :

1. Meneliti tujuan Goldziher cs. bahwa Hadis hanya sedikit sekali terpelihara dengan cara “diturunkan” secara lisan dari generasi ke generasi selama abad pertama Hijri. Penelitian dilakukan dengan cara berikut:

  1. Mencari naskah-naskah kuno yang memuat Hadis, naskah mana harus berasal dari abad pertama Hijri. Azami menemukan naskah-naskah seperti itu dalam jumlah besar, tiga di antaranya diterbitkan dengan edisi lengkap di dalam disertasinya. Naskah-naskah tersebut adalah naskah Suhail bin Abi Shalih, naskah Abdullah bin Umar, dan naskah Abi al-Yaman al-Hakam bin Nafi’. Dengan menerbitkan ketiga naskah kuno tersebut, Azami berhasil membuktikan bahwa Hadis terpelihara dalam bentuk tertulis, dan bukannya lisan.
  2. Penelitian atas istilah-istilah yang digunakan dalam referensi Hadis yang menunjukkan arti “penyampaian riwayat secara lisan”. Azami berhasil membuktikan, bahwa berita yang menyatakan Ibn Syihab al-Zuhri adalah orang pertama yang menulis Hadis mengandung arti lain daripada yang disangka selama ini, menjadi berarti orang pertama yang mengumpulkan tulisan-tulisan yang berisi Hadis. Demikian pula, istilah-istilah yang selama ini dianggap secara umum mengandung arti “pendengaran” dan pengajaran lisan, oleh Azami berhasil dibuktikan memiliki juga arti “tulisan” atau “tertulis”. Istilah-istilah tersebut, seperti akhbarana dan haddatsana. Dengan bukti-bukti bahasa dan bukti-bukti kesejarahan, ia menunjukkan betapa jauhnya salah pengertian kaum muslimin selama ini kepada istilah-istilah tersebut; sehingga hanya memberikan pengertian seakan-akan untuk pengertian lisan belaka.
  3. Penelitian atas Hadis-hadis yang melarang penulisan teks Hadis. Hadis-hadis itu dikumpulkan oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi, dalam buku beliau, Taqyid al-Ilm. Dari hasil penyelidikan Azami, ternyata hanya ada sebuah Hadis yang autentik di dalam kumpulan tersebut. Yang lain adalah Hadis mursal atau lemah. Adapun Hadis yang autentik itupun nyata-nyata dimaksudkan untuk melarang penulisan teks Hadis dalam carik kertas atau tempat yang sama dengan ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan pembuktian dilakukan dari bahan-bahan kesejarahan untuk menunjukkan bahwa penulisan transaksi-transaksi perdagangan dan sebagainya dilakukan semenjak dari masa sebelum datangnya Islam. Perekaman Hadis secara tertulis adalah merupakan kejadian normal dalam Islam, sebagaimana terbukti dari banyaknya naskah kuno yang berisikan rekaman Hadis dari abad pertama Hijri.

2. Di samping pembuktian-pembuktian di atas, Azami mengambil approach lain yang berupa penghancuran besar-besaran atas argumentasi Goldziher cs. dan Schacht, antara lain dalam hal berikut:

  1. Goldziher senantiasa menggunakan suatu kejadian individual yang bersifat khusus dan terbatas untuk menjadi bukti hal-hal umum yang disinyalirnya, seperti wasiat Muawiyah kepada salah seorang pengikutnya : Janganlah ragu-ragu untuk memaki-maki Ali dan menyumpahinya, dan banyakkanlah memintakan ampunan Tuhan kepada Usman. Wasiat ini oleh Goldziher dijadikan bukti tentang kebiasaan pembesar-pembesar dinasti Umayyah untuk memasukkan bias politik ke dalam pemberitaan dan pidato-pidato mereka. Dan karenanya, pemberitaan dari mereka tidak dapat diterima kebenarannya. Goldziher tidak membatasi pemberitaan hal-hal politik saja, melainkan mengenai transmisi Hadis dari mereka; hal mana secara ilmiyah sebenarnya tidak boleh dilakukan.
  2. Goldziher dan Schacht seringkali tidak mengadakan checking yang mendalam atas bahan-bahan kesejarahan yang mereka pakai dalam pembuktian, sehingga terjadi bahwa bahan-bahan tersebut sebenarnya justeru melemahkan argumentasi mereka sendiri. Untuk sinyalemen ini, Azami mengemukakan beberapa puluh contoh yang diambilnya dari karya Goldziher dan Schacht.
  3. Para orientalisten, tidak terkecuali Schacht sendiri yang dikenal sebagai penyelidik obyektivitas yang diakui, sering menutupi bahan kesejarahan yang bertentangan dengan pembuktian yang sedang mereka berikan, dan hanya menggunakan bahan-bahan yang memperkuat teori-teori belaka. Juga untuk ini diambilkan banyak contoh-contoh dari karya utama Schacht.
  4. Seringnya Schacht, lebih-lebih Goldziher, salah mengartikan ucapan-ucapan atau kejadian-kejadian yang tertera dalam buku-buku kuno. Contohnya adalah ucapan Amir bin Sya’bi: “Aku tak pernah menulis dengan (tinta) hitam di atas (kertas) putih atau meminta seseorang untuk mengulangi Hadis dua kali.” Ucapan ini tidak ada kaitannya dengan larangan menuliskan Hadis, melainkan hanya untuk menunjukkan kekuatan hafalan Amir belaka. Walaupun demikian, Schacht menggunakannya sebagai dalil bahwa pada abad pertama Hijri orang-orang Islam dilarang menuliskan Hadis.

Demikianlah serba sedikit telah dikemukakan jasa-jasa Azami kepada penyelidikan Hadis. Kalau dijumlahkan dalam garis besar, sumbangan Azami dapat dilihat pada hal-hal berikut;

  1. Ia berhasil membuktikan penyimpanan, pemeliharaan dan penurunan Hadis berlangsung pada abad pertama Hijri. Dan dengan demikian ia mematahkan teori proyeksi ke belakang yang dikemukakan oleh Joseph Schacht.
  2. Ia mengubah kesalahfahaman di antara para sarjana dan ulama muslim sendiri, yang selama ini menyangka bahwa penulisan Hadis baru dimulai dari masa Ibn Syihab al-Zuhri. Dengan menunjukkan bukti-bukti pengetahuan bahasa/filologis yang meyakinkan, Azami mengemukakan bahwa kata-kata awwalu man dawwana al-‘ilm Ibn Syihab al-Zuhri menunjukkan arti “pengumpul/compiler“, bukannya “menulis” seperti kita sangka selama ini.
  3. Jasanya yang terbesar adalah keberhasilannya di dalam menggali kembali naskah-naskah kuno dari masa sebelum al-Zuhri dari berbagai perpustakaan yang tersebar tidak kurang di delapan negara.
  4. Menunjukkan dengan nyata kepada kita, bahwa sikap untuk selalu menerima dan tunduk kepada hasil penyelidikan para orientalisten, betapapun terkenalnya nama mereka dan tingginya reputasi mereka, adalah sikap yang salah. Keberanian untuk selalu melakukan testing terhadap kebenaran perkiraan-perkiraan yang dikemukakan di medan ilmu adalah satu-satunya jaminan untuk kita dapat sampai kepada kebenaran.

Studi yang dilakukan oleh Azami sebenarnya masih bersifat terbatas. Masih banyak hal-hal yang belum disinggungnya, sehingga ia sendiri masih menggunakan rekaan-rekaan para orientalisten dalam hal-hal tersebut, dengan tidak melakukan testing sekali atasnya.

Adalah kewajiban ilmiyah kita semua untuk membantunya menyiangi pendapat-pendapat yang belum terbukti kebenarannya dalam lapangan penyelidikan masing-masing. Begitu lama kita berada dalam belenggu rekaan-rekaan yang bersifat meraba-raba saja, belum diuji kebenaran ilmiyahnya. Sekaranglah saatnya yang tepat bagi kita untuk melakukan ujian/testing tersebut, dengan petunjuk dan pertolongan Allah Swt. Innahu waliyyu al-taufiq.