Tebasan di Pinggiran Kota
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Semenjak beberapa tahun terakhir, mulai meluas praktik pemborongan panenan hasil pertanian berjenis baru. Praktik baru ini di namai sistem tebasan, dimana petani pemilik sawah menjual hasil tanaman di sawahnya kepada seorang penebas (pemborong) menjelang panen. Ciri utama daris sistem tebasan ini adalah kemampuannya untuk menghindarkan penggunaan buruh tani secara berlebihan dalam penuaian padi. Menurut cara tradisionil, pemilik sawah masa kini tidak akan memperoleh hasil panen yang memadai usahanya menanam tanaman. Para buruh tani, menurut cara tersebut, memperoleh bagian dari hasil padi yang mereka tuai. Hasil yang mereka terima, berupa bawon, langsung diambilkan dalam bentuk in natura dari hasil penuaian yang diserahakan kepada pemilik sawah.
Diserbu Sukarelawan
Dengan pertambahan jumlah penduduk pedesaan, lambat laun semakin besarlah jumlahnya “sukarelawan” buruh tani yang ingin menuai padi disawah sebagai tamu tidak di undang, guna memperoleh bawon. Apabila dikumpulkan, hasil bawon dari penuaian padi dari bermacam-macam sawah yang ada selama satu musim panen, akan berjumlah lebih besar dari penghasilan yang mungkin diterima seandainya mereka dibayar dengan uang. Dengan demikian, pemilik sawah “diserbu” arus pem-bawon yang makin deras dari yahun ke tahun. Besarnya bawon, digabungkan dengan biaya peralatan, bibit baru, pupuk dan pestisida, akhirnya menjadi beban yang sangat berat bagi pemilik sawah. Mengingat struktur sosial pedesaan yang masih “kaku” dimana setiap warga hidup harmonis dan saling bergantung dengan tetangganya, pemilik sawah tidak akan mampu mengelakkan beban itu dengan tenaga sendiri.
Tidak heranlah jika kemudian muncul praktik pemborongan panen kepada para penebas. Mereka umumnya berasal dari desa lain sehingga tidak terikat pada pola hubungan masyarakat setempat di desa pemilik sawah. Oleh karenanya para penebas dapat mengatur sendiri penggunaan buruh tani, yang umumnya didatangkan dari desa penebas, dan membatasi jumlah mereka dalam kerja menuai padi. Pembatasan jumlah buruh tadi dalam sistem tebasan ini dimungkinkan oleh penggunaan alat-alat penuai yang lebih efisien dari tuai tradisionil. Misalnya dengan menggunakan sabit sehingga memnungkinkanhasil besar dalam waktu singkat dan dengan tenaga buruh yang jauh lebih sedikit. Dan sebagai ganti pembayaran in-natura berupa bawon padi, dalam sitem tebasan mereka memperoleh uang.
Bagi pemilik sawah, sistem tebasan yang lebih efisien dan menguntungka dari pada sistem bawonan, merupakan jawaban yang tepa tatas problem kian berjubelnya jumlah buruh yang terjun ke sawah. Dengan area persawahan yang itu-itu juga, jelas tidak akan mampu mendukung pertambahan buruh tani secara terus-menerus. Persoalannya sama dengan pertambahan tukang becak di kota-kota, yang merusak perbandingan yang seimbang di antara tenaga yang di keluarkan, yang di habiskan sebagai modal, dan pendapatan yang diperoleh.
Akan tetapi, kita lalu di hadapakan pada persoalan tenaga buruh tani yang tidak digunakan dalam sistem tebasan. Jika problem pemindahan bekas-bekas tukang becak kelapanag kerja baru belum juga terpecahkan hingga sekarang, dapatlah dibayangkan betapa besarnya problem yang dibawakan oleh pengangguran bburuh tani yang terus berlipat ganda. Prkelahian kecil-kecilan telah terjadi di sana-sini antara sesama burh tani, yaitu antara mereka yang “terpakai”dan yang “tidak terpakai” dalam tebasan.
Dengan kuatnya pola hubungan tradisionil di pedesaan yang jauh dari desa, bertentangan sosial yang di akibatkan oleh meluasnya sistem tebasan dapat di nilai relative lebih kecil jika di bandingkan denga pedesaan pinggiran kota. Di pedesaan semacam ini (dengan radius 2-5 km dari kota), banyak faktor tambahan yang menambah gawatnya persoalan. Di desa pinggiran kota, pola konsumtif yang berjalan di kota masih kuat pengaruhnya, pola mana mengakibatkan impian akan kehidupan yang jauh di luar kemampuan pendudu. Demikian pula, struktur harga di desa pinggiran kota masih sangat kuat terpengaruh oleh fluktuasi harga di kota, disertai oleh pola penggunaan uang yang lebih meluas dari pada di desa pelosok. Selain itu, lebih sulit menciptakan harapan besar dikalangan para buruh tani pengangguran itu karena mereka lebih banyak di hantui dengan masalah pengangguran di kota.
Akibatnya, penanganan masalah pengangguran buruh tani akibat meluasnya sistem tebasan, terasa jauh lebih berat di pinggiran kota dari pada di pelosok desa yang jauh dari kota. Pemecahan terbaik bagi masalah ini adalah penciptaan lapangan kerja baru dalam sekala luas di pedesaan. Akan tetapi, kita semua memaklumi betapa sulitnya hal itu dilakukan. Oleh karenanya, tinggal lagi sebuah jalan yang dapat di tempuh, yakin pembatasan rotative yang keta tatas areal sawah yang boleh di panen dengan sistem tebasan di pinggiran atau perimeter kota.
Rem Sosial
Perbandingan areal 60-40% antara sawah yang di paneni dengan sitem bawon dan tebasan akan dapat mengurangi bahaya pengangguran yang di sebutka di atas. Sebagai “Rem” yang mencegah semakin menumpuknya pendapatan di tangan pemilik sawah, mekanisme ini merupakan salah satu alat sosial guna semakin meratakan pendapatan, walaupun cukup memberikan insentif kepada pemilik sawah untuk terus mengerjakan sawah mereka guna memperoleh kenaikan penghasilan apabila tiba giliran panen sawah mereka dengan sistem tebasan. Pembatasan ini harus di lakukan secara pragmatis, dalam arti di perkecil secara bertahap, sesuai dengan perkembangan kemampuan penyaluran bekas buruh tani ke lapangan kerja yang lain. Usul pembatasan yang bersifat selektif dan bertahap ini adalah alternatif yang dapat di kemukakan dalam menghadapi pendapat pihak yang menyetujui perluasan sistem tebasan tanpa batas. Seperti yang di kemukakan oleh W.L. Collier dkk (Tebasan, Bibit Unggu, Dan Pembaharuan Desa di Jawa, PRISMA, Desember 1974). Dengan demikian, seiring dengan meluasnya kesempatan kerja di luar bidang pertanian nantinya, di harapkan efisiensi dan inovasi sistem tebasan akan dapat di pertahankan, sambil memperkecil akibat negatifnya.