Bergandengan Tangan

Sumber Foto: https://www.antarafoto.com/view/1957599/silaturahmi-gus-dur-bersama-mba-tutut

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam suatu kesempatan open house yang pernah diadakan di rumah saya, ada yang bertanya: mengapa menjelang pemilu 1997 saya “menggandeng tangan” Mbak Tutut ke kubu NU? Bukankah itu tanda sikap saya yang tidak konsisten setelah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) beberapa tahun sebelumnya? Bukankah ini berarti NU membuang posisi khiththah nya yang terkenal itu, yang intinya adalah sikap tidak memihak pada salah satu kontestan pemilu?

Pertanyaan itu mencerminkan adanya anggapan bahwa saya bersikap tidak taat asas (lack of consistency). Ini sangat berbahaya bagi seseorang yang memimpin puluhan juta umat, karenanya persoalan ini harus diterima secara terbuka dan permasalahannya harus didudukkan secara rasional sehingga dapat diselesaikan secara tuntas. Dan, pertanyaan seperti itu bukan mustahil akan dimunculkan kembali walaupun oleh kalangan yang berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda pula.

Pertanyaan itu saya jawab sebagai berikut: sikap itu diambil karena perbedaan kepentingan. Ketidaksamaan tindakan dalam hal ini tidak berarti ketidaktaatan (inkonsistensi) sikap. Justru sebaliknya, perubahan sikap yang terjadi, harus dibaca sebagai ketaatasasan (konsistensi) terhadap perjuangan.

Saya mengetahui keinginan Megawati Soekarnoputri untuk meninggalkan arena pemilu, jika diperlakukan tidak adil. Pendukung Megawati di lingkungan NU juga cukup besar waktu itu, karena ia lebih baik dari kedua saingannya yaitu, Ismail Hasan Metarium atau Harmoko. Saya yakin, para pemilih dari NU itu tidak melakukan Golput, karena hal itu tidak lazim mereka lakukan.

Dalam keadaan seperti itu, para pemilih NU terpaksa mengambil salah satu dari Golongan Karya (Golkar) atau Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemungkinan besar, mereka akan mencoblos tanda gambar PPP, karena bagaimanapun mereka sudah bersikap oposisi terhadap Golkar. Dengan demikian, dapatlah dianggap PPP akan mengambil keseluruhan suara yang tadinya ingin mencoblos partainya dari Megawati, yaitu PDI-P.

Ini berarti, orang-orang seperti Hartono Mardjono dan Fuad Amsyari yang masih kuat berpegang pada struktur negara berdasar hukum Islam (Fiqh) akan menang. Mereka akan menunjukkan bahwa warga NU tidak akan mengikuti saya, yang menginginkan negara kebangsaan. Karena itulah, saya mengajak mBak Tutut dari Golkar untuk ber-Istighosah dengan warga NU, untuk menjamin pihaknya memperoleh dukungan yang lebih besar lagi dari warga NU. Ini berarti, warga NU lebih setia (loyal) terhadap gagasan negara kebangsaan ketimbang negara berdasarkan hukum Islam (fiqh), seperti yang diinginkan NU.

Ternyata dugaan saya itu tepat. Dari 50 kursi yang ditinggalkan anggota DPR oleh golongan Megawati, ternyata 24 kursi jatuh ke tangan Golkar dan 22 kursi jatuh ke tangan PPP sebagai tambahan. Bukankah ini berarti pandangan saya itu merupakan pandangan mayoritas di lingkungan NU?

Inilah cara yang saya gunakan untuk mendudukkan masalah secara tepat. Yaitu bahwa khithah NU harus tetap terjaga, tidak boleh membela satu pihak saja atau mendukung sebuah ideologi belaka. Kedua pandangan bertahan pada Islam sebagai landasan dasar negara atau paham kebangsaan sebagai alternatifnya. Bukankah ini proses pendidikan politik yang baik dan menarik?