A. Wahid Hasyim, NU, dan Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Soewarno adalah seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun dan bertugas di Corp Polisi Militer (CPM) Yogyakarta di bawah pimpinan Sakri Soekiman di masa revolusi. Ia adalah prajurit biasa yang sering dipindahtugaskan dari satu tempat ke tempat lain di berbagai kesatuan dari masa itu. Dari polisi itulah dia mengenal beberapa tokoh masyarakat kita, antara lain KH. A. Wahid Hasyim.
Sekarang dalam usia 73 tahun, pensiunan tentara itu telah lama menjadi pengusaha swasta dan tinggal di Bogor. Dalam waktu senggangnya dia menceritakan pengalaman-pengalamannya di masa lampau. Suatu saat ia datang ke rumah penulis di Ciganjur. Soewarno menceritakan dengan semangat bahwa ia berkali-kali menjaga Panglima Besar Soedirman di saat beliau bertemu dengan pemuda A. Wahid Hasyim dan Pimpinan Masyumi, Dr. Soekiman Wirjosandjojo di Kauman, Yogyakarta.
Dr. Soekiman Wirjosandjojo ini pada tahun 50-an pernah menjadi Perdana Menteri RI dengan KH. A. Wahid Hasyim sebagai menteri agama. Dia adalah ayah dari komandan Soewarno, Sakri Soekiman. Menurut Soewarno, ketika mereka bertiga bertemu dan berbicara tentang masalah kenegaraan, KH. A. Wahid Hasyim tampak bersemangat terutama ketika dia menjelaskan perlunya hukum Islam disandarkan pada Pancasila yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia.
Kalau sudah berbicara masalah ini, Dr. Soekiman dan Panglima Besar Soedirman hanya memandang sambil mengangguk-anggukan kepala. Hal ini masuk akal, karena keduanya bukanlah orang yang mendalami masalah agama. Sedangkan pemuda A. Wahid Hasyim adalah pemuda pesantren yang sarat dengan kajian keagamaan. Jadi cerita Soewarno tentang hal ini jelas bukan sesuatu yang mengada-ada.
Yang menarik kita dari penuturan soewarno itu adalah satu hal, bagaimanakah pemuda A. Wahid Hasyim mempertahankan kedudukan Pancasila dengan supremasinya atas hukum Islam (syari’ah). Sedangkan syari’ah pada umumnya dianggap memiliki supremasi lebih tinggi daripada Pancasila yang buatan manusia. Sayangnya penuturan Soewarno tersebut tidak diikuti oleh keterangan-keterangan lebih lanjut. Misalnya, apa argumentasi yang dijadikan dasar pemikiran A. Wahid Hasyim untuk bersikap demikian? Hal ini penting karena KH. A. Wahid Hasyim meninggal secara mendadak tahun 1953 dalam usia 39 tahun, dan Soewarno hingga saat ini tidak menguasai persoalan.
Kini terasa benar bobot persoalan yang diutarakan A. Wahid Hasyim itu, karena putaran masalahnya mengembangkan hal itu ke permulaan pemikiran kita kembali. Tanpa disadari siklus permasalahan itu muncul kembali dalam perhatian kita saat ini. Orientasi mengutamakan Pancasila atas syari’ah kita mengalami pemikiran ulang. Kembali ada yang mempertanyakan terutama pada era pasca-Soeharto, di mana orang menuntut agar diperbolehkan menggunakan asas Islam.
Ini berarti memberikan supremasi pada syari’at, dan rasa-rasanya hal ini dapat menjadi isu utama dalam pemilu tahun 1999. Bahkan kalau saja pemilu ditunda pelaksanaannya, itu karena tidak sanggupnya pihak yang ingin melontarkan supremasi syari’ah sumber hukum negara kita. Karenanya perlulah kita mencoba meraba-raba apa yang menjadi pemikiran A. Wahid Hasyim dalam masalah ini.
Di sisi lain, A. Wahid Hasyim pernah pula diceritakan oleh mantan Menteri Agama, Munawir Sjadzali. Beliau mengisahkan bahwa pada suatu saat pernah pulang bersama KH. A. Wahid Hasyim dari ruangan kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dipimpin oleh pemuda Anwar Hariyono di Yogyakarta. Dalam perjalanan pulang dengan jalan kaki menuju Kauman, Yogyakarta, A. Wahid Hasyim menyatakan kekesalannya pada kiai-kiai NU.
Kekesalan A. Wahid Hasyim ini tentu saja dapat dimaklumi. Sebagai seorang pemuda dia merasa sangat terbelenggu oleh pola pikir para kiai yang dianggapnya sangat “konservatif”. Dia sangat terpengaruh oleh suasana kongres yang banyak membahas berbagai persoalan secara terbuka dengan berbagai sudut pandang. Sedangkan dalam kongres tersebut, A. Wahid Hasyim sendiri masih harus terikat pada pendirian formal NU yang sepenuhnya berasal dari pandangan para ulama yang masih bersandar pada syari’ah. Lebih-lebih para ulama tersebut tidak tertarik pada Pancasila sebagai landasan hukum negara kita.
Di sini kita berhadapan dengan kenyataan sosiologis bahwa gerakan-gerakan Islam masih ada yang mengutamakan syari’ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tema ini berulang-ulang lahir kembali setiap kali dasar-dasar Negara kita dibicarakan. Bukankah ini hal yang mengejutkan kita? Soekarno pernah memperdebatkan ini dengan Moh Natsir pada tahun 30-an melalui tulisan-tulisannya “Islam Sontoloyo”. Agus Salim juga pernah memperdebatkannya dalam serangkaian tulisan.
Sekarang pun masalah hubungan, fungsi, dan kedudukan syariah dan hukum Negara masih hangat diperbincangkan sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisan Saad el-Din al-Asmawi dan Nasr Abu Zayd. Masing-masing pensiunan Mahkamah Agung Mesir dan pensiunan dosen hukum Islam di Fakultas Hukum Cairo University.
Pendapat A. Wahid Hasyim yang memberikan supremasi Pancasila sebagai dasar Negara atas hukum Islam tidak perlu dianggap aneh. Pendiriannya yang demikian dibuktikan dan dikukuhkan ketika beberapa tahun kemudian dia menjabat sebagai menteri agama. Dalam kapasitasnya sebagai menteri agama, KH. A. Wahid Hasyim menerima permintaan agar para siswi diterima pada Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN).
Seperti diketahui, syari’ah melalui karya-karya para ulama telah menetapkan empat syarat bagi kedudukan hakim Islam, yang di negeri kita menjadi bagian dari hukum agama. Dalam pandangan ini, seorang wanita tidak boleh menjadi hakim agama, sehingga tidak boleh ada hakim agama wanita. Konsekuensi dari pandangan ini adalah ditolaknya wanita sebagai pelajar SGHAN karena lulusan lembaga tersebut nantinya akan menjadi guru hakim atau hakim agama. Hal ini jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 yang memberikan kedudukan sama pada pria dan wanita.
Dalam pandangan hukum buatan manusia ini diperkenankan adanya hakim agama wanita. Kalau ada menteri agama yang menerima wanita menjadi siswi SGHAN (sekarang IAIN, Fakultas Syari’ah, Jurusan Qadla), jelas ia telah mengubah ketentuan syari’ah dan berpegang pada supremasi hukum kontemporer.
Inilah yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim, dalam kedudukannya sebagai menteri agama. Dengan demikian jelaslah bahwa dia mengikuti mazhab yang mengakui supremasi hukum kontemporer dengan mengalahkan syari’ah. Dan ini dilakukannya dalam kapasitas selaku pimpinan ormas terbesar negeri ini, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Anehnya, mesti pikirannya sangat liberal namun tidak pernah menerima hujatan dan gugatan dari ulama yang berpegang teguh pada syari’ah, termasuk ayahandanya sendiri.
El-Asmawi menganggap Hukum Napoleon dari Barat yang menjadi landasan Hukum Pidana Mesir saat ini adalah telah memenuhi ketentuan-ketentuan syari’ah, sedangkan lawan-lawannya berpandangan sebaliknya. Kalau pandangan El-Asmawi ini benar maka tidak perlu lagi ada hukum syari’ah, karena hukum yang ada telah menampung dua hal penting dari syari’ah, yaitu unsur ketahanan (deterrence) dan hukum (punitive). Abu Zayd bahkan menganggap syari’ah tidak diperlukan lagi, karena telah ditutup peranannya oleh banyak aspek kehidupan masa kini.
Sementara itu yang berpendirian, bahwa dasar-dasar hukum yang ada dalam Al-Qur’an, hadis Nabi, dan dirumuskan dalam berbagai literatur fikih merupakan legasi yang harus diberi tempat utama dalam kehidupan. Kalau terjadi pertentangan antara legasi dan segi-segi kontemporer dari kehidupan maka yang harus dimenangkan adalah legasi tersebut. Dengan kata lain, pendirian formal Islam dalam setiap soal haruslah diutamakan atas pendirian manusiawi kontemporer.
Dengan demikian, jelas apa yang dipikirkan A. Wahid Hasyim pada waktu itu adalah sesuatu yang sangat menarik. Kalau benar apa yang diceritakan Soewarno dan apa yang menurut pandangan kita melatarbelakangi pemikiran A. Wahid Hasyim sepulang dari kongres GPII, sebagaimana diceritakan Munawir Sjadjali, semuanya itu masih relevan hingga saat ini.
A. Wahid Hasyim memikirkan hal yang sama dengan Soekarno, Agus Salim, dan Natsir, walaupun isi pemikiran berlainan dari tokoh yang berbeda-beda itu. Dia menghadapi masalah yang abadi, manakah yang harus diutamakan antara syari’ah dan hukum kontemporer? Dan masalah ini pula yang saya rasa harus dijawab oleh semua partai.
Pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama (NU) mengadakan muktamar di Banjarmasin, Borneo (sekarang Kalimantan). Salah satu keistimewaan muktamar itu adalah munculnya pertanyaan, wajibkah umat Islam negeri ini mempertahankan Negara, yang waktu itu dikenal dengan nama kerajaan Hindia Belanda (Nederlandsch oos-Indie), karena istilah Indonesia belum dipakai. Pertanyaan itu timbul dari persiapan-persiapan militer Jepang untuk menduduki Asia Tenggara sebagaimana terjadi beberapa tahun kemudian.
Kalau dilihat dari sudut pandang hukum Islam, hal ini sangat menarik. Bukankah kerajaan Hindia Belanda diperintah oleh pemerintahan nonmuslim, karena gubernur jenderalnya adalah orang Belanda yang beragama Kristen? Kalau hal ini dapat dibenarkan berarti tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk mempertahankan Kerajaan Hindia Belanda? Bukankah dengan demikian legitimasi kerajaan akan hilang?
Muktamar NU waktu itu ternyata membuat keputusan yang sama sekali berbeda dengan yang dibayangkan para ulama syar’i. Muktamar memutuskan bahwa Kerajaan Hindia Belanda wajib dipertahankan. Berarti pemerintahan oleh orang-orang nonmuslim pun tetap dipertahankan apabila dia merupakan pemerintahan yang sah dan tetap memberi jaminan kebebasan pada orang muslim untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Kalau ini diterima berarti mempertahankan pemerintahan oleh orang Islam bukan merupakan kewajiban yang bertentangan dengan hal tersebut di atas.
Dengan kata lain prinsip adanya Negara harus diterima terhadap keyakinan tidak adanya Negara (faudla). Hal ini diperkuat dengan keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang berisi seruan kewajiban bagi orang muslim untuk berjuang mempertahankan Negara RI dari serangan orang luar.
Kalau mempertahankan pemerintahan nonmuslim dilihat dari sudut pandang agama adalah kewajiban utama, maka mempertahankan pemerintahan oleh kaum muslimin (Soekarno, Hatta, dan Syahrir) adalah juga kewajiban agama. Dengan kata lain masalah orangnya tidaklah penting, yang harus dijaga adalah tetapnya Negara. Apabila prinsip ini diterapkan jelas bahwa dasar Negara Pancasila pun bersifat demikian.
Kedua keputusan di atas sangatlah penting bagi NU dalam keikutsertaannya dalam kehidupan bernegara. Artinya, NU terikat pada keputusan bersama mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang juga adalah pendirian seluruh rakyat Indonesia. Ini dengan sendirinya berarti masalah agama diserahkan kepada para politikus di DPR (parlemen) dan MPR untuk diputuskan secara formal.
Kalau para kiai membicarakannya dalam muktamar itu bukan keputusan yang mengikat secara formal (kenegaraan), melainkan sebagai keputusan perorangan. Paling tinggi ia adalah keputusan kelompok. Hal ini sangat penting untuk diingat karena seluruh keberadaan NU tergantung pada keputusan ini.
Kalau kita kembali pada Muktamar NU Banjarmasin di atas terlihat jelas bahwa NU membedakan antara pendapat resmi yang diwakili oleh Negara dan pendapat yang mewakili kelompok agama. Salah satu diktum mengapa umat Islam mempertahankan Negara Hindia Belanda adalah kenyataan bahwa di Indonesia pernah berdiri kerajaan Islam. Dengan demikian, hukum yang dipakai kerajaan Islam tersebut adalah hukum Islam yang dipakai di kawasan ini. Syari’ah yang diterima di sini pun adalah hukum Islam yang diterima kaum muslimin Indonesia. Bukannya hukum Islam yang abstrak yang berlaku untuk semua tempat dan zaman. Tidaklah dapat dicegah adanya perbedaan persepsi antara tempat dan waktu dalam dunia Islam. Berarti diktum itu tergantung pada pihak yang mengambil keputusan. Di sinilah letak kekuatan NU sekaligus kelemahan pandangan NU.
Kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa pertimbangan-pertimbangan lokal selalu menjadi bagian dari keputusan NU di bidang agama. Dilihat dari sudut ini, kesediaan NU untuk mendukung syari’ah dalam sidang Konstituante 1956-1959 adalah tindakan taktis guna mempertaruhkan keutuhan umat yang akhirnya menjadi sesuatu yang terbantah dengan penerimaannya atas dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sebaliknya, keputusan NU untuk menerima asas Pancasila dalam muktamarnya di Situbondo tahun 1984 adalah keputusan prinsip yang berjangka panjang. Pada waktu itu penulis telah ikut serta dalam proses merumuskan pendirian (pandangan) NU tersebut dengan menjadi Sekretaris Panitia Kecil NU yang diketuai oleh KH. Ahmad Shiddiq. Ketika KH. Ahmad Shiddiq memerintahkan penulis untuk menemui wakil pemerintahan RI, penulis diterima oleh pejabat yang bertugas mengurus masalah tersebut, yaitu Menteri Sekretaris Kabinet, Drs. Moerdiono.
Kepada beliau penulis menanyakan: apakah Pancasila akan menggantikan kedudukan agama, dipandang sebagai agama, atau diberlakukan sebagai agama oleh pemerintah? Oleh beliau dijawab tidak. Dengan demikian, tempat Pancasila dan agama berbeda-beda, karena agama dan Negara memang memandangnya dari sudut yang berlainan. Berarti yang menangani masalah pun berbeda-beda antara pemerintah dan ulama, walaupun pandangan dasarnya tetap sama yaitu kesetiaan pada dasar Negara.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa NU memiliki pandangan tersendiri mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila.
Pertama, masalah Pancasila adalah masalah duniawi dan tidak memiliki dimensi akhirat, karenanya masalah itu lebih tepat diurus oleh Negara dengan didampingi oleh para ulama ahli syari’at.
Kedua, persoalan Pancasila adalah persoalan yang harus dipecahkan di Negara ini dan dalam konteks bernegara pula. Sehingga tidak tepat untuk menanyakan bagaimana pandangan Pancasila tentang suatu hal, karena itu adalah yurisdiksi dan syari’ah. Setiap upaya untuk mencari legitimasi Negara dalam masalah-masalah keagamaan harus dijauhi sedapat mungkin, demikian pula sebaliknya. Ini berarti Negara harus pandai-pandai membawakan diri untuk tidak memasuki wilayah yang bukan urusannya guna memelihara sikap yang sama pada semuanya.
Kalau kita bisa menerima Pancasila dalam pengertian ini maka tidak terdapat lagi pertentangan dalam sikap. Namun, apabila Pancasila diterima hanya untuk membenarkan tindakan dan sikap tertentu dari kalangan agamawan, hal itu berarti pemberian dasar Negara oleh agama. Dan itu tidak dapat dibenarkan pada saat ini. Secara tidak terasa kita telah banyak membohongi Pancasila untuk kepentingan-kepentingan kaum muslimin. Sudah waktunya kita melakukan koreksi atas hal itu jika kita mau jujur pada diri sendiri dan pada Negara.
Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa KH. Abdul Wahid Hasyim sebagai tokoh NU yang berpikiran dinamis dan liberal telah memberikan dampaknya sendiri pada jalan perjuangan NU hingga saat ini. Benarkah hal ini telah disadari oleh kalangan NU dewasa ini? Inilah pertanyaan yang memerlukan jawaban dari warga NU apabila mereka ingin mendalami sejarah NU di masa lampau guna kepentingan di masa depan.