Demokrasi, Agama, dan Perilaku Politik Bangsa
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam perjalanan sejarah Indonesia modern, agama memainkan peranan cukup besar dalam perilaku politik bangsa. Sejak awal sejarah kebangkitan gerakan kebangsaan untuk mencari identitas diri sebagai sebuah bangsa dan kemudian mengupayakan kemerdekaan, gerakan-gerakan Islam (Islamic movements) senantiasa turut memberikan warna kepada perkembangan politik, kalau tidak akan menjadi protagonis utama dalam pertentangan politik yang mendasar.
Sejak masa dini, yakni 1919 ketika Syarikat Islam terpecah menjadi “si putih” dan “si merah”, motif keagamaan menjadi pendorong bagi perkembangan politik yang bersifat mendasar bagi kehidupan bangsa. Dasawarsa 1930-an menyaksikan polemik antara para pemuka Islam (seperti M. Natsir) dan tokoh-tokoh “gerakan nasionalis” (seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan Tan Malaka) tentang watak (nature) negara merdeka di kepulauan nusantara ini.
Haruskah negara yang ingin didirikan itu bersendi ajaran-ajaran agama, dalam hal ini agama Islam? Ataukah justru “warna agama” itu yang harus dihindarkan? Pertanyaan pelik ini harus mendominasi warna politik dan menjajah agenda politik utama bagi pemerintahan pendudukan Jepang.
Kesudahan perdebatan berkepanjangan itu adalah kompromi politik berupa dasar-dasar negara merdeka yang didirikan pada 17 Agustus 1945, lima prinsip yang tertuang negara dalam Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa jelas menunjukkan peranan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sampai di mana peranan itu harus diwujudkan dan bentuk formal apa yang harus menjadi wujud peranan agama itu tetap menjadi agenda utama dalam wacana politik bangsa kita selama empat dasawarsa.
Kemacetan dalam menetapkan undang-undang dasar yang permanen dalam sidang-sidang konstituante pada 1959, ternyata tidak menghentikan wacana politik di sekitar peranan agama dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Presiden Soeharto pada 1983 memantapkan kedudukan Pancasila dengan menjadikan “satu-satunya asas” bagi organisasi politik di negeri kita secara formal, peranan agama sudah dibatasi untuk tidak “dipertentangkan dengan Pancasila”. Demikian pula Pancasila “tidak akan menggantikan agama” dalam kehidupan bangsa dan negara. Namun, masalah hubungan agama dan negara belum lagi tuntas didudukkan hingga saat ini.
Islam atau agama secara umum, memang tidak lagi menjadi lembaga politik formal dalam infrastruktur politik kita dewasa ini. Tetapi kehadiran Islam sebagai kekuatan politik justru sedang dirasakan secara aktual dalam kehidupan bernegara saat ini. Klaim para tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bahwa sebagai pihak mayoritas kaum muslimin harus memperoleh “porsi yang adil” dalam representasi politik dan ekonomi bangsa kita, mau tidak mau membuka kembali wacana hubungan agama dan negara di negeri ini.
Ada tiga bahasan utama dalam dialog tersebut. Pertama, haruskah ada perlakuan khusus bagi gerakan Islam sebagai representasi politik kaum mayoritas? Kedua, sebagai konsekuensinya, haruskah infrastruktur politik utama, seperti Golongan Karya, lalu harus “dihijaukan” dalam arti didominasi oleh gerakan Islam?
Ketiga, untuk “menampung aspirasi” gerakan Islam, haruslah ada konsensi bagi kaum muslimin dalam bentuk pengundangan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan bernegara?
Lebih lanjut, agenda itu juga membawakan masalah-masalah baru yang harus diperdebatkan dalam wacana politik kita di masa kini dan mungkin di masa datang. Sebagai “hasil” keterlibatan banyak gerakan-gerakan Islam dalam pendukung salah satu pihak yang bercatur di antara pusat-pusat kekuasaan (power centers) yang ada, muncullah “dagang sapi” antara relativisme kultural gerakan Islam dan apolitik-politik yang ingin memelihara status quo keadaan.
Di pihak gerakan-gerakan Islam muncul protes terhadap universalitas isu-isu politik dasar seperti hak-hak asasi manusia, yang dinilai sebagai pemaksaan nilai-nilai liberal kapitalistis dari pihak Barat atas negara-negara berkembang. Gerakan-gerakan itu mengajukan klaim, bahwa nilai-nilai Islami sudah cukup untuk mengatur kehidupan bangsa. Sudah tentu pandangan ini sejalan dengan kebutuhan mereka yang menginginkan status quo keadaan.
Sikap dasar mereka, yakni kepentingan bersama untuk menjaga stabilitas keadaan dan pemerintahan yang kuat guna menjaga pertumbuhan ekonomi dapat berjalan konstan, sudah tentu seiring dengan klaim bahwa hak-hak individual warga masyarakat bukanlah segala-galanya dalam pandangan Islam.
Masalah lain yang timbul adalah bagaimana hubungan mayoritas-minoritas bangsa harus diatur? Benarkah representasi golongan minoritas agama dan etnis harus diproporsionalkan dengan cacah jiwa mereka? Sudah tepatkah sistem yang selalu didengungkan bahwa nasib kaum minoritas terletak di tangan pihak mayoritas bangsa?
Jika demikian, apakah implikasi konstitusional dari kenyataan tersebut? Seribu satu hal lain dapat dikembangkan dari masalah dasar ini, yang juga akan membawa implikasinya sendiri atas wacana politik kita, khususnya masalah-masalah konstitusional.
Apa yang diuraikan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa tidak mudah dilakukan penelusuran atas kaitan antara demokrasi, agama, dan perilaku politik suatu bangsa. Masalah utama yang langsung timbul adalah keharusan menentukan apakah kecenderungan legal-formalistis untuk melegislasikan ajaran agama dalam perundang-undangan negara sebagai upaya yang mewakili “kepentingan umat”? Demikian pula sebaliknya, haruskah upaya membatasi proses legislasi semacam itu menjadi seminimal mungkin sebagai tindakan menentang “kepentingan umat”? Adakah sikap mengutamakan “isu-isu universal” seperti hak-hak asasi manusia (HAM) dianggap sebagai pengingkaran mendasar terhadap ajaran Islam, padahal relativisme kultural dari pandangan Islam pada dasarnya hanyalah salah satu penafsiran dari apa yang dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai “pandangan Islam” mengenai masalah-masalah kemanusiaan.
Demikian, sekilas telah dapat dilihat tingginya derajat kerumitan masalah yang ada dalam kaitan antara demokrasi, agama, dan perilaku politik suatu bangsa. Tekanan pada sikap legal-formalistis dan relativisme-kultural, dalam arti sikap lebih mementingkan nilai-nilai Islami atas nilai-nilai universal dari pandangan umum kemanusiaan, sudah jelas tidak menciptakan situasi kondusif dalam hubungan antara demokrasi dan agama. Sebaliknya, tidak dapat diingkari validitas kekhawatiran penekanan pada nilai-nilai universal kemanusiaan juga akan membawa kepada kurangnya komitmen kepada entitas seperti nilai-nilai Islami. Sangat rumit, bukan?