Kata Pengantar: Uraian Historis Tetapi Obyektif

Sumber foto: Uraian Historis Tetapi Obyektif

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Buku yang berada di tangan pembaca ini adalah karya Prof Mahfud MD tentang masa singkat ketika ia menjadi Menteri Pertahanan, dan kemudian Menteri Kehakiman dan Hak-Hak Asasi Manusia. Tetapi, lebih dari sekadar dua jabatan tersebut, Mahfud mencoba memahami, melalui paparan buku ini, segala hal yang menyangkut dirinya maupun jabatannya dalam kabinet yang saya pimpin. Tentu saja, ada yang bersifat uraian yang sesuai dengan pandangan saya, ada pula yang berbeda. Itu semua tidak penting, karena memang ada hal yang bersifat penafsiran: bisa tafsiran saya yang muncul dalam buku ini, bisa tafsiran penulisnya.

Yang terpenting, semua disajikan dengan obyektifitas yang tinggi, dan di sinilah terlihat kecintaan penulis buku ini kepada kebenaran, ditambah dengan kesederhanaan hidupnya, yang membuat Guru Besar muda ini pantas mewakili generasinya dalam kehidupan bangsa kita. Karena orang-orang seperti dialah, prospek masa depan bangsa kita sangat cerah, dan memberikan banyak harapan.

Salah satu hal yang sangat mengembirakan hati saya adalah kenyataan bahwa saya tidak salah pilih dengan beberapa te-naga muda yang ditetapkan menjadi para pembantu dalam kedudukan mereka sebagai menteri atau menteri negara di masa saya menjadi Presiden, dari tahun 1999 hingga pertengahan 2001. Mahfud MD, Muhammad AS Hikam, Chofifah Indarparawansa, Alhilal Hamdi, dan Marsillam Simanjutak adalah contoh-contoh dari para pembantu yang bersih dan jujur.

Memang, sistem pemerintahan atau politik kita selama ini masih memungkinkan munculnya orang-orang yang tidak jujur untuk memegang jabatan-jabatan penting di negeri kita. Saya harus mempertimbangkan kepentingan partai-partai politik yang ada, dan menyusun pemerintahan yang memperhitungkan kepentingan-kepentingan tersebut. Namun, saya cukup berbangga hati dapat mengemukakan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, dalam jabatan menteri atau menteri negara. Ini merupakan modal yang kemudian dapat diteruskan untuk membangun era baru Indonesia atas dasar kejujuran dan keterbukaan di masa depan, kalau dihitung dari saat penulisan pengantar ini.

Sangat mengembirakan, buku ini selesai ditulis menjelang datangnya era baru tersebut. Dengan demikian, buku ini akan memberikan kesaksian sekaligus menjaga kredibilitas dari era yang dimaksudkan itu. Dengan sistem pemerintahan atau politik yang baru, maka perubahan besar yang terjadi dapat dipahami lebih banyak oleh khalayak ramai, antara lain berkat buku yang ada di tangan pembaca ini.

Kalau saja para tokoh lain, yang tadinya juga saya ajak untuk menyusun pemerintahan transisional ke arah sistem baru, mau juga menuliskan perasaan – pemikiran – reaksi mereka dalam memegang jabatan mengikuti waktu yang sangat pendek, tentu sumbangan “angkatan Mahfud” akan menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan bangsa kita. Kita benar-benar memerlukan masukan-masukan dari angkatan tersebut, di samping masukan-masukan dari masyarakat di luar pemerintahan, guna memungkinkan para ahli dan sejarah-wan memberikan penilaian yang lebih tepat yang mungkin akan muncul dalam satu atau dua dasawarsa akan datang.

***

Dalam pengantar ini, saya sengaja tidak membahas kandungan buku ini, karena baru belakangan saya berniat untuk memaparkan reaksi saya sendiri atas penilaian orang terhadap diri saya dan pemerintahan yang saya pimpin yang begitu pendek. Saya hanya ingin mengantarkan dan sedikit menjelaskan apa sebab maklumat keadaan bahaya/darurat itu dikeluarkan, hal yang menjadi tujuan formal keluarnya buku ini. Hal ini diperlukan, karena masalahnya menyangkut kebutuhan masyarakat untuk mengetahui secara tepat maksud dikeluarkannya sebuah aturan, dan maksud sebenarnya dari aturan tersebut. Dengan demikian, masyarakat dipersilakan melakukan penilaian sendiri.

Kalau di atas saya menunjuk kepada orang-orang muda seperti Profesor kita ini, maka tidak dapat dilupakan pula peranan “generasi penengah”, yang berusia di atas umur 50. tahun namun masih berada di bawah usia angkatan saya sendiri, karena saya, pada waktu menyiapkan pengantar ini, sudah berumur 62 tahun. Mereka adalah orang-orang seperti Sarwono Kusumaatmadja, Alwi Shihab, Erna Witoelar, Luhut Panjaitan, dan Yahya Muhaimin.

Dengan gabungan “dua angkatan” itu, banyak yang dapat dilakukan untuk kepentingan Indonesia di masa depan. Hal ini tentu menyangkut orang-orang yang bekerja di lingkungan birokrasi pemerintahan. Kalau lingkungan “orang-orang muda dan usia menengah” tersebut diperluas lagi dengan tokoh-tokoh politik yang memberikan harapan, seperti Muhaimin Iskandar, Ali Maskur Musa, dan Arifin Junaidi di tingkat Pusat, maupun A. Muis, KH Ibnu Ubaidillah, KH Hamdun, dan Nurudin Amin Sholeh, maka lengkaplah tampak betapa kayanya bangsa kita dengan orang-orang yang jujur dan berakhlak mulia.

Salah satu hal yang menarik dari dua angkatan itu adalah sikap mereka yang tidak mudah larut dalam “kebalauan akhlak” yang sedang menghinggapi bangsa kita dalam banyak hal. Pengabdian kepada kepentingan orang banyak harus dijadikan ukuran dalam hal ini. Digabungkan dengan tenaga-tenaga yang bekerja, dan melakukan kegiatan, di lingkungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan dan lingkungan perguruan tinggi, lengkaplah sudah kemampuan bangsa kita untuk mengatasi krisis multidimensi yang sudah menghinggapi kehidupan bangsa kita beberapa tahun ini.

Dengan modal seperti itu, tentu kita tidak perlu pesimis dengan masa depan kita sendiri. Dengan “meletakkan” mereka dalam sebuah sistem yang mengabdi pada kepentingan orang banyak, tentu dapat dilakukan perubahan-perubahan mendasar yang sangat diperlukan pada saat ini.

***

Yang agak sulit “ditertibkan” dalam masa depan yang dekat ini adalah penjagaan kaum muda itu dari pertengkaran yang tidak perlu. Bagaimanapun juga, kitab suci Al-Qur’an membenarkan perbedaan pendapat, dan melarang pertentangan atau perpecahan, seperti yang ditunjukan oleh dua firman Tuhan berikut. Di satu pihak, Allah berfirman: “telah Ku-ciptakan kalian (dalam bentuk) lelaki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar saling mengenal” (inna khalaqnaakum min dzakarin wa untza wa ja’alnaakum syu’uuban wa qabaa-ila lita’aarafuu); satu ayat yang jelas memperkenankan kita untuk saling berbeda pandangan dan pikiran. Namun, di pihak lain, Allah juga berfirman: “dan berpeganglah kalian pada tali Allah secara keseluruhan, dan jangan terpisah-pisah (wa’tashimu bihabli Allah jami’an wa laa tafarraquu), ayat yang melarang pertentangan antara sesama muslim.

Dengan menulis buku ini, Profesor kita membentangkan pikiran-pikiran dan perasaannya kepada masyarakat. Bahwa ia membentangkan reaksi, adalah sebuah hal yang harus kita syukuri. Sebuah sikap memahami perbedaan pendapat dari angkatan-angkatan yang saling berbeda diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran baru dalam kehidupan kita bersama, terlepas dari asal-usul kita masing-masing.

Sebuah bangsa yang mampu bertenggang rasa terhadap perbedaan-perbedaan budaya, bahasa, agama, dan ideologi adalah bangsa yang besar. Tentu saja kita tidak memperkenankan perbedaan itu berkembang menjadi pertentangan dan perpecahan. Dari sinilah terletak tantangan kita sebagai bangsa yang boleh berbeda, tetapi tidak diperkenankan bertentangan atau terpecah belah. Berpulang pada kita bersamalah untuk mengembangkan hal ini dalam kehidupan kita.

Arti dari buku yang berada di tangan pembaca ini lalu menjadi jelas bagi kita. Bagaimana reaksi Profesor muda kita ini terhadap berbagai hal yang dialaminya dalam masa sependek itu sangatlah berharga untuk “direkam” oleh sejarah, melalui buku ini. Dalam jangka panjang, kesungguhan untuk melakukan hal ini merupakan “jaminan” bagi keutuhan dan kesatuan bangsa kita di masa depan.

Dalam kerangka inilah dapat dipahami firman Allah: “setiap kelompok hanya berpegang pada apa yang ada pada dirinya” (kullu hizbin bima ladaihi farihun). Yang tidak diperkenankan berkenaan dengan kelebihan sendiri adalah klaim sebagai “kebenaran mutlak” yang mengalahkan “kebenaran” orang lain, serta fanatisme membabi buta yang sangat mudah menghinggapi kehidupan kaum muslimin seluruh dunia saat ini. Berlawanan dengan kitab suci mereka, tumbuh sikap menentang perbedaan pandangan, dan membiarkan keterpecah-belahan dan pertentangan.

Sangat menyedihkan, bukan?