Tragedi Itu Bernama Tsunami

Sumber Foto: https://www.dw.com/id/kronologi-bencana-tsunami-2004-di-aceh/a-18146413

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

PADA saat tulisan ini dikirimkan pada redaksi Harian Proaksi, korban di Meulaboh (Aceh Barat) belum diketahui, apalagi di desa-desa sebelah selatan dan utaranya. Demikian juga Pulau Simeulue dan Pulau Nias yang dikabarkan hanya sedikit yang meninggal, tetapi kira-kira jauh lebih banyak lagi yang hilang terbawa air lautan Samudera Indonesia. Di kota Banda Aceh sendiri, titik yang terletak paling dekat dengan pantai sejauh delapan kilometer dan terjauh 14 kilometer, menurut cerita seseorang, air mencapai ketinggian tujuh meter. Kebetulan pada minggu pagi itu ada perlombaan lari sejauh sepuluh kilometer, dan ribuan orang turut juga menyaksikan perlombaan itu. Juga sedang ada serah terima jabatan di lingkungan Brimob Polri yang dihadiri oleh 300 orang. Di kawasan itu juga ada sebuah satuan TNI, dengan sekitar 300 orang berada di asrama mereka. Semuanya itu turut “disapu bersih” oleh banjir tsunami dan hilang tidak karuan paran-nya, termasuk Komandan Resimen (Danrem) Panglima Daerah militer Aceh sendiri yang kehilangan anak-istri dan hingga tulisan ini dibuat belum ada kabar beritanya.

Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika yang melakukan pemantauan dari Amerika Serikat, kerak bumi sekitar 300 kilometer di barat Aceh pecah sepanjang 1000 kilometer. Inilah sebabnya, mengapa gelombang pertama yang sempat membawa sebuah kapal tanker Pertamina ke arah pantai sejauh tiga kilometer, kemudian surut dengan tiba-tiba untuk beberapa saat. Dasar laut terlihat, dan banyak penduduk berlarian ke pantai untuk menyaksikan surutnya laut itu. Ternyata air laut itu surut karena ‘ditelan’ oleh celah sepanjang 1000 kilometer dan segera setelah itu air menyembur keluar dari palung tersebut dalam jumlah sangat besar. Lalu datanglah gelombang kedua, yang dapat dikatakan sebagai banjir yang dahsyat. Banjir kedua inilah yang menelan banyak korban, yang menurut juru bicara sebuah lembaga di lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada saat itu sudah mengakibatkan 55.000 orang kehilangan jiwa mereka, termasuk 27.000 orang di Indonesia. Menurutnya, ada sebelas negara yang terkena dan diperkirakan kerugian harta benda mencapai 200 triliun dolar AS.

Kesemuanya itu menutupi sebuah kenyataan sangat menyedihkan; tidak ada pemantauan apapun (dalam bentuk radar dan sistem komunikasi antarnegara) yang memonitor palung tersebut di atas. Akibatnya pemerintah ke sebelas negara itu tidak mempunyai waktu memberikan peringatan pada para warga negaranya masing-masing ketika terlihat tanda-tanda kelainan. Jika peringatan itu diberikan, paling tidak ada waktu dua-tiga jam untuk membuat penduduk meninggalkan daerah pantai dan mengurangi korban sehingga berjumlah minimum. Inilah pelajaran yang dapat diambil dari kejadian tersebut, di samping beberapa hal lain yang perlu dipakai sebagai penghasilan budaya. Pemerintahan lalu menjadi Jumpuh, karena kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan, seperti tidak berfungsinya jaringan telekomunikasai dan aliran listrik di seluruh Aceh. Cerita demi cerita disiarkan, baik melalui tayangan televisi maupun publikasi media penerbitan, tentang bagaimana warga-warga yang selamat dari bencana. Adik penulis yang berangkat dengan rombongan DPP Golkar dan komisi di DPR-RI, menceritakan bagaimana keseluruhan pemerintahan daerah lumpuh total, karena pemerintahan tidak berjalan lagi di seluruh Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

Ia mengacungkan jempol kepada Palang Merah Indonesia (PMI) yang dengan kesigapan penuh menangani bencana alam itu secara sistematis. Pada minggu sore, beberapa jam setelah bencana terjadi, Mar’ie Muhammad berangkat ke Aceh dengan membawa tenaga-tenaga dan alat-alat kesehatan seadanya. Di sana ia membuka pintu gudang bantuan PMI yang disediakan oleh lembaga-lembaga internasional dan segera memanfaatkan isi gudang tersebut untuk menolong para korban. Karena kemacetan total pemerintahan itu, ia mengusulkan agar TNI segera mengirimkan bala bantuan berupa satu atau dua divisi pasukan-pasukan kita ke kawasan tersebut. Namun, karena Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, yang menjadi KSAD saat ini sudah berangkat ke Aceh pagi harinya, penulis tidak dapat menghubunginya untuk menyampaikan usulan tersebut. Mudah-mudahan TNI segera mengirimkan bala bantuan untuk menggerakkan roda pemerintahan di kawasan NAD secepat mungkin, sehingga pertolongan yang disiapkan dari daerah-daerah lain, dapat segera sampai dan beredar di kawasan itu.

Sementara itu penulis mendapat banyak sekali usulan, termasuk dari adik penulis dr Umar Wahid agar dipikirkan penanganan kesehatan secepat mungkin, berupa persiapan menghadapi wabah (epidemic) kolera, malaria, muntaber dan sebagainya, yang tentu segera menyusul karena banyaknya mayat-mayat bergelimpangan, tanpa dapat dikubur sebelum membusuk. Tanah beberapa hektar yang disediakan guna penguburan massal mayat-mayat itu, terasa harus memiliki tenaga cukup banyak untuk melakukannya. Padahal, gempa susulan dan gelombang pasang harus diperhitungkan terjadi sewaktu-waktu, karena celah menganga di Samudra Indonesia sepanjang 1000 kilometer itu masih ada dan bekerja aktif. Tidak seperti di lautan Pasifik, yang dimonitor dengan radar oleh beberapa negara, celah sepanjang pulau Jawa di Samudera Indonesia itu terus bekerja tanpa ada yang melakukan monitoring. Inilah tragedi dari negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, yang tidak kunjung membicarakan nya dan bekerja sama untuk melakukan monitoring dimaksud.

Namun, semuanya telah terjadi, sehingga tidak ada gunanya mempersoalkan hal itu saat ini. Korban yang berjatuhan memerlukan penanganan segera dan itu harus dilakukan secara internasional. Masalah kepercayaan (trust) atas kemampuan pemerintah kita menangani musibah itu, ternyata diragukan oleh lembaga-lembaga internasional dan negara-negara sahabat. Berbeda dengan India dan Sri Lanka, birokrasi kita belum sanggup menjamin tidak akan ada kebocoran dalam skala besar atas bantuan internasional yang disalurkan melalui pemerintah kita. Karena tidak adanya kepercayaan (trust) tadi, maka wajar saja kalau dunia internaonal memberikan pertolongan melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) kita. Tetapi, ini justru tidak diterima oleh pemerintah kita, yang sudah menunjuk lembaga nasional tertentu untuk melakukan hal itu. Tentu saja akan timbul berbagai masalah, kalau bantuan-bantuan itu dipersengketakan baik oleh negara (melalui lembaga-lembaganya) dan oleh dunia internasional peserta LSM-LSM kita.

Sementara itu, upaya untuk mengenali korban-korban bencana dan mengetahui jumlahnya mereka yang hilang, ditambah mengukur kerugian harta benda yang terjadi, berjalan terus. Tentulah ironis jika pertengkaran terjadi dalam masa yang disebutkan itu. Bahkan persiapan untuk menghadapi gempa susulan dan gelombang pasang yang baru, juga masih berjalan terus. Tidak hanya di Aceh, melainkan juga di kawasan-kawasan lain berbagai negeri, seperti daerah sebelah selatan Banten dan Jawa Barat. Tentu saja, kita bergembira dengan adanya kegiatan-kegiatan persiapan itu. Tetapi timbul pertanyaan, cukupkah berbagai kegiatan yang dilakukan itu menyongsong kemungkinan gempa susulan dan gelombang pasang tersebut? Jawaban atas pertanyaan ini, harus diberikan oleh pemerintahan dan pihak-pihak lain yang ada di berbagai negeri tadi, dan ini tidak lepas dengan pemerintah negara kita sendiri.

Apa yang terjadi di kawasan rendah di NAD itu, harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Kita tidak cukup hanya dengan berkata-kata belaka. Baik para pemimpin NAD yang ada di provinsi itu maupun di Jakarta, harus bekerja keras melakukan antisipasi lebih jauh. Barulah ada artinya jika kegiatan-kegiatan untuk ‘membentengi’ NAD dari ‘keteledoran’ seperti terjadi di masa lampau, ada harganya untuk mereka mengajukan klaim selaku ‘putera Aceh’. Memang penting peranan ‘putera daerah’ untuk mengumpulkan sumbangan guna rehabilitasi kehidupan di NAD, tapi jauh lebih penting adalah upaya melindungi diri kita sendiri dari kemungkinan-kemungkinan tersebut di masa depan. Karena hanya dengan ‘kewaspadaan’ seperti itulah, jatuhnya korban seperti terjadi saat ini dapat dihindarkan. Ini kalau kita menganggap jiwa manusia lebih penting dari harta benda. Dengan demikian, harus dilakukan pendekatan yang tidak bersifat karitatif (belas kasihan) belaka.

Tentu saja jalan pikiran penulis ini akan disalahkan orang, karena tidak mementingkan ‘hukuman’ bagi mereka yang bertanggungjawab atas korban demikian banyak. Harus dicari, siapa yang melakukan kesalahan terbesar terhadap jatuhnya demikian banyak korban. Tetapi memang penulis selalu berpendapat bahwa tindakan preventif (pencegahan) jauh lebih bermanfaat dari pada sikap punitif (menghukum). Mungkin ini disebabkan oleh kebiasaan penulis melihat perspektif jangka panjang, sehingga terasa terlalu lembut dan lunak. Ini adalah ‘kekurangan’ yang penulis akui secara terbuka. Tentu saja praktek lapangan akan menunjukkan bahwa berbagai pihak berpandangan lain dari penulis. Namun, apa yang menjadi kelemahan negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk pemerintahan pusat dan daerah di negeri kita dalam kelangkaan antisipasi terhadap datangnya gempa bumi dan banjir tsunami seperti di NAD itu, rasa-rasanya sulit untuk dipahami orang karena skalanya yang demikian besar. Karenanya, kelangkaan antisipasi sebagai bagian dari tragedi, sangat kecil. Namun, perbaikan dan antisipasi selanjutnya adalah yang terpenting, dan itu merupakan proses melestarikan dan membuang-buang terjadi dalam sejarah manusia. Kenyataan sederhana, bukan?