Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Secara historis, relasi kuasa antara agama dan negara memperlihatkan semacam hubungan simbiotik dalam pemberian legitimasi. Dulu, misalnya, Majapahit berdiri karena agama memberikan legitimasi kepadanya; dan sebaliknya agama di zaman Majapahit dilindungi oleh negara. Kemudian di belakang hari terjadi lagi perpindahan titik legitimitas.
Proses pemberian legitimasi bisa dari agama atas negara, bisa pula dari negara atas agama. Keduanya sering kali memiliki implikasi yang berbeda. Suatu contoh, ketika kerajaan Mataram pertama yang beragama Hindu akhirnya didominasi oleh wangsa Syailendra yang beragama Buddha dari Sriwijaya–yang datang dengan kekuatan militer yang tidak bisa dilawan, dan mendirikan Candi Borobudur yang demikian megah itu–maka terjadilah proses titik perpindahan legitimitas. Kerajaan-kerajaan kecil di sekitar itu yang semula beragama Hindu mengalami marginalisasi setelah terjadinya perpindahan legitimasi kepada kekuasaan wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Akhirnya yang dianggap sah adalah Buddha, dan Hindu dianggap tidak sah.
Dan yang terakhir ini pun menimbulkan reaksi tersendiri. Selama, katakanlah, 2-3 abad mungkin sampai 4 abad, terjadi lagi pergeseran legitimitas. Bukan kembali pada titik awalnya, yaitu legitimitas kepada Hindunya sebagai agama negara atau pada negara sebagai pembawa amanat agama Hindu, melainkan pada legitimitas baru yaitu titik temu atau titik penggabungan antara inti-inti ajaran agama Hindu dan Buddha. Maka terjadilah sesuatu yang sangat menarik, yaitu agama Buddha yang menerima konsep Ketuhanan Syiwa, padahal Syiwa itu dari agama Hindu, yaitu ketika Dharmawangsa pindah atau menyusun kekuasaan di Jawa Tengah, daerah Klaten-daerah antara Yogya-Solo, tidak kuat melawan Syailendra. Dia membuat modelnya sendiri yaitu Hindu-Buddha, bahkan lengkap dengan kultus-kultus cantrik-nya yang akhirnya menghasilkan keyakinan mengenai Nyai Roro Kidul. Dia pindah ke Timur (ke Kediri) menyusuri pantai selatan. Rute Pacitan itu sejak dulu dipakai untuk perpindahan kekuasaan politik dan negara.
Puncak dari titik perpindahan legitimitas dari agama Buddha kepada Hindu-Buddha ini menyaksikan lahirnya Imperium Majapahit. Di sini ada semacam perkembangan yang sangat menarik, bagaimana agama memberikan legitimitas pada negara, dan negara juga melindungi agama. Akhirnya ketika di dalam negara terjadi perkembangan sosio-politis yang mengubah segala-galanya, pada agama sendiri ada perubahan. Yaitu, agama lalu menjadi sesuatu yang sinkretik; beberapa agama ajaran-ajarannya bergabung atau saling mengisi dan menyerap, yaitu agama Hindu-Buddha. (Yang menarik, kalau kita sudah melihat demikian, ketika Majapahit sudah dikalahkan oleh Islam, maka Hindu-Buddhanya pindah ke Bali, dan di Bali menjadi Hindu saja tanpa Buddha. Di sini lalu ada perpindahan titik legitimitas baru, yang masih perlu kita pantau atau analisa untuk memberi makna-maknanya sendiri, sebab penelitian sejarah kita sejauh ini belum sampai ke sana.)
Majapahit juga akhirnya menerima kehadiran para penyebar agama Islam seperti Sunan Ampel, atau yang lebih dulu lagi, Sayid Jamaluddin Ibnu Husein. Yang terakhir ini tinggal mula-mula di daerah Cepu-Bojonegoro lalu masuk ke ibukota Majapahit dan mendapat tanah perdikan. Dengan kemampuannya yang tinggi dalam mengorganisasikan pertanian dia berhasil menolong banyak orang Majapahit yang akhirnya masuk Islam karena pengaruh upaya-upaya sosial ekonominya. Dari situ ia naik ke gunung Kawi. Setelah sekian tahun turun ke Ampel Dento selama kurang lebih empat tahun. Kemudian pergi ke Sengkang di Sulawesi Selatan. Ini terjadi ketika Sunan Ampel belum ada.
Dari situ terlihat bahwa Islam berkembang dan memperoleh pengakuan dari kerajaan Majapahit. Bahkan pengakuan itu menurut sementara ahli sejarah dikokohkan dalam bentuk prasasti, ketika Sunan Ampel wafat diberi gelar oleh Raja Majapahit sebagai Romo Bayan Ampel, dan tahun kematian beliau dipakai sebagai ukuran mengenai Majapahit itu sendiri yaitu sirno ilang tekani bumi (tahun 1400 Saka). Di sini satu proses pemberian legitimitas kepada kerajaan baru, yaitu kerajaan Islam, karena sirna ilang tekani bumi itu diganti oleh kerajaan Demak. Ada proses pemberian legitimitas dari kerajaan Majapahit ke Demak dalam bentuk pemberian gelar melalui sebuah prasasti yang ditulis pada tahun 1400 Saka.
Tempat bagi Agama Lain dan Aliran Kepercayaan
Kalau kita perhatikan di situ secara halus ada proses pemberian legitimitas pada agama baru. Kita melihat ada satu model di mana ada agama negara atau agama yang diakui negara diberi legitimitas, sementara itu tetap mengakui pluralitas agama. Tegasnya, ada agama negara dan ada agama yang tidak diakui oleh negara atau tidak diberi legitimitas oleh negara. (Ini juga terjadi di Malaysia di mana agama negara adalah agama Islam, sementara penduduk asal-usul non-Muslim seperti orang Tamil agamanya Hindu, atau orang-orang Cina agamanya Buddha atau Kong Hu Cu.)
Pola inilah sebetulnya yang historis. Maka kalau pemerintah kita saat ini tidak mengakui Kong Hu Cu sebagai agama, itu jelas anti-historis. Kita melihat apa adanya dari perkembangan sejarah selama ini. Yaitu, bahwa agama-agama yang tidak memperoleh santunan dari pemerintah (agama yang tidak secara formal diakui), hak hidupnya tetap dihargai dan tidak dilarang. Ini berlangsung terus tidak hanya pada agama, tetapi juga pada keyakinan non-agama.
Ketika Demak sudah menjadi negara Muslim, kemudian pemerintahannya didasarkan pada syariat Islam, dalam pemerintahan 3 atau 4 raja yang pertama yaitu Raden Fatah, Pati Unus, Trenggono dan raja keempat (yang separo jalan) yaitu Sultan Hadiwijaya, masih ada agama resmi. Tapi tidak jelas apakah ada pengakuan kepada agama yang tidak resmi. Namun pada periode berikutnya, ketika Hadiwijaya dikalahkan oleh Panembahan Senopati Ing Ngalogo Sayyidin Panatagama yaitu Abdurrahman Sutawijaya, di situ jelas muncul adanya pemberian tempat kepada sesuatu yang bukan agama yaitu Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.
Ini merupakan tradisi yang sebetulnya sudah datang lebih dulu sebelum agama, yang terepresentasikan dalam fenomena Ajisaka sebagai monoteis yang tidak beragama tertentu di masa pra-Hindu. Ajisaka yang dapat mengalahkan Dewata Cengkar di daerah Mudang Kamulan di Malang Selatan (Kepanjen), yang adalah monoteis yang, katakanlah, humanis universal, ini hidup lagi di masa Sutowijoyo (Mataram kedua). Ternyata ini merupakan tradisi dari budaya keratonnya sendiri. Itulah tradisi Ajisaka, yang di zaman sekarang tidak lain adalah tradisi aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.
Dengan begitu jelas bahwa memang ada tempat bukan hanya untuk agama yang berbeda tetapi juga untuk aliran kepercayaan. Hal ini penting sekali kita lihat sebagai pengalaman historis dari bangsa kita. Ini baru di pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kita belum berbicara mengenai kerajaan Siliwangi dan kerajaan Pakuan. Di Pakuan ada Mbah Prabu yaitu raja dongkolan, bekas raja yang menjadi pendeta yang telapak kakinya direkam pada batu tulis di Bogor, dan juga ada pesarean-nya. Ia adalah monoteis yang tidak terikat pada agama karena waktu itu agama Hindu belum sampai di Pakuan. Kita lihat bahwa dahulu ada tradisi seperti ini. Hal yang sama juga terjadi di Kalimantan. Pada masa sebelum Kerajaan Kutai berdiri, masyarakat Kutai sudah mengenal keyakinan adanya Tuhan. Itu terjadi dan diterima oleh agama-agama besar yang ada.
Kenyataan historis ini menjadi sangat penting untuk kita pegang sebagai fakta-fakta yang seharusnya kita jadikan ukuran-ukuran dalam menentukan sikap kita sekarang. Sebab suatu bangsa tidak mungkin mengembangkan tradisi baru yang total terpisah dari akar-akar kesejarahannya. Ini sering tidak dipahami oleh orang-orang yang datang membawa agama yang terkemudian dan tidak bisa mendudukkan agama mereka dalam konteks historis.
Saya tidak tahu tentang yang Kristen, apakah dalam sejarahnya juga mengalami proses tolak-menolak seperti itu. Tapi dalam agama Islam jelas ada pandangan a-historis bahwa ada agama yang diakui resmi, di luar itu tidak perlu disantuni atau diberi hak hidup. Kalau ini yang terjadi atau diterapkan oleh sementara kalangan Islam, termasuk yang di pemerintah, saya pikir itu bertentangan dengan sejarah Islam di sini. Kalau mereka mengklaim bahwa itu yang benar, maka pertanyaan saya: apakah ulama-ulama atau raja-raja yang dulu itu bodoh, melakukan hal yang salah kok berabad-abad lamanya?
Hubungan Islam dan Negara
Hubungan antara Islam dengan negara dalam kesejarahan tidak sama pola perkembangannya antara daerah satu dengan daerah lain, juga ada titik-titik problematikanya sendiri. Dr. Taufik Abdullah mengemukakan empat pola hubungan antara Islam dan negara. Pertama, tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam dari kampung-kampung kecil. Artinya kampung kecil yang penduduknya Muslim lambat laun berkembang menjadi kota-kota dan akhirnya menjadi pusat-pusat kerajaan, seperti Perelak, Samudra dan Pasai di Aceh. Di situ tadinya tidak ada komunitas agama selain Islam. Jadi Islam sudah ada di situ, berkembang dari kampung-kampung kecil, akhirnya menjadi kerajaan besar khususnya di bawah Iskandar Muda dan Iskandar Tsani, di mana hukum: negara a adalah hukum agama, karena memang hukum agama yang sebelumnya berlaku di kampung-kampung itu. Tidak ada konflik antara hukum agama dan hukum adat, karena memang tidak dikenal atau tidak ada hukum adat.
Kedua, hal ini berbeda dengan pola di Sumatera Barat di mana bisa agama Islam datang menghadapi hukum adat (customary law) karena tidak ada pusat kekuasaan atau kerajaan yang besar yang memenangkan adat atau syari’at. Akhirnya terjadi perang berkepanjangan selama 16 tahun yang terkenal dengan Perang Paderi (perang para pemuka agama atau para ulama). Di situ kita lihat bahwa sebenarnya masalahnya adalah problematik, artinya hukum Islam mau dijadikan hukum negara tetapi masyarakat menolak, karena mereka sudah punya hukum adat. Kalau tidak ada Belanda, mungkin tidak akan selesai, karena tidak ada pusat kekuasaan yang sanggup menindih yang lain dan memenangkan satu saja. Akhirnya yang menyelesaikan adalah Belanda pada 1836 sekaligus menyudahi Perang Paderi, di mana secara formal keduanya diakui yaitu dalam kata-kata adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah. Itu artinya, eksistensi hukum adat diakui asal tidak bertentangan dengandengan ketentuan syari’at agama Islam. Tetapi dalam kenyataan tidak jalan juga karena ninik mamak tetap membagi waris secara adat tidak secara Islam sampai hari ini. Jadi kata-kata syari’at hanya lip service saja. Nah, di sini terjadi pertentangan antara adat dan hukum Islam, yang mana yang dipakai oleh negara.
Ketiga, pola kerajaan Goa yang sekarang diteruskan oleh kesultanan di semenanjung Malaysia. Dalam pemerintahan ini ada suatu kerajaan yang kuat yang menggunakan adat istiadat dan hukum serta tata cara dan hukum pra-Islam. Kemudian datang hukum Islam melalui para pedagang, para ulama, para penyebar agama memasuki keraton secara bertahap melalui perkawinan dan aliansi-aliansi ekonomi. Akhirnya membuahkan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang di-Islamkan secara berangsur-angsur dengan tidak mematikan unsur-unsur pra-Islam yang sudah diakui. Jadi ada pola penyerapan Islam oleh kerajaan yang sudah punya legitimitas keagamaan tersendiri yaitu keyakinan pra-Islam. Dalam proses penyerapan itu tidak ada konflik karena kedua-duanya berjalan seiring, ajaran Islam diakui dan ajaran sebelumnya berjalan.
Pola keempat adalah pola Jawa, ketika Panembahan Senopati secara sadar memberikan tempat kepada tradisi pra-Islam dalam bentuk Hindu-Buddha yang digabungkan dalam sistem kepercayaan sebelum Hindu datang. Kemudian ini menjadi budaya keraton Jawa atau yang sekarang dianggap budaya asli Jawa-sesuatu yang sebelumnya anomali karena tidak ada yang asli di Jawa ini, maka budaya asli Jawa itu diberi tempat sama tinggi dengan agama.
Dengan kata lain ada agama bayangan di samping ada agama formal. Masyarakat diberi kebebasan: mau jadi santri dipersilakan, mau berbeda dengan raja tidak ada masalah, pokoknya mereka tunduk kepada raja. Sebaliknya, tuntutan masyarakat pun sederhana saja: kami tunduk kepada raja asalkan kami boleh menjadi Muslim yang santri dan raja mau pergi kemesjid dua kali setahun dan mau sekatenan. Aransemen atau pengaturan yang demikian sumir ternyata bertahan beratus-ratus tahun, paling tidak dari zaman berdirinya kerajaan Mataram yang kedua (kurang lebih 400-500 tahun).
Dualisme Legitimitas
Demikianlah bahwa dalam pandangan historis hubungan antara agama dengan negara memang bersifat dualistis: negara memberikan legitimitas pada agama-agama yang ada, termasuk agama Islam, dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini memberikan legitimitas pada negara. Negara tidak harus berbentuk negara Islam, asal tidak bertentangan dengan agama Islam.
Dalam konteks politik Islam mutakhir, rumusan tersebut sudah dirumuskan secara formal oleh Nahdlatul Ulama dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983 setahun sebelum Muktamar berlangsung. Dikatakan bahwa Pancasila adalah asas dari Nahdlatul Ulama sedangkan Islam adalah aqidahnya. Jadi antara aqidah dengan asas dipisahkan. Dengan kata lain ada dualisme legitimitas. Ini diakui oleh organisasi sebesar NU yang memiliki begitu banyak kyai yang pintar baca kitab. Posisi dualistik ini sebenarnya meneruskan yang sudah ada selama ini. Artinya, negara jangan terlalu ngurusi agama; berikan saja legitimitas (para pemeluk) agama akan jalan sendiri, dan negara diberi legitimitas, silakan jalan sendiri.
Dalam tradisi lama hal itu bisa direalisir, yaitu dengan membiarkan agama-agama yang ada untuk bergerak dan hidup (termasuk agama Kong Hu Cu). Tetapi perkembangan yang sekarang muncul di depan mata kita justru bersifat anomalis, misalnya saja dalam kasus pelarangan agama Kong Hu Cu (Kong Hu Cu tidak diakui sebagai agama). Ini jelas pandangan yang a-historis. Di zaman modern sekarang ini Nahdlatul Ulama (NU) memberikan legitimitas timbal balik, yang dulu dilakukan oleh Panembahan Senopati, Dharmawangsa, Ajisaka dan sebagainya.
Kalau saya disalahkan karena membela hak orang-orang Kong Hu Cu untuk menganggap apa yang mereka yakini sebagai agama, saya konsisten dengan perkembangan sejarah dan keputusan NU sendiri. Apakah 6000 kyai yang pintar membaca kitab itu salah kaprah semuanya, dan yang benar justru orang yang tidak pernah membaca kitab, yang melihat segala sesuatunya dari segi formalitas atau formalisme birokratik? Ini merupakan sesuatu yang tidak relevan.
Ada sebuah cerita, bahwa pada 1492 terjadi pembalikan sejarah dengan ditemukannya benua Amerika oleh Columbus. Di sekitar tahun itu juga terjadi perkembangan lain yang membalik jalannya sejarah. Ketika itu seorang menteri pertahanan Confonsius pengikut Kong Hu Cu yang fanatik menjadi wali kaisar yang masih kecil. Dia melihat–dari sudut pemahaman dia–suatu perkembangan yang sangat mengkhawatirkan: Kaum Cina rantau di Asia Tenggara yang beragama Islam sangat maju dalam membuat komunitas-komunitas kaya di seberang lautan. Menurut jalan pikiran dia, kalau mereka dibiarkan memupuk kekayaan seperti itu, lalu pulang dan membeli tanah-tanah di Cina, maka dalam waktu singkat Cina akan di-Islam-kan. Dia sangat khawatir Kong Hu Cu hilang sebagai agama dan Islam menggantikannya. Karena itu tindakan pertama yang dia ambil ketika menjadi wali kerajaan adalah menarik mundur semua jung-jung Cina yang ada di Asia Tenggara sampai ke Asia Timur dan pantai barat India untuk dibakar. Sementara itu komunitas Cina yang ada dibiarkan terserap oleh komunitas pribumi yang ada di Asia Tenggara.
Inilah kenyataan sejarah yang tidak bisa dibantah bahwa di Asia Tenggara komunitas Cina adalah komunitas Islam. Mao Chen Hok itu salah satu bukti sebagai laksamana yang membawa armada Cina pada ekspedisi ke-7. Dalam catatan sejarah ia membawa 28 ribu serdadu, memimpin pasukan tentara reguler Cina (Korp Marinir zaman sekarang), yang ditempatkan di luar negeri dan mengamankan kepentingan Cina serta ikut menggulingkan Kerajaan Majapahit bersama orang-orang Islam karena merasa satu agama.
Pendeknya, komunitas Cina 500 tahun yang lalu itu beragama Islam, kemudian ditarik ke Cina, lalu putus kontak; akhirnya orang Cina yang muslim di Asia Tenggara terisolasi, dan diserap menjadi masyarakat pribumi sehingga hilang Cinanya. Baru 2 abad berikutnya orang Cina didatangkan oleh Belanda untuk bekerja di sini (untuk kepentingan Belanda). Mereka bekerja di perkebunan, atau pertambangan di Bangka, pertanian di Kalimantan Barat, pedagang di Jawa. Cina yang gelombang kedua inilah yang beragama Kong Hu Cu dan Buddha.
Tentu ini agak mencengangkan. Sebab asumsi kita selama ini ialah bahwa orang-orang Cina di Indonesia semuanya beragama Buddha dan Kong Hu Cu. Di sini memang terjadi semacam pergantian agama di kalangan orang-orang Cina, bukan karena konversi, akan tetapi karena yang datang belakangan adalah gelombang lain. Kalau yang satunya datang dari daerah-daerah Muslim Sin Chiang, maka yang belakangan datangnya dari Hokian. Jadi asal-usulnya memang sudah beda.
Penutup
Sebagai penutup ingin ditegaskan di sini bahwa kita sudah perlu melakukan rekonstruksi terhadap sejarah sosial supaya kita mengerti perubahan dan perpindahan-perpindahan. Kita tidak mengidealisir keadaan secara membabi buta, karenanya pendekatan historis dalam hal ini perlu ditegakkan. Dalam melihat relasi antara kuasa agama dan negara, negeri kita sekarang ini mengakui adanya 5 agama yang dikelola pemerintah. Tidak ada pengakuan formalnya, kecuali sebuah Penetapan Presiden. Tetapi dulu, baik pemerintah kolonial maupun pemerintah pribumi tidak pernah ada yang bersikap seperti itu. Semua agama dibiarkan jalan, meskipun yang dilayani agama raja saja. Ada pluralitas agama dengan memberikan prioritas pada agama pemerintah.
Sekarang yang terjadi tidak demikian, tidak ada agama pemerintah. Dengan adanya ICMI, Islam dicoba sebagai agama pemerintah. Kita lihat saja upaya ini berhasil atau tidak. Dan kita tidak perlu merasa aneh atau marah, karena itu memang upaya orang yang mencoba mengartikulasikan idealisme mereka. Tapi karena bertentangan dengan perkembangan sejarah, mungkin menjadi anomali kesejarahan sendiri. Begitulah, penting sekali kita melihat relasi antara agama dan kuasa negara.