Demokrasi

Sumber Foto: https://www.muslimahnews.com/2018/11/28/kepalsuan-kepalsuan-demokrasi/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam sebuah kesempatan sarapan pagi di rumahnya, Presiden BJ. Habibie menyatakan panjang lebar bagaimana ia menegakkan demokrasi di Indonesia. Dari pertemuannya dengan beberapa orang tamu, seperti Graaf Otto Lambsdorf dari Jerman Barat hingga Jiang Zemin dari RRC dalam sidang APEC di Kuala Lumpur, ia menunjukkan betapa luhurnya demokrasi yang ingin ditegakkan oleh bangsa kita. Dikemukakan Habibie sederetan contoh, tentang bagaimana demokrasi ditegakkan di Indonesia di masa-masa lampau.

Apa yang kita miliki sekarang dalam upaya memperbaiki ekonomi setelah bisnis kita terpuruk sejak pertengahan 1997, justru memperlihatkan betapa lembaga-lembaga kita yang demokratis telah meletakkan dasar-dasar perbaikan kehidupan kita di masa datang. Demikian pula, upaya mewujudkan cita-cita kita yang sudah dimiliki oleh bangsa ini dari masa lampau.

Ketika mendapat kesempatan berbicara, saya langsung menanggapinya bahwa apa yang dinyatakan Habibie itu adalah kenyataan sejarah, bila dipandang dari sudut kelembagaan. Begitu banyak lembaga dari masa lampau hingga masa sekarang dan yang akan dibangun pada masa yang akan datang, semuanya menunjukkan demokrasi dalam arti kelembagaan.

Pada saat ini saja, kita memiliki berbagai lembaga demokrasi, dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hingga Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga penegak hukum. Bukankah ini menunjukkan bahwa kita juga memiliki demokrasi? Inilah yang selalu menjadi hambatan kemunikasi antara pemimpin dan kita yang dipimpin. Mereka berpuas diri dengan hanya menunjuk pada adanya demokrasi dengan menunjuk kelembagaannya.

Berpikiran seperti itu berarti bahwa demokrasi telah tegak dalam kehidupan kita. Ini seperti anak kecil yang menganggap sebuah mangga sangat sulit dijangkau di pohon, karena ia tidak merasa bahwa tubuhnya yang pendek itu membuat buah itu sulit dijangkau karena letaknya yang tinggi. Jadi, bukannya karena ia masih berbadan kecil dan pendek.

Demokrasi itu tidaklah sesederhana yang dikemukakan Presiden Habibie tersebut. Ia adalah proses rumit yang tidak hanya menyangkut aspek kelembagaan saja, melainkan menyangkut aspek-aspek lain dalam kehidupan. Semuanya itu harus ada jika kita ingin demokrasi benar-benar berjalan. Tanpa kelengkapan semua aspek tersebut, demokrasi seperti halnya sebuah mobil yang tidak akan bisa berfungsi. Aspek itu adalah tradisi atau proses. Bagaimanapun banyaknya lembaga didirikan yang menunjukkan demokrasi dalam sebuah masyarakat, yang jelas ia tidak hidup di dalamnya. Dengan ungkapan lain, demokrasi adalah proses dalam kehidupan bermasyarakat, yang harus diwujudkan terus-menerus, untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Misalnya, kedaulatan hukum dan kebebasan berbicara yang merupakan aspek esensial dari demokrasi melalui proses itu. Sudah pernahkah dalam masyarakat kita terdapat proses semacam itu? Kalau belum, bagaimana dapat dikatakan bahwa demokrasi telah hidup di negara kita? Tanpa kehadiran keduanya, tidak dapat dikatakan demokrasi telah terwujud. Kita baru berbicara tentang aspek kedaulatan hukum dan kebebasan berbicara, tapi belum menyentuh persamaan hak di muka hukum dan pertanggung-jawaban pemerintah secara jujur kepada rakyat.

Bukankah dengan demikian, menjadi sulit bagi kita untuk mengajukan klaim bahwa demokrasi telah tegak di negeri ini?