Agama, Ideologi, dan Pembangunan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Agama, ideologi, dan revolusi merupakan unsur-unsur yang ternyata tidak dapat diingkari potensinya untuk mensukseskan atau sebaliknya, merusak, bagi sebuah upaya membangun masyarakat. Hal itu juga berlaku bagi Islam, agama langit (din samawi) terakhir yang diturunkan oleh Tuhan ke bumi, sebagaimana terbukti dalam sejarahnya yang sudah berlangsung empat belas abad. Mengingkari hal ini berarti membuat Islam menjadi hanya sebuah agama ibadah dalam artian yang sempit, atau paling jauh agama hukum (din fiqhy) dalam artian terbatas. Islam akan berhenti menjadi agama pemikiran (din ulil-albab), agama keadilan (din ‘adalah), dan dengan sendirinya agama kesejahteraan (din mashlahah). Karena Islam adalah agama yang secara kewahyuan berkaitan dengan pemikiran manusia, agar keadilan dan kesejahteraan dapat diciptakan di bumi ini.
Islam bergulat, sebagai sebuah agama yang mementingkan tindakan (dirumuskan dalam sebutan ‘amal), dengan ideologi dan revolusi. Pergulatan itu terkadang mengambil bentuk sekedar menyerap, tanpa diolah terlebih jauh, premis-premis (muqaddimat) yang ditawarkan ideologi ataupun revolusi. Namun, terkadang terjadi juga dialog intensif antara Islam dengan keduanya. Dialog intensif itu dapat terjadi antara Islam dengan keduanya secara terpisah, dapat juga dengan hasil sintesa antara keduanya. Karena bagaimanapun juga, ideologi tidak selamanya menghasilkan revolusi, dan revolusi sering kali dilancarkan terhadap ideologi yang sedang menikmati kemapanan. Ketika Islam harus bergulat dengan komunisme di masa lampau, ia bergulat melawan sebuah ideologi semata, seperti gerakan komunis yang berkembang di Timur Tengah di tahun-tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan. Karena gerakan itu gagal menyulut revolusi, maka pergulatan Islam melawan komunis di Timur Tengah tahun-tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan itu justru tidak berujung pada revolusi komunis maupun revolusi Islam. Revolusi Islam justru datang dari perbenturannya dengan Westernisasi sebagai paham ideologis yang sekuler dan ‘bebas agama’ seperti yang ditawarkan mendiang Shah Iran.
Di Indonesia, keadaannya menjadi berbeda sama sekali, karena yang terjadi adalah pergulatan antara Islam di satu pihak dan ideologi komunis yang mewujudkan diri dalam tindakan revolusioner dan memiliki kesadaran besar akan revolusi. Ketika Partai Komunis Indonesia menggunakan model Mao Zedong untuk melawan apa yang dinamakannya kelompok-kelompok reaksioner yang dikuasai tujuh setan desa dan dikelola oleh kapitalis-birokrat (kabir) di tahun-tahun enampuluhan, saat itu Islam berdialog intensif, dalam arti menolak, sekaligus ideologi yang bernama komunisme (atau secara formal, Marxisme-Leninisme) dan upaya melakukan revolusi yang diprakarsainya.
Islam sangat sering, atau bahkan dapat dikatakan hampir selalu, melakukan penyerapan atas premis-premis dari ideologi dan revolusi, tanpa ada pengolahan terlebih jauh. Ataupun, kalau ada penalaran dilakukan atas premis-preis yang dihasilkan keduanya, akan hanya berlangsung secara dangkal saja, seperti terjadi saat ini di negeri-negeri dengan paham Sosialis di Timur Tengah, terutamanya Irak dan Syiria saat ini, atau Mesir di zaman Nasser. Dalam hal demikian, Islam memang berfungsi progresif, yaitu menghantarkan dan mendampingi transformasi sosial yang diprakarsai oleh ideologi dan revolusi. Tetapi keikutsertaannya hanya terbatas pada pembenaran tindakan-tindakan yang dilakukan belaka, bukan memberikan sumbangan mendasar.
Hal yang sama juga dilakukan oleh alur umum (mainstream) kepemimpinan gerakan Islam terhadap ‘ideologi’ pembangunan yang tidak berwatak revolusioner, yang sedang berlangsung di negeri kita saat ini. Premis-premis pembangunan nasional kita dewasa ini, yang tidak memperkenankan pendekatan ideologis di luar wawasan kebangsaan dan pragmatisme politik dan ekonomi, ditelan mentah-mentah begitu saja oleh kepemimpinan formal kaum muslimin di negeri ini, setidak-tidaknya secara kolektif (jama’i). Begitulah, Islam lalu hanya menjadi alat pemberian legitimasi pada sistem kekuasaan yang ada, bukannya melakukan antsipasi pada masa depan yang memiliki sistem pemerintahan lebih baik dan justru lebih sesuai dengan cita-cita Islam sendiri. Namun, hal itu tidak dapat dipukul rata saja, karena bagaimanapun juga di bawah permukaan juga ada arus kuat untuk melakukan dialog intensif dengan pendekatan ‘ideologis’ yang bertumpu pada proses de-ideologisasi belaka.
Mula-mula, perlawanan kepada proses deideologisasi sebagai ‘proses ideologis tertentu’ itu mengambil bentuk tawaran ideologisnya sendiri, yang terbagi ke dalam dua varian. Di satu pihak ditawarkan model ‘revolusi politik’, melalui penampilan Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini di Iran. Di pihak lain ditawarkan ‘ideologi kultural’ dalam bentuk kehidupan total yang islami, yang dicanangkan oleh para pemikir seperti al-Maududi dan al-Nadawi, yang juga diklaim sudah dilaksanakan oleh Saudi Arabia. Tentu dapat dijumpai perbedaan-perbedaan antara sekian banyak sub-varian dalam dua varian utama tersebut, seperti juga halnya dengan semua ideologi yang dikenal manusia.
Lambat laun, sebuah perkembangan lain juga muncul, yaitu pendekatan kultural yang non-ideologis, dalam arti tidak menawarkan kerangka ideologis tertentu, seperti dilakukan kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Indonesia dan gerakan kaum intelektual yang muncul di Timur Tengah, seperti Forum Pemikiran Arab (Arab Thought Forum, Muntadi al-Fikr al-Arabi) di Yordania dan Mesir. Tawaran ini muncul dari kesadaran bahwa Islam tidak selayaknya harus berhadapan dengan ideologi-ideologi transformatif mana pun di dunia, karena ia harus juga melakukan kerja transformasinya sendiri. Namun disadari, bahwa melakukan transformasi tanpa revolusi, sebagai sebuah kenyataan yang harus dijalani, juga mengharuskan kaum muslimin untuk menghindarkan diri dari kaitan terlalu jauh dengan ideologi revolusioner mana pun. Dengan demikian, yang terjadi adalah sebuah hubungan simbiotik dengan sebuah kesadaran transformatif tanpa nama, yang lalu mewujudkan diri dalam kesadaran pelestarian lingkungan, pengembangan keswadayaan, penegakan demokrasi tanpa merinci terlebih dahulu bentuk sistemiknya, dan seterusnya.
Menjadi dengan demikian bahwa hubungan antara Islam dengan ideologi dan revolusi tidak memiliki kejelasan yang gamblang, melainkan hanya bersifat mozaik. Di satu pihak dapat saja Islam terkait dengan ideologi tertentu, baik untuk memperkuatnya (seperti di Mesir era Nasser) atau menghancurkannya (seperti dilakukan Khomeini di Iran). Di pihak lain, Islam dapat saja menghindar dari ‘keharusan’ memilih antara memperkuat dan menghancurkan, dan mengajukan pendekatan perubahan transformatif secara gradual. Dus, menjadi tidak revolusioner. Pendekatan gradual itu pun menampilkan wajah yang tidak satu. Ada yang bersifat menawarkan pendekatan alternatif yang disebut ‘kehidupan Islam’ yang sepenuhnya didasarkan pada nilai-nilai Islam saja, di samping ada pendekatan untuk meleburkan nilai-nilai dasar Islam ke dalam sebuah ‘perjuangan umum’ kemanusiaan.
Namun, upaya memahami kesemua pendekatan yang disebutkan di atas adalah sesuatu yang penting. Bahwa keadaan memaksakan kehendaknya atas pendekatan yang diambil oleh kaum muslimin di sebuah negeri pada sebuah kurun waktu tertentu, seperti juga halnya terjadi atas semua masyarakat manusia dari semua agama dan keyakinan, adalah sesuatu yang harus diterima sebagai kewajaran. Dari rekonstruksi yang dilakukan setelah pemahaman tahap pertama diselesaikan, akan muncul gagasan-gagasan dan serangkaian kerangka pemikiran baru yang selanjutnya akan mendorong kesadaran baru pula. Dan demikian seterusnya bola menggelinding.
Apa yang dilakukan Hassan Hanafi adalah mencoba sebuah tawaran memahai berbagai jenis pendekatan, ada yang dipaparkan secara eksplisit dan ada pula yang hanya implisit, namun yang beranjak dari sesuatu yang tidak netral: kaum muslimin harus melakukan transformasi mendasar dalam kehidupan mereka, melalui pengikisan segala macam bentuk feodalisme dan penindasan. Dengan demikian, Hassan Hanafi mensyaratkan fungsi pembebasan, jika diinginkan Islam dapat membawa kita semua kepada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran adalah resep utamanya. Sebuah pendekatan komprehensif yang mengesankan, walaupun wujud kongkrit dari sistem kemasyarakatan yang diinginkannya juga belum dapat diperoleh. Berbeda dari pendekatan revolusionernya Khomeini atau pendekatan kulturalnya al-Maududi, Hassan Hanafi justru menginginkan pendekatan komprehensif itu tidak memisahkan Islam dari alur perubahan-perubahan transformatif yang berlangsung di seluruh dunia, melainkan menjadi bagian dari proses besar itu. Cukup menarik untuk ditelusuri pemikiran ini, bukan?