Peranan Umat dalam Berbagai Pendekatan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
I
Kalau berbicara tentang tajdid, sebenarnya tidak ada kelompok di Indonesia yang tidak melakukan tajdid, hanya spektrum tajdid-nya ada yang sampai tuntas, ada yang hanya sepenggal saja; katakanlah begitu. Jadi, umpamanya yang dianggap paling tradisional, Al-Wasliyah yang mengkhususkan diri pada mazhab Syafi’i saja, NU masih empat mazhab, dan Perti juga mazhab Syafi’i, hanya ia terbatas pada lingkungan tarekatnya, yang macam ini pun melakukan tajdid. Hal ini tampak jelas kalau kita siangi tulisan-tulisan K.H. Sirajuddin Abbas (alm.) kemudian tokoh-tokoh Al-Wasliyah (zaman dulu). Hasil penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang terakhir tentang sikap hidup dan pandangan para ulama di Riau, termasuk tentang tokoh-tokoh Perti, menunjukkan di sana pun terjadi tajdid. Di sana terjadi perubahan sikap, nilai, dan cara berpikir walaupun tetap menggunakan acuan semula.
Saya bisa sebutkan sekarang, misalnya di NU, muncul satu pandangan yang sangat meluas bahwa sebenarnya yang dinamakan bermazhab itu bukanlah menggunakan aqwalu al-madzahib (pendapat dari mazhab), melainkan berpikir secara metodologis yang disetujui mazhab tersebut. Jadi, penggunaan ushul fiqh dan qawaidu al fiqh bukan mengambil dari aqwalul fiqhiyyah-nya an sich. Nah, kalau kesadaran ini merata, tentunya sama saja dengan yang terjadi di Mesir. Dimulai oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan sebagainya, muncullah kelas rombongan yang mencoba menggali mazhab yang macam-macam, kemudian menukik ke dasarnya semula: Al-Quran dan al-hadits, kemudian mengangkat hukum-hukum yang, walaupun menggunakan perangkat yang sama, hasilnya tidak selalu sama dengan yang dulu.
Jadi, di sini ada perbedaan yang menunjukkan sedikit-banyak terjadinya perubahan. Nah, di sini tajdid terjadi. Kalau begitu, sebenarnya kita bisa mengambil dua pola: tajdid dalam arti mengubah metodologi berpikir, yaitu satu model tajdid yang lebih tuntas, dan satu lagi tajdid. dalam kerangka atau metodologi berpikir yang sudah ada. Jadi, sebenarnya bedanya cuma di situ. Makanya saya katakan bahwa tidak ada gerakan Islam di negeri kita yang tidak melakukan tajdid.
Akan tetapi, perkembangan tajdid itu sendiri tidak rata, terkadang berhadapan dengan tantangan yang sangat berat dari luar. Orang tidak selamanya kuat memikul tantangan, adakalanya orang mundur. Mundurnya ini apakah sesaat atau memang tidak kuat. Proses ini harus kita tinjau kembali. Pembacaan kalimah tayyibah (Allah dan sebagainya), misalnya, apakah dalam konteks mundur atau tidak. Bukan dalam arti membaca kalimat tayyibah itu sendiri, melainkan sebagai sikap untuk mengembangkan ritualitas tertentu. Ada ritus-ritus yang dipolakan dalam ritualitas. Upacara lalu menjadi penting. Nah, ini yang terjadi di kalangan rakyat awam, atau ulama-ulama, yang katakanlah mengalami proses tajdid. Akan tetapi, karena tidak kuat, lalu akhirnya mereka kembali kepada yang rutin, yang sudah terbakukan, dan melarikan diri dari keharusan berpikir.
Lihatlah sekarang, misalnya, di lingkungan NU begitu deras orang kembali ke wirid, haul, dan sebagainya. Itu menurut saya pertanda bahwa kalau tadi saya katakan di NU ada kesadaran orang untuk menggunakan berpikir metodologis daripada hanya mengambil alih aqwalul kutub, maka pendapat-pendapat yang ada dalam kitab-kitab lama itu tidak diambil alih begitu saja. Sebab Muktamar NU sekarang sudah berbeda. Kalau dahulu, misalnya, bagaimana hukumnya asuransi, dia akan bilang haram… lihat kitab ini halaman sekian. Bagaimana penalarannya? Tidak ada, langsung halal-haram begitu saja. Karena dia mengambil alih, maka tidak usah dikembangkan. Namanya saja mengambil alih, cukup tunjuk saja di sana, di sana pun kadang-kadang tidak disebutkan kenapa. Jadi, seluruh prosesnya adalah proses mencari di dalam daftar kepustakaan yang sudah diterima, al-kutubu al-muqarrarah, mana yang ditetap kan. Inilah yang dahulu dinamakan taqlid buta.
Bahkan karena dibatasi hanya pada kitab mu’tabarah, kitab-kitab yang sudah disahkan, penelaahan baru tidak muncul. Kalau sekarang ada orang luar masih menggunakan fuqaha dan lain-lain, di NU di “ketawain” karena sebutan fuqaha berhenti pada Imam Nawawi, Imam Ramli, dan lain-lain, atau pada angkatan mereka. Ketika PB Syuriah NU menerbitkan buku Ahkam al-Fuqaha, Cabang-cabang NU protes: “Siapa yang fuqaha, kok berani-beraninya? Kewajiban kita kan cuma memindahkan dari kitab fuqaha, kita sendiri hanya muttafaqihun, mencoba memahami fiqh, bukan fuqaha (ahli fiqh).” Nah, itu satu contoh. Di sini pun terjadi proses tajdid yang sangat terbatas. Namun, karena tidak kuat “mikul”, lalu lari kepada ritus. Muncullah tarekat dalam bentuknya yang paling vulgar menurut saya sekarang ini, bukan main. Celakanya, yang ini pun ternyata bukan hanya NU, tetapi Perti dan Al-Wasliyah pun begitu dari dulu. Sudah bawaannya begitu, menghadapi tantangan zaman itu lari kepada semacam eskapisme, kepada tarekat. Yang diambil dari Imam Gha zali adalah aspek etiknya, tapi metode berpikir Imam Ghazali sendiri tidak dikembangkan, yaitu sifatnya yang menyeimbangkan intuisi dengan akal, taufiq bainal aqliyah wan naqliyah, dengan mempertemukan antar-nash. Akibatnya itu tadi, lari kepada ritus, dan ini sekarang di mana-mana menggelora. Celakanya tidak hanya NU dari Perti, bahkan eks-Masyumi pun sekarang bertasawuf Buya Hamka, saya sambut gembira. Menurut Tasawuf Modern-nya Hamka, yang terpenting adalah taqarub ilallah dengan cara exercise pemikiran. Kita gunakan pemikiran kita untuk mengetahui kebesaran Allah; inilah yang menurut tasawuf. Dan memang kita tahu, bukan, hanya Hamka orang yang terikat dengan rutinitas. Kebesaran beliau adalah mampu memelihara suatu pola hidup yang perhatiannya lebar sekali, dimulai dengan berpikir, lalu bertindak. Akan tetapi, coba lihat sekarang yang dikatakan murid-murid Buya Hamka, mereka sudah pada lari ke dalam wirid-wirid bentuk modern sebab mereka sudah telanjur menolak cara wirid yang lama. Lalu disusunlah ramuan baru, tetapi hakikatnya masakan yang sama.
Nah, sekarang ini ada kecenderungan untuk mundur dari tajdid. Bentuk lain yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah kecenderungan untuk membatasi kegiatan berpikir, dengan mengambil pendekatan yang legal-formalistik: halal-haram. Ini yang justru ditentang oleh para eksponen gerakan tajdid yang ada selama ini. Apakah K.H. Achmad Dahlan, K.H. Mas Mansur, atau K.H. Hasyim Asy’ari sebagai orang yang melakukan pembersihan di lingkungannya, meskipun tentu saja ada yang tuntas dan ada yang tidak, mereka semua selalu berpikir tidak dalam konteks halal-haram saja. Ambillah yang paling ekstrem, misalnya ucapan yang paling terkenal: “Hidupilah Muhammadiyah, jangan hidup dari Muhammadiyah.” Ini menunjukkan bahwa dia tidak hanya mengurusi halal-haram. Dia berpikir lebih luas: menghidupi Muhammadiyah. Itu artinya segala macam kegiatan Muhammadiyah harus dihidupkan, ya pendidikan maupun sosial. Jadi, dia menolak untuk didukung oleh hal-hal yang legal-formalistik saja walaupun titik tolaknya tadi juga dari sana: Pemahaman kembali ajaran, dalam arti fiqh baru berhadapan dengan fiqh yang lama.
K.H. Hasyim Asy’ari dipandang dari sudut pembersihan fiqh itu sendiri dari macam-macam hal yang tidak sesuai sebenarnya dengan dasar-dasar berpikir mazhab, karena beliau seorang yang bermazhab dalam arti yang sesungguhnya. Akan tetapi, umpamanya, terhadap tarekat beliau keras sekali. Dalam buku beliau, Ad-Duranul Muwtathirah, jelas sekali syarat-syarat menjadi seorang murid, hampir-hampir tidak tercapai, apalagi menjadi mursyid. Beliau benar-benar tajam dalam soal tarekat, sampai terjadi perpecahan dengan K.H. Khalil, akhirnya Kiai Ramli. Kiai Ramli ini tadinya menantu Kiai Hasyim Asy’ari. Karena tidak sesuai dengan pandangannya, lalu batal. Perkawinan sudah diakadi, tetapi kemudian talak, cuma belum terjadi perkawinan dalam arti kawin: baru akad saja karena calon istrinya masih terlalu kecil. Akhirnya terus dipisah karena perbedaan pandangan tentang soal tarekat. Kalau diperhatikan, misalnya pada “Tafsir Qanun Asasi”, pidato dalam Muktamar NU di Madiun, jelas sekali luasnya lapangan perhatian beliau. Bukan soal halal-haram waktu menghadapi perkembangan tahun 1946/1947. Di sana ada semacam kepekaan menghadapi lawan ganda: pertama lawan bangsa Indonesia, yaitu penjajah, kemudian lawan bangsa Indonesia lainnya, yakni paham-paham yang antiagama: komunisme dan sebagainya, termasuk yang sekarang dikenal dengan istilah paham-paham sekuler. Maka terhadap lapisan-lapisan lawan yang bermacam-macam ini beliau terus menyuarakan persatuan. Di dalam “Tafsir Qanun Asasi”, sebagai pidato yang menurut saya unik di Indonesia karena isinya tidak sepatah kata pun dari pikirannya sendiri. Dari awal, basmallah sampai akhir, ayat-hadith-ayat-hadith terus. Kalau kita baca semua, isinya sama dengan pidato. Isinya, bersatulah jangan bercerai-berai, tak ada sepatah kata pun yang dari dia. Dia itu hanya memasang saja kolase ayat dan hadis, baru akhirnya shalawat dan penutup seperti biasa.
Nah, di sinilah kelihatan, dulu kenapa “benggol-benggol”-nya tidak legal-formalistik semata-mata, sekarang malah enggak. Bahkan pemba. haru yang menamakan dirinya sebagai pembaharu pada gandrung kepada hal-hal yang legal-formalistik. Inilah catatan saya yang pertama mengenai tajdid.
II
Catatan yang kedua, kalau kita berbicara tentang peranan, kita harus tahu medannya dulu. Orang berperang tanpa tahu medannya kan susah. Nah, untuk mengetahui medan itu saya buat catatan-catatan berikut ini.
Tajdid di Indonesia sekarang mengalami konvergensi pandangan; artinya, apa pun aliran yang dianut, saya pikir semua mereka sudah sepakat.
Pertama, kita tidak bisa melarikan diri dari Pancasila. Bagaimana pun harus diatasi, bahkan dirinya yang menamakan aliran alternatif itu pun tidak jelas dalam konteks mengisi Pancasila, mengisi Republik Indonesia yang ada ini. Dengan kata lain, kita sudah menerima asumsi dasar bahwa kita bergerak atas dasar Pancasila. Ini penting sekali sebab perbedaan, betapa pun jauhnya, tidak menyangkut masalah dasar negara lagi, tetapi menyangkut bagaimana negara dikembangkan.
Konvergensi ini pada umumnya tercapai pada titik bahwa Islam harus menjadi nilai walaupun nilai itu sendiri masih diartikan bermacam-macam. Orang akan berbicara lain kalau sudah berkata tentang masalah nilai. Yang penting, semua sepakat bahwa nilai-nilai Islam harus diberlakukan. Apa yang dinamakan nilai Islam dan bagaimana pemberlakuannya, ini baru berbeda. Menurut saya, ini adalah hal yang sangat fundamental sebab ada titik temu tentang sesuatu yang demikian penting, yaitu ajaran dilaksanakan atau tidak. Dengan kata lain, begitu kita sepakat bahwa nilai Islam harus diberlakukan, artinya tertutup jalan bagi sekularisme. Sebab, kalau kita sudah sekuler, tentu tidak memakai nilai Islam. Dan saya pikir tidak ada satu pun gerakan Islam di Indonesia sampai hari ini yang sekuler.
Bahkan orang yang berbicara tentang masalah sekularisasi, seperti Cak Nur (Nurcholis Madjid), dia sendiri tidak mengatakan bahwa harus diberlakukan nilai-nilai di luar nilai Islam: dia juga berbicara tentang masalah nilai Islam. Ini sangat penting, apa pun perbedaan kita, karena tokh oleh kita bisa disepakati bahwa pada dasarnya umat Islam menuju satu sikap untuk menolak sekularisme yang total. Hanya perbedaannya adalah, apakah kita melakukan akomodasi parsial kepada sekularisme, bentuk sekularisasi misalnya, atau sama sekali kita tolak. Artinya kita “nekad”, sama sekali tidak akomodatif. Itu soal paling gampang. Contohnya adalah mengenai tutup kepala. Ada yang menganggap bahwa harus digunakan jilbab, ada juga yang mengatakan tidak, yang penting tingkah laku sehari-hari dan ibadah kita baik. Yang satu menolak mutlak tidak mau ada sekularisme, bahkan soal pakaian pun jangan. Hal yang dianggap paling pribadi dan secara sosial tidak ada efek apa-apa. Akan tetapi, ada yang bilang justru masalah pribadi, saya pribadikan sesuai dengan situasi saya pribadi. Ini yang terjadi.
Jadi, konvergensi pada nilai-nilai Islam, inilai ini nanti menyembul dalam dua model:
Model pertama, kalau kita ambil itu, yakni model inspiratif, nilai Islam menjadi titik tolak bagi pengembangan moral dan aturan. Dengan kata lain, Islam itu membenahi aturan-aturan yang ada tanpa mengubah bentuk luarnya. Akan tetapi, ada pula yang berbeda, bahwa nilai Islam adalah normatif; itu yang dinamakan nilai Islam. Yang satu melihat nilai dalam bentuk norma dan yang kedua melihat dalam bentuk inspiratif. Kita lihat misalnya pada Moeslim Abdurrahman yang punya titik sama dengan Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat) walaupun ada juga titik bedanya. Titik bedanya ialah bahwa Moeslim Abdurrahman normanya macam apa, terserahlah. Saya pernah berkata kepadanya, “Kang Moeslim, saya menemukan bahan dari Muhammadiyah tahun 1920, di situ Qunut itu ditulis sunat muakkad untuk salat subuh. Ini bagaimana?” Dia menjawab, “Ah, saya kira bagus sekali kalau Muhammadiyah qunut pada saat NU mulai tidak qunut.” Di situ dia menunjukkan sikap bahwa antara Muhammadiyah dan NU itu salah satu mengambil A, yang lain mengambil B. Namanya saja dua kelompok yang berbeda. Dia tidak menganggap penting bahwa sebenarnya ada dua perbedaan visi yang fundamental.
Orang seperti Moeslim Abdurrahman melihat Islam sebagai nilai inspiratif. Dia pernah memanggil saya, “Gus, di Blanakan (Subang) ada tambak-tambak udang. Haji-hajinya membuat masjid yang megah, subuh pun mereka sudah ada di situ. Mereka bisa begitu at leisure (dengan santai) karena orang lain yang kerja keras untuk mereka, yaitu petani-petani penambaknya. Jam tiga mereka harus sudah turun ke tambak udang. Kalau dihitung ini, yang mana yang masuk surga, yang masuk tambak tanpa salat subuh ataukah yang ke masjid salat subuh atas jerih payah yang ke tambak? Ini yang mana?” Terus dia berkata, “Jadi, mreka yang ke tambak jam 3 subuh dia masuk surga?” Saya jawab, “Ya, masuk surga, tetapi surganya udang!”
Maksud saya, orang seperti Moeslim Abdurrahman melihat Islam dari fungsi inspiratifnya — ini berbeda dengan Kang Jalal. Kang Jalal melihat Islam sebagai nilai dari arti normatif. Jadi, menurut Moeslim, faktor penting yang harus diperhatikan adalah Islam sebagai sumber inspirasi. Saya sendiri berpendapat bahwa Islam itu belum tuntas menjadi sumber inspirasi. Kedua pendekatan ini penting dikembangkan walaupun nanti saya juga tetap saja sebagai orang pesantren karena tidak bisa menghindari yang legal-formalistik. Akan tetapi, sisi ini penting untuk dipikirkan, yaitu sisi yang normatif dan sisi yang inspiratif. Saya melihat kedua-duanya harus ada, harus saling mendukung. Misalnya saja mari kita berbicara tentang Rukun Islam dan Rukun Iman. Rukun Iman dan Rukun Islam ini kan sebenarnya dituangkan dalam ayat yang sama, dengan satu sendi lain, katakanlah etos sosial, yaitu:
لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Bukanlah kebajikan itu hanya menghadapkan muka kalian ke barat atau ke timur.” (Q:2:177) Artinya, kita menghadap ke kiblat: bagi orang yang berada di sebelah barat menghadap ke timur, bagi yang berada di sebelah timur menghadap ke barat, Akan tetapi:
وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ
Kebaikan itu beriman kepada Allah, kepada para malaikat, kepada Kitab Suci, kepada para nabi, kepada hari qiyamat; itu lima. Kemudian yang keenam ditambahi oleh kaum Sunni dengan gadha dan qadar. Ini adalah penggal Rukun Iman. Setelah itu di tengah ada:
وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ
“… dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang-orang miskin, musyafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya.” (Q:2:177)
Ini jauh lebih panjang daripada penggal pertama. Dari Rukun Islam diambil dua:
وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ
….mendirikan salat dan mengeluarkan zakat.’ (Q:2:177)
Baru belakangan:
وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ
“Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q:2.177)
Jadi, ketakwaan penggal pertama kita sebut Rukun Iman.
Penggal ketiga adalah penggal Rukun Islam. Kenapa yang kedua tidak dirukunkan? Ini etos sosial, dimensi sosial dari kehidupan Islam karena di situ tidak dirukunkan sampai saya berkata, “Marilah, kalau kita tak berani membuat rukun yang ketiga, kita anggap saja rukun tentangganya Islam.” Padahal, yang inspiratif kan di sini, sebab dia tidak mempersoalkan lagi batasannya. Tidak ada yang normatif di situ. Seluruhnya suatu norma global, yaitu harus berbuat kepada manusia lain, harus berusaha meningkatkan kehidupan manusia. Yang menyejahterakan itu tidak mendapat tempat dalam pikiran kita yang sebanding dengan Rukun Iman dan Rukun Islam. Seolah-olah kita beriman, padahal, kalau menurut saya, dia beriman dalam Rukun Iman, kemudian ber-Islam dengan Rukun Islam, dia belum muttaqun. Itu nanti di belakang, dalam etos sosial, etika sosial.
Sebenarnya yang dinamakan ajaran muttaqun itu bukan berarti lepas-lepas, melainkan harus utuh. Akan tetapi, kita lepaskan selama ini. Dulu saya coba melemparkannya pada tahun 1976 melalui majalah Tempo. Saya diwawancarai di Malang, tetapi dia tidak bisa menangkap bahwa sebenarnya dua sisi keyakinan agama orang Muslim ini harus dijembatani. Sisi pertama, Rukun Iman, ialah yang vertikal kepada Allah semata. Ini merupakan acuan eskatologis yang sifatnya sangat individualistik. Iman kita kepada Allah, siapa yang bisa mengukur? Itu semata-mata hubungan individu Muslim dengan Tuhannya.
Di sebelah lain adalah sisi sosialnya. Syahadat mestinya kan urusan pribadi, Akan tetapi, dengan disyahadatkan dia sudah menjadi sosial — kesaksian di hadapan orang lain — bahkan syahadat itu nanti dipakai untuk bahan pembuktian dan sebagainya. Apalagi salat bersifat pribadi, jamaah itu paling utama. Kalau terhadap salat diadakan rincian, shalat istisqa’, misalnya, tidak ada yang lebih sosial dari itu. Shalat khauf itu kan sangat sosial. Zakat? Itu sudah jelas. Puasa juga keprihatinan sosial. Haji itu bahkan sosialisasi, manifestasi dari sosialisasi kehidupan kaum Muslimin.
Sisi antara sosial dengan individual itu memerlukan jembatan, lalu yang di tengah, yaitu kebaikan atau al-birr, bukan di bawah iman atau Islam, bahkan ketika ada peluang untuk memasukannya ke dalam arti ihsan. Sebenarnya al-birr dan ihsan mempunyai esensi yang sama, yaitu kebaikan yang muncul dari hatinya sendiri kepada pihak lain di luar Tuhan; itu al-birr. Apakah itu birru al-walidain, Tuhan memerintahkan birru al-walidain berbakti kepada orang tua. Ini kan harus timbul dari diri kita, dan kita lakukan tanpa ada kaitannya dengan Tuhan. Sebenarnya ihsan adalah al-birr dalam hal ini, dan al-birr adalah ihsan. Akan tetapi, mengapa ihsan dijadikan sisi yang ketiga tanpa menyinggung aspek sosi al? Lalu ihsan itu diartikan bertasawuf, wiridan dan sebagainya itu wara’, askestisme zuhdullah. Kan lucu! Di sini ada peluang. Tetapi tak bisa sebab tadinya kita bisa berkata tak ada peluang al-birr dijadikan landasan. agama. Kenapa? Karena di samping ayat tadi, yang mendudukkan beberapa aspek dari ayat tadi ialah iman, beberapa aspek lainnya adalah Islam. Ini adalah hadis ketika Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi apa itu iman dan Islam. Itulah yang secara tekstual disepakati sebagai rukun Iman dan Rukun Islam.
Jadi, tidak ada tempat dalam penggal kedua dalam ayat tadi. Walaupun ada ihsan, tokh tidak dimasukkan ke sana; jadi di sini agak vakum. Nah, kevakuman inilah yang menyebabkan munculnya satu keinginan sekarang untuk menggunakan nilai-nilai Islam sebagai sumber inspiratif, sesuatu yang baru sama sekali, yaitu etos sosial. Inilah yang dilihat oleh Moeslim Abdurrahman sebagai yang transformatif, yang mengubah wajah masyarakat.
Nah, di sini dia sama Kang Jalal. Mereka sepakat tentang transformasi dalam arti perombakan struktur masyarakat untuk menciptakan masyarakat baru bagi kaum Muslimin. Perombakan ini pun bisa secara harfiah maupun maknawiah. Saya katakan tadi, kita sudah sepakat melakukan transformasi tidak dalam bentuk di luar Pancasila. Akan tetapi, tetap di dalamnya ada kemungkinan merombak struktur. Kalau bukan sistem politiknya, paling tidak budaya politiknya. Sisi struktural dari kehidupan kita adalah budaya perilaku politiknya, bukan sistem politiknya. Nah, di sini kita sudah melihat nilai-nilai itu sudah kita sepakati.
Jadi, berangkat dari catatan-catatan tersebut, maka saya melihat apa yang disebut peranan itu memang ada, tetapi kita sebaiknya jangan melihat peranan ini adalah konteks yang terlalu operatif, artinya harus masuk pemerintahan atau di luar pemerintahan. Itu tidak penting untuk saya. Ada yang menganggap bahwa orang seperti saya dianggap orang pemerintahan karena masuk MPR. Padahal saya tidak menganggap diri saya orang pemerintah karena saya cuma memilih mandataris, menetapkan GBHN, dan setelah itu menganggur. Nanti, kalau begitu timbul problem. Kalau kita melihatnya di dalam atau di luar pemerintahan, itu menjadi problem. Juga jangan dilihat dari sudut gerakan Islam an sich, sebab nanti timbul masalah. Kang Mansur Suryanegara itu mau apa, dia masuk ke mana? Pengurus bukan, anggota bukan, paling-paling simpatisan. Itu pun kalau kita tahu siapa yang diberinya simpati. Dan andaikata bisa seperti saya, saya di NU bukan sekadar simpatisan, melainkan memegang tempat tertentu. Saya batasi untuk NU ke dalam. Namun, ketika saya berbicara ke luar, saya tidak memakai kacamata NU, tetapi kacamata saya sendiri. Oleh karena itu, juga saya diributkan di NU. Lalu, bagaimana makhluk-makhluk yang beginian ini, di mana, coba? Jadi, kita tidak bisa berbicara tentang lembaga, apakah lembaga agama atau lembaga pemerintahan. Janganlah hal-hal semacam ini kita bicarakan dalam konteks peranan.
III
Lebih baik kita berbicara tentang strategi atau pendekatan apa yang diambil. Dalam hal ini saya melihat tiga pendekatan:
Pertama, pendekatan alternatif, yaitu bahwa Islam merupakan sistem nilai yang lengkap, merupakan alternatif terhadap sistem nilai yang ada.. Tanpa mengubah struktur atau sistem politik yang ada tadi bisa saja dilakukan, atau dengan mengubah struktur politiknya seperti yang dilakukan oleh Ayyatullah Khomeini. Jadi, kalau sistem nilai tanpa mengubah struktur adalah seperti Saudi yang tetap kerajaan. Sebenarnya, dalam Islam tidak ada yang namanya kerajaan, tetapi Islam berjalan di sana. Dulu al-Ikhwan al-Muslim berteriak-teriak menentang Kerajaan Mesir agar Mesir membuat struktur baru, Akan tetapi, ketika diuber-uber oleh Gamal Abdul Nasser, mereka lari ke Saudi dan dilindungi oleh Saudi. Di sana mereka menerima kenyataan bahwa mereka melakukan perubahan. struktural dalam arti budaya politiknya, bukan sistem politiknya. Saudi tetap kerajaan tanpa perwakilan. Padahal mereka juga tahu bahwa sistem nilai Islam yang bulat itu di dalam dirinya mengandung syura dalam arti perwakilan. Akan tetapi mereka katakan, ini sudah bisa tercapai. Ada sistem syura yang tanpa perwakilan, yaitu ketika raja mendengar pendapat ulama. Ini terjadi di Saudi sekarang. Sungguhpun begitu, tetap saja Islam sudah menjadi alternatif, artinya Islam masuk sebagai kelengkapan yang utuh dan bulat menggantikan yang ada.
Dalam kasus Saudi, kita lebih mudah, memang, karena sudah ada sebelumnya. Akan tetapi, mari kita lihat di Pakistan. Ada seorang political scientist, namanya Muhammad Ayyoob. Sekarang dia bekerja di Uni- versity of Malaya. Dia orang India yang pernah bekerja di University of Singapore, pernah di Australia. Dia melihat faces of the political Islam. Islam yang tampil dalam gerakan politik itu punya wajah dua: Yang satu mendobrak status quo, itulah Khomeini. Struktur modern Iran itu didobrak diganti dengan struktur baru. Namun, ada juga perubahan struktur yang tanpa pendobrakan, tetapi pengesahan struktur yang ada adalah atas nama Islam, yaitu Pakistan. Ziaul Haq tetap melaksanakan pemerintahan militeristik, tetapi ia memberlakukan hukum Islam, dan didukung oleh negara-negara Islam.
Jadi, di sini kita melihat Islam sebagai alternatif, seperti yang ada di Pakistan sebelum dia menyatakan sebagai republik Islam, tetapi republik Islamnya itu an sich tetap saja susunannya seperti yang dulu. Pengadilannya tetap model Barat yang tunduk kepada Privy Law Council di London. Jadi, mahkamah teragungnya di London setelah Mahkamah Agung di Pakistan. Malaysia, misalnya, ketika ketua Mahkamah Agungnya Tun Saleh Harun diberhentikan secara prosedural, tetapi baru keputusan satu tribunal. Tribunalnya terdiri atas orang yang ditunjuk oleh sistem commonwealth: ketua Mahkamah Agung Brunei dan Sri Lanka, cuma tidak ada orang bulenya saja di situ karena Mahatir Muhammad khawatir, kalau menunjuk orang bule bisa memihak kepada Saleh Harun.
Nah, itu tetap berjalan di Pakistan. Kita tidak habis pikir, bagaimana satu model pemerintahan Islam, susunan peradilannya masih lari ke Commonwealth. Meskipun begitu, ia tetap saja Islam sebagai alternatif, sebab terjadi perubahan kehidupan total dari Pakistan yang sebelumnya walaupun bukan dalam strukturnya, pemerintahannya, atau dalam bentuk sistem pemeritahannya, tetapi dalam budaya pemerintahannya. Inilah Islam sebagai alternatif.
Kedua, Islam sebagai pendekatan budaya. Marilah kaum Muslimin kita budayakan, terserah aliran apa, apakah tetap mau menjadikan republik model Barat ataukah model kerajaan seperti Saudi atau seperti Republik Islam Iran. Faktor satu-satunya adalah pembudayaan, enlightenment, pencerahan. Jadi, orang Islam perlu “dipintarkan”. Sebagai hasilnya nanti tokh akan berkembang nilai-nilai Islam; mereka akan mengatur hidup mereka menurut nilai-nilai Islam. Adapun wajahnya menjadi beragam, tidak menjadi masalah karena Allah sendiri yang akan menilai: “Maka Allah mengampuni yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q:2:285) Eksponen utama dari model ini adalah Nurcholis Madjid, kalau di negeri kita. Dia tidak ambil pusing, di luar pemerintah atau di dalam pemerintahan. Dia mengatakan, “Partai Islam, no; Islam, yes.” Itu sudah budaya. Hal ini ada hubungannya dengan Masdar Farid Mas’udi yang berkata bahwa ormas Islam itu sebaiknya dibubarkan saja. Yang penting itu aspek budaya, yaitu bagaimana to civilize (membudayakan) orang Islam. Atau kata Arabnya, tathaiful Muslimin.
Nah, ini Cak Nur, tentu lebih kabur dari yang pertama tadi karena di sini, apakah orang seperti yang ke Masjid Istiqlal setahun dua kali dan tidak pernah salat Jumat masih bisa disebut orang Muslim? Kalau ia berpikir dengan pendekatan kultural, maka dia sudah Islam. Seminim-minimnya dia sudah Islam itu ditolerir. Lalu bagaimana nanti Islam? Tetap menjadi ukuran, Islam itu abadi! Ayat yang dibawa Muhammad itu akan membuat Islam tak berubah-ubah. Orangnya yang bisa berubah, dari yang paling minim kepada yang paling utuh. Akan tetapi, tolok ukur Islam tetap ada. Yang terpenting, Islam dirasakan sebagai kebutuhan. Soal minim atau tuntas itu soal ukuran. Pandangan yang kabur ini akan mem bingungkan orang meskipun merupakan pendekatan yang menurut saya tidak kalah validnya dengan yang lain. Artinya, kita tidak bisa menyalahkan, sebab pendapat lain pun tidak bisa menampung kebutuhan-kebutuhan sekarang ini. Paling tidak dalam masa transisi seperti sekarang ini kita tidak bisa berbicara bahwa soal itu salah. Siapa yang menampung itu orang “gedongan”? Tidak ada yang bisa menampungnya kecuali pendekatan budaya tadi. Apa mereka harus ditolak kalau ingin tahu Islam, walaupun cuma sedikit? Sebab ada juga yang berkata, “Saya ingin Is lam, tetapi yang cocok dengan kebutuhan saya.” Di sini ada tawar-menawar dengan Islam. Nah, ini tidak patut ditolak. Yang bisa menampung justru pendekatan budaya yang dibawa oleh Cak Nur ini. Ujungnya nanti baik. Ketika harus menyantuni orang-orang Cina yang masuk Islam, ada yang masuk karena motif bisnis, ada yang masuk karena motif yang lain. Artinya, semata-mata karena kepentingan bisnis dia masuk Islam supaya mendapat fasilitas. Bagaimana ini, apa orang yang seperti ini bisa diterima? Ini bukan problem Islam saja. Komunisme juga menghadapi problem yang sama: kapitalis-kapitalis itu apa diterima untuk menjadi sosialis?
Pendekatan ini juga mempunyai validitas sendiri. Perkara kita tidak bisa diterima karena ada satu keberatan terhadapnya, yaitu sangat bergantung pada subjektivitas pemeluk itu sendiri. Dari subjektivias yang sangat tinggi ini, apakah bisa dibentuk gerakan-gerakan atau struktur masyarakat, atau katakanlah struktur masyarakat sudah ada, pelembagaan yang kita yakini? Nilai-nilai itu kan harus kita lembagakan dalam bentuk perbuatan. Perbuatan ini harus langgeng dalam bentuk dan dalam kadar yang sama. Tentang pelembagaan itu sendiri timbul problem. Oke, manusianya kita pintarkan. Akan tetapi, kalau lembaganya tidak berubah, apa bisa mendorong kepada peningkatan kebutuhan Islam? Saya alami dilema ini.
Nah, dilema yang saya hadapi ialah ketika saya pulang naik pesawat dengan rombongan dari Natrabu-Tiga Utama yang terdiri dari hajah dan haji yang muda-muda, lingkungan “cabang atas”. Begitu meninggalkan Airport Jeddah, buka semua, ada yang pakai blue jeans dan lipstik sudah keluar. Berubah hajinya. Di pesawat itu sukaria seperti dulu sebelum haji. Islam yang begini ini dilema bagi saya. Saya disuruh memimpin, “Pak tolonglah nanti diajak berdoa ketika pulang, kemudian nanti salat bersama-sama hurmatan lilwaqti.” Saya mengalami dilema waktu itu. Namun, itulah pendekatan budaya. Apakah gunanya saya memimpin, Iha yang dipimpin kaya begitu, karena demi sopan santun saja saya pimpin meski saya sudah tahu tidak ada artinya, kecuali bagi jemaah yang “bener-bener”. Inilah pendekatan budaya tadi. Kekurangannya ialah pada tidak adanya institusi yang melestarikan wajah Islam yang bisa ditular kan dan tidak mengubah keadaan, padahal Islam itu seharusnya berbicara mengubah keadaan.
Kalau kita ikuti pemikiran alternatif tadi, Islam harus mengubah keadaan, misalnya terhadap orang dhu’afa, kan Islam harus memperbaiki nasib mereka. Yang dinamakan rahmatan lil’alamin itu mencakup peningkatan kualitas hidup, juga struktur yang mendukungnya: pembebasan manusia dari kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Nah, itu kan bisa didahulukan tanpa mengubah keadaan institusional. Perkara sistem politik itu, diubah atau tidak, itu soal lain.
Ketiga, pendekatan sosial-budaya, yaitu pendekatan yang pada hakikatnya menerima adanya keharusan upaya menampung kebutuhan kulturisasi Islam, pembudayaan Islam. Artinya, Islam diambil sebagai budaya, tetapi pada saat yang sama sengaja tidak mengambil Islam sebagai alternatif karena itu artinya Islam menjadi lawan dari struktur yang telah ada. Ini dinilai tidak mungkin dijalankan, artinya masyarakatnya sendiri belum memungkinkan. Akan tetapi, budaya juga tidak cukup, sebab dia tidak berbicara apa-apa tentang sosialisasi nilai yang memang penting untuk perubahan struktur: apakah pada lembaganya, apakah pada budayanya, tetapi struktur itu harus diubah.
Strategi sosial-budaya ini ialah kita mencoba mengubah intitusi-institusi yang ada kepada acuan Islam tanpa menjadikan Islam sebagai alternatif. Nah, di sini kita bertemu dengan pendekatan inspiratif yang disampaikan oleh saudara Moeslim tadi. Jadi, Islam sebagai inspirasi muncul membawa keadilan, wawasan demokrasi, wawasan kedaulatan hukum, wawasan kebebasan berserikat, dan sebagainya. Ini diperjuangkan habis-habisan menurut konsep Islam dengan cara mengubah lebih dulu lembaganya, orang Islam sendiri. Di sinilah perlunya keharusan transformasi.
Artinya, Islam diletakkan dalam konteks melakukan perubahan-perubahan sosial menuju ke arah yang baik secara fundamental Di balik inilah kita harus memahami serangan Moeslim Abdurrahman kepada organisasinya, yaitu Muhammadiyah. Dia ini Muhammadiyah seratus persen, seperti saya NU seratus persen. Dia secara kultural begitu sama dengan saya, hanya bedanya dia ditolak oleh Muhammadiyah karena dia terlalu vokal mengkritik Muhammadiyah. Pendekatannya kok karikatural betul: mendirikan rumah sakit, membuat sekolah, katanya. Bagaimana ini? Apa tidak berbicara tentang lembaga sosial ekonomi di pedesaan yang sekarang ini justru kaum agama dalam bentuk haji-haji yang kaya itu mengeksplotisasi rakyat atas nama agama? Apa ini tidak perlu didobrak? Ini bedanya dengan yang alterntif tadi. Sebab, yang alternatif itu alternatif ke-luar, sedangkan pendekatan sosial-budaya ini adalah alternatif ke dalam dengan mendobrak yang ada di dalam. Kalau di Iran ada paham yang dianut oleh perdana menteri sekarang, Husaini Musawi. Dia menganggap bahwa bahaya bagi revolusi Iran yang sudah Islam seperti itu, oleh Presiden Ali Khameini dan oleh Ketua parlemen Rafsanjani diserahkan kepada kelompok-kelompok yang menurut dia Muslim reaksioner, yang hanya memikirkan kepentingan sendiri. Ini jadinya analisis kelas model Islam, yaitu analisis kaum kaya menindas kaum lemah. Padahal Islam yang harus membuat proses agar struktur atau institusi dalam Islam sendiri membebaskannya dari itu. Sebab, itu non-Islam. Nah, kelihatannya yang di Iran juga kalah, yang menang ialah Khomeini dan Rafsanjani. Buktinya kemarin ia sudah minta berhenti walaupun ditolak oleh Khomeini.
Di sinilah kita melihat adanya pendekatan alternatif dengan paham lain tadi ke dalam lingkungan Islam itu sendiri. Itulah pendekatan sosial-budaya. Nah, ini yang berlangsung. Jadi, ada atau tidak ada, tidak peduli apakah secara normatif ajaran Islam itu dikembangkan, tetapi inspiratifnya harus dikembangkan. Saya kira Moeslim itu yang bagus untuk menggambarkannya. Dari ketiga-tiganya, yaitu Moeslim Abdurrahman, Jalaluddin Rakhmat, atau Amin Rais, Kang Jalal terlalu kompleks untuk disebut satu model. Amin Rais sebenarnya pendekatan alternatif, Nurcholis pendekatan, budaya, dan Moeslim Abdurahman pendekatan sosial-budaya. Termasuk Dawam Raharjo juga bisa dimasukkan ke dalam pendekatan ini. Akan tetapi, konsistensinya sangat kecil, kadang-kadang menjadi alternatif sistem ekonomi Islam. Nah, itu menjadi alternatif kepada sistem ekonomi lain. Moeslim tidak mau yang begitu. Pokoknya, apa pun sistem ekonominya, dinamai Islam atau tidak, asal dari Islam mengambil inspirasi tentang keadilan syariat, ya sudah cukup. Coba itu, lebih konsisten Moeslim Abdurrahman daripada Dawam Raharjo. Jadi saya melihat di sini tiga strategi pendekatan yang akan menentukan model-model g akan berkembang nanti di Indonesia. Saya sebagai peng- peran apa yang a amat tidak usah ikut yang mana, namanya juga pengamat, mengambil yang baik dari ketiga-tiganya, kadang-kadang kita pakai yang itu, terkadang yang ini karena tokh sesuai dengan kebutuhannya.
IV
Jadi, melihat ini semua, kita sampai pada kesimpulan bahwa peranan umat itu ternyata besar dan baik, tetapi memerlukan dialog yang intensif antara ketiga pendekatan tersebut. Ini yang belum dilakukan sebenarnya. Masing-masing baru berbicara di tempatnya sendiri-sendiri. Yang sangat saya sayangkan sampai hari ini ialah belum ada dialog terbuka untuk saling belajar tanpa mengubah kawannya. Orang biasanya mau meyakinkan dalam arti menundukkan dia kepada cara berpikir kita; itu cara yang tidak baik. Seharusnya ada satu forum: Amin Rais, Nurcholis Madjid, Moeslim Abdurrahman suruh berbicara, bagaimana pendekatan-pendekat an mereka, adili mereka bertiga. Ini penting sekali sebab nanti, kalau sudah sampai pada operasi di lapangan, sangat berbeda. Amin Rais langsung membuat apa yang dinamakan institusi Islam: baitu al-mal. Nah, kawannya yang paling getol, Adi Sasono, lebih “berharap” dari kita.
Sementara itu Nurcholis berkata, “Apaan itu? KUD saja bolehlah asal orangnya pergi haji,” begitu katanya. Lalu Moeslim Abdurrahman: “Bukan KUD yang banyak cacatnya, tetapi juga bukan yang dibuat oleh Amin Rais karena nantinya menjadi legal-formalistik, akan mengungkung orang, tidak ada yang bebas sama sekali.” Moeslim memilih pesantren-pesantren gurem yang menangani kasus-kasus kemiskinan yang paling ruwet. Dari Bandung, Cirebon, Garut, Majalengka, Banten dibentuknya
satu grup dari 30 ulama muda dari pesantren. Sepuluh tahun lagi kelompok ini akan berbicara tentang mengatasi kemiskinan dalam konteks yang benar dan nyata. Nah, operasinya berbeda, karena itu harus didialogkan. Akan tetapi, sampai hari ini tidak ada dialog. Masing-masing berbicara, dengan kata lain seri monolog. Itu seperti kerukunan beragama. Inilah peranan umat Islam melalui ketiga pendekatan: pendekatan alternatif, pendekatan budaya, dan pendekatan sosial-budaya. Maka kita akan melihat peranan ini semakin besar, tetapi sepenuhnya bergantung pada hasil dialog ketiga pendekatan itu, dan ini harus dilakukan. Peranan menjadi sangat penting sebab ketiga-tiganya mempunyai validitas. Masyarakat seperti Indonesia tidak bisa dicetak dengan satu model saja. Terlalu besar masyarakatnya untuk itu. Sebab satu model itu tidak bisa menjawab segalanya. Submodel-submodel pun harus dibuat. Dari ketiga model tadi yang nanti merupakan cross breeding dari ketiga model akan menampilkan sekian banyak saran. Nah, kalau ini bisa kita buat sehingga katakanlah ada strategi umum umat Islam, di bawahnya itu menjadi substrategi, yang akhirnya ketiga strategi itu menjadi substrategi umat Islam. Saya sangat tertarik dengan pernyataan Dr. Farouq di Malaysia. Apa yang dinamakan kebangkitan kembali Islam di Malaysia itu justru berwajah banyak, dimulai dari Daru al-Arqam sampai kepada UMNO. Daru al-Arqam menolak negara yang ada, menolak pemerintahan yang ada. Anwar Ibrahim itu orang Muslim tulen, sama dengan Daru al-Arqam. Dia semula merupakan pendirinya. Akan tetapi, Umar Farouq mengatakan ini semua tokoh dalam konteks Islamisasi, jadi strategi umumnya lalu Islamisasi. Saya kira kita sudah lebih maju. Dulu ada proses percepatannya supaya kaum Muslimin secara kolektif mengembangkan agama kita.