Kecendekiawanan dan Kekuasaan

Sumber Foto: https://tirto.id/apa-itu-arti-rekonsiliasi-beserta-contohnya-gac8

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sungguh menyejukkan membaca hasil wawancara Kompas dengan Ketua Yayasan Para-madina, Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Ada sebuah kata kunci yang dilontarkannya, yang beberapa hari sebelumnya juga saya lontarkan melalui pernyataan para agamawan di Ciganjur. Kata kunci yang saya maksud adalah “rekonsiliasi”. Sebuah kata yang bukan monopoli kita, karena jauh sebelum itu telah digunakan di Afrika Selatan dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Commission of Truth and Reconsiliation). Hal yang sama juga terjadi di Korea Selatan di bawah Presiden Kim Dae Jung.

Bahwa rekonsiliasi memang diperlukan bukanlah suatu yang aneh. Dari waktu ke waktu, semenjak manusia mengenal sejarah, telah terekam kebutuhan mencapai rekonsiliasi di antara warga masyarakat yang saling bertentangan. Kita teringat pada kebutuhan bangsa kita, setelah Dewan Konstituante gagal mendukung kembalinya kita pada Undang-Undang Dasar 1945. Kita dicengkram oleh kenyataan, bahwa hampir separuh bangsa kita menolak instrumen dasar tersebut. Hal itu dipecahkan dengan dekrit 5 Juli 1958, yang membuktikan kita tidak mampu mencapai pemecahan rasional, melainkan dengan penggunaan kekuasaan.

Untuk keperluan pemaksaan itulah, sistem kekuasaan kita berfungsi. Pendewaan Presiden, pengkultusan kabinet, pemberian kedudukan tertinggi pada MPR, akhirnya memberikan kekuasaan berlebih kepada militer. Contoh dari kenyataan ini adalah statemen dari semua pernyataan Pangab bahwa setiap upaya melawan UUD 45 akan senantiasa dihadapi ABRI dengan seluruh kekuatan. Padahal, bukankah ini semua jadi wewenang dan urusan pengadilan. Bukankah pihak pengadilan yang akan memerintahkan ABRI untuk bertindak?

Dengan melontarkan gagasan agar semua pihak mengalah, Prof. Dr. Nurcholish Madjid meletakkan kembali dasar-dasar hidup bernegara kita dan bertindak satu terhadap yang lain. Dalam proses ini terdapat dua komponen yang bertentangan. Semua hal harus disepakati secara rasional dan berlangsung hidup bernegara harus dijamin. Sikap ini jelas sangat berbeda dengan pendapat cendekiawan lain dalam diskusi artikel yang pernah dimuat Kompas. Dalam sebuah diskusi, seorang cendekiawan menganggap pemerintahan Presiden Habibie tidak layak melaksanakan Pemilu. Bentuknya? Menolak rancangan UU pemilu, yang dianggapanya akan menguntungkan partai-partai yang ada, terutama Golkar. Satu hal yang dilupakan adalah kekuasaan rakyat. Apakah kondisi pengawasan pemilu sama sekali tidak berarti dalam hal ini? Bukankah lebih konstruktif untuk mengusulkan perolehan suara yang dimuat dalam berita acara laporan masing-masing. Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan ditandatangani wakil partai-partai peserta pemilu tidak ada artinya?

Golkar juga ingin dianggap membela rakyat, karena khawatir penggantinya akan lebih buruk. Anggapan rakyat bahwa ia menang sendiri. ABRI tidak selamanya memihak pada Golkar, ia tahu bahwa citranya yang baik lebih penting daripada kekuasaan. Dengan kata lain, semua pihak berkepentingan agar hasil pemilu lebih baik dan berlangsung bersih (jurdil, demokratis, dan bermartabat serta aman). Dengan demikian, kita tidak dapat menafikan keadaan konkrit pemerintahan Habibie. Dari sudut pandang inilah, kita bergembira bahwa Prof. Dr. Nurcholish Madjid menyadarkan kita akan arti rekonsiliasi.