Pesantren dan Pendidikan Kependudukan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Beberapa hal yang harus di ingat dalam mencoba mengetahui sumbangan apa yang dapat diberikan oleh pesantren kepada pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana. Pertama, mayoritas pesantren belum dapat menerima ide Keluarga Berencana, baik karena alasan-alasan prinsipil maupun karena sebab-sebab lain. Karenanya, harus dijauhi asumsi bahwa pesantren akan berpartisipasi sepenuhnya dalam pelaksanaan program nasional Keluarga Berencana. Kalaupun ada juga pesantren yang memberikan partisipasinya secara positif, hal itu dilakukan menurut dasar-dasar dan pengertiannya sendiri. Sebagai akibat, apa yang dikemukakan dalam uraian ini hanyalah akan ditarik dari asumsi idiil yang masih dicitakan, hanyalah akan berupa sebuah hypotesa belaka.
Kedua, sumbangan pesantren itu diberikan sebagai bagian dari partisipasinya yang lebih luas dalam pembangunan secara keseluruhan, partisipasi mana juga belum dirumuskan secara jelas dan memuaskan hingga saat ini. Keterlibatan pesantren dalam pembangunan, termasuk juga dalam pelaksanaan program nasional Keluarga Berencana, dengan demikian juga masih memerlukan waktu cukup lama dikalangan pesantren sendiri.
Ketiga, pemikiran apapun yang dewasa ini diajukan mengenai sumbangan pesantren itu, dipengaruhi oleh perkemangan yang akan terjadi, sehingga senantiasa terjadi modifikasi terus-menerus atas pemikiran itu sendiri. Sebagai permulaan sebuah proses saling mempengaruhi antara pemikiran dan proses penerapannya dalam kenyataan, apa yang akan dikemukakan hanyalah akan menjadi dasar sementara bagi penyusunan kebujakan yang akan dilakukan sepenuhnya di waktu datang yang masih lama, sehingga memiliki kadar relativitas yang tinggi. Konfigurasi gambaran lebih matang, yang akan dihasilkan oleh proses saling mempengaruhi itu, barulah dapat nantinya dijadikan ukuran sebenarnya tentang sumbangan yang mungkin diberikan pesantren.
Karena ketiga sebab diatas, apa yang akan dikemukakan selanjutnya dalam uraian ini hanyalah akan bersifat rangsangan belaka, yang ditujukan kepada ajakan untuk membantu pelaksanaan Pendidikan kependudukan dan Keluarga Berencana.
Diatas telah dikemukakan, bahwa sumbangan pesantren harus ditinjau dari partisipasinya dalam pembangunan secara keseluruhan. Karenanya, gambaran tentang partisipasi yang lebih luas itu harus diperoleh lebih dahulu.
Seorang pengamat pengembangan sosial telah mengemukakan, bahwa pembangunan dapat saja menutup mata terhadap pentingnya peranan pranata-pranata tradisional. Tetapi pembangunan tidak akan dapat mengelakkan diri dari terkena pengaruh oleh perkembangan pranata-pranata itu sendiri. Pesantren sebagai salah satu diantara pranata-pranata tradisional yang bergerak dibidang pendidikan, memiliki pula pengaruh tidak kecil atas laju atau lambatnya perjalanan pembangunan. Peranan itu terutama berbentuk pengejawentahan kontemporer dari fungsi hidupnya selama ini: pembudayaan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat, terutama dilingkungan pedesaan.
Jika dimasa lampau pengejawentahan fungsi tersebut telah menghasilkan sebuah cara hidup spesifik, yang dikenal dengan nama kahidupan santri, maka diharapkan pengembangan fungsi tersebut dalam bentuk kontemporernya akan menciptakan cara hidup baru dipedesaan, yang lebih berorientasi kepada kebutuhan-kebutuhan program pembangunan. Pembudayaan nilai-nilai agama itu akan berupa sebuah proses penciptaan etik sosial dan etos kerja yang membangun. Penjabaran dan penyerapan ajaran-ajaran agama kedalam etik sosial dan etos kerja semacam itu, akan menyediakan sarana yang hidup dan dasar yang kokoh bagi jalannya pembangunan. Seseorang pemikir sosial kita telah merumuskan peranan agama dalam pembangunan dengan ungkapan puitis berikut: “Dalam usaha pembangunan yang dibutuhkan bukan hanya pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan sosial yang ada, tetapi juga kemampuan untuk menilai kenyatan-kenyataan sosial itu berdasarkan kriteria yang ditarik dari suatu sistem nilai. Agama dapat memberikan sumbangannya dan berperan dalam menciptakan sistem nilai itu, yang akan menghasilkan manusia pembangunan yang berani. Mengambil Prakarsa dengan segala resikonya, sebagai ikhtiar manusia yang diamanatkan dan difirmankan oleh Yuhan”. Pesantren adalah salah satu alat yang digunakan oleh agama untuk memainkan peranan yang sedemikian mulya itu, karena pada Analisa terahir Lembaga pendidikanlah tempat utama untuk menciptakan manusia pembangunan yang dimaksudkan oleh ungkapan diatas.
Sebuah kenyataan lain juga menunjukkan relatif semakin pentingnya pesantren dewasa ini dalam proses pembangunan, bila dibandingkan dengan masa lalu. Sebagaimana telah menjadi kenyataan, peranan penggerak pembangunan hampir seluruhnya telah dipusatkan pada pranata-pranata pemerintahan. Dari proyek INMAS/BIMAS hingga ke PKK, semua pranata penunjang pembangunan yang bergerak dipedesaan telah diformalisir menjadi pranata resmi pemerintah dan semi-pemerintah. Pranata-pranata lain yang tidak resmi, seperti organisasi-organisasi massa yang bergerak disegenap sektor kehidupan dimasa lalu, telah diciutkan sedemikian rupa ruang geraknya, sehingga praktis tidak berperan apa-apa dalam kegiatan pembangunan dipedesaan dewasa ini. Kalau pun masih juga diizinkan bergerak, maka gerakannya itu hanyalah akan bersifat komplementer belaka bagi kegiatan pranata resmi dan semi-resmi itu, seperti hak bagi Muslimat untuk turut dalam motivasi Keluarga Berencana. Dalam keadaan demikia, pesantrenlah yang menjadi tempat bertanya bagi masyarakat pedesaan, jika dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang tidak mereka mengerti oleh pranata-pranata resmi dan semi-resmi itu. Pesantrenlah yang menjadi papan pantulan (sounding board) bagi masyarakat utuk mencernakan keseluruhan wajah pembangunan yang menyentuh kehidupannya, dan dalam banyak hal menjadi pranata yang akan menentukan penuh atau tidaknya penerimaan masyarakat atas kegiatan pembangunan yang berlangsung dipedasaan.
Memang, dibanyak daerah peranan pesantren ini juga telah dilakukan oleh pranata tidak resmi lainnya, seperti gereja-gereja didesa-desa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan katholik. Tetapi tidak dapat disangkal, bahwa jumlah lingkungan pedesaan yang memalingkan muka kepada pesantren masih merupakan mayoritas bangsa kita, terutama dipulau jawa. Walau bagaimana seretnya pun peranan diatas dilakukan oleh pesantren, bahkan dalam kebanyakan hal dengan tidak didasari pengertian cukup tentang adanya peranan itu sendiri, kenyataan tentang pentingnya peranan pesantren itu telah dibuktikan dalam penyelidikan-penyelidikan pendahuluan yang dilakukan hingga saat ini. Potensial, pesantren dapat turut menentukan lajunya proses pembangunan itu berjalan, melalui proses pengembangan fungsinya semula sebagai pembudaya nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat.
Sumbangan yang dapat diberikan oleh pesanren kepada pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana dapat ditinjau dari bidang masing-masing. Dalam rangkaian yang bersifat menyeluruh, sumbangan yang berbeda-beda bidang itu paling tidak akan memberikan gambaran tentang adanya sebuah pola umum yang bersifat hypotetis. Dari pola umum hypotetis inilah baru dapat disusun sebuah program partisipasi pesantren, program mana kemudian dikembalikan kepada pesantren untuk lebih dihayati, sehingga akhirnya akan tercipta sebuah partisipasi yang dilakukan dengan sadar, atas dasar pengertian penuh akan tujuan dan aspek-aspek pokoknya. Dibawah ini akan dicoba untuk mengadakan tinjauan atas bidang-bidang dimana partisipasi dapat diberikan.
Penanaman Kesadaran
Sumbangan utama yang pertama yang dapat diberikan adalah menyusun dan meratakan sikap yang jelas terperinci tentang Keluarga Berencana sebagai ide dan sebagai sebuah program. Baik secara individual maupun kolektif, pesantren dapat merumuskan sikap itu dengan terbuka, dan meratakan perumusan yang dicapai kepada masyarakat pedesaan dengan bahasa yang mudah diterima. Salah satu contoh adalah penyebaran risalah pendek tentang Keluarga Berencana yang disusun oleh KH. Bisri Mustofa (alm., red.) dari Rembang. Walaupun secara doktriner formal risalah tersebut masih banyak kekurangan-kekurangannya, ia dapatlah digunakan untuk menerangkan keperluan akan Keluarga Berencana di masyarakat pedesaan, apabila disampaikan pada kegiatan-kegiatan kelompok (baik dibacakan, diberi komentar, ataupun dibahas bersama-sama). Perumusan sikap dapat dilakukan melalui dua macam cara:
- Sikap langsung tentang ide dan program Keluarga Berencana. Sikap ini membahas status ide Keluarga Berencana ditinjau dari pandangan keagamaan, baik secara umum belaka maupun secara terperinci. Secara sistematis dirumuskan pendirian agama tentang arti dan tujuan Keluarga Berencana, cara-cara pelaksanaannya, dan alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan itu. Cara ini memang banyak mengundang kontroversi, tetapi apabila dilakukan oleh orang yang benar-benar menguasai persoalannya (terutama tentang perincian pendirian agama atasnya), akan jauh lebih efektif pengaruhnya dikalangan masyarakat. Keuntungan dari pendekatan ini adalah kejelasan yang diperoleh masyarakat atas status program Keluarga Berencana dipandang dari sudut hukum agama. Secara individual, anggota masyarakat dapat menentukan pendiriannya sendiri atas tiap aspek spesifik dari pelaksanaan Keluarga Berencana, seperti risalah tentang Keluarga Berencana yang disampaikan dalam salah satu dies natalis IAIN Sunan Ampel oleh Drs. Musyfuk Zuhdi dari Malang. Hanya saja pendekatan ini sulit dilakukan secara serentak dalam wilayah yang luas, karena sulitnya menyediakan tenaga Perata sikap langsung ini.
- Pendekatan gradual, di mana yang diutamakan adalah menanamkan kesadaran akan perlunya sikap rasional dalam membina keluarga sejahtera. Upaya menyejahterakan keluarga menjadi tema pendekatan ini, dengan penggambaran Keluarga Berencana hanya sebagai salah satu aspeknya saja. Pendekatan bernada rendah (low profile) ini lebih mudah dilakukan karena sedikit sekali membutuhkan pembahasan terperinci tentang status Keluarga Berencana dari sudut pandang hukum agama. Dalam pendekatan tidak langsung ini, justru harus dijaga agar jangan terlalu dikemukakan aspek pelaksanaan teknis Keluarga Berencana, melainkan dicukupkan dengan penanaman ide umum belaka tentang Keluarga Berencana itu sendiri. Pendekatan inilah yang sebenarnya merupakan tulang punggung sumbangan pada Pendidikan Kependudukan. Meratakan pendekatan ini justru merupakan partisipasi hidup pada tingkat terbawah dalam Pendidikan Kependudukan.
Kedua macam pendekatan ini, menurut keadaan dan waktu secara efektif dapat dilakukan penyebarannya oleh kalangan pesantren melalui berbagai kegiatanya dalam melayani masyarakat. Pengajian-pengajian umum dan khusus, upacara-upacara keagamaan dan kegiatan insidental (seperti upacara perkawinan) dapat digunakan sebagai medium bagi penanaman kesadaran melalui perumusan sikap dan perataanya ini.
Pesantren dapat memainkan peranan dalam bidang ini dalam dua tahap kegiatan sekaligus, hal mana sulit dilaksanakan oleh pranata-pranata lain. Pertama, sebagai sumber lagitimasi bagi pemikiran keagamaan disekitar Keluarga Berencana. Dalam tahap ini pesantren akan berperan meneliti, menyaring dan merumuskan semua pendirian yang memiliki pretensi keagamaan dalam persoalan Keluarga Berencana, rumusan mana dapat digunakan oleh pihak-pihak lain dalam upaya mereka untuk turut mempopulerkan ide Keluarga Berencana itu. Kunjungan rombongan petugas Keluarga berencana dari luar negeri (Bangladesh, Filipina, dan sebagainya) kepada K.H.M. Bisri Syamsuri di pesantren Denanyar, Jombang, dalam waktu-waktu belakangan ini, adalah contoh daripada fungsi legitimatif pesantren ini.
Pada tahap lainnya, pesantren sendiri dapat langsung menyampaikan pandangan-pandangannya secara popular kepada rakyat awam, sebagaimana dilakukan dalam sementara pengajian umum rutin dibeberapa pesantren. Kesulitan utama dalam merencanakan dan membuat evaluasi atas kegiatan ini adalah karena sulitnya mengukur mana yang lebih penting dan diutamakan oleh sebuah pesantren dalam kerjanya yang meliputi dua tahap kegiatan ini. Penyusunan sebuah buku petunjuk bagi pesantren untuk turut berpartisipasi dalam pelaksanaan program nasional Keluarga Berencana akan banyak dihambat oleh kekaburan kriteria apa yang dapat digunakan untuk membuat klasifikasi jenis kegiatan masing-masing pesantren dalam bidang ini. Padahal, tanpa petunjuk kongkrit seperti itu, pesantren sendiri juga akan tidak mampu menyadari peranan kongkrit ada yang dapat dilakukanya dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana itu. Karenanya, prioritas harus diberikan kepada pengenalan typology pesantren selengkapnya, dan menggolongkan masing-masing tipe-tipe pesantren dalam kerja penanaman kesadaran yang sesuai dengan kemampuannya. Adalah kesalahan besar untuk secara gegabah mendorong pesantren kedalam kerja berwajah banyak yang tidak diketahui spesifikasinya masing-masing. Umpamanya saja, penanaman kesadaran melalui bimbingan kepada masyarakat untuk membuat observasi atas pertambahan penduduk (population trends) pada tahap lokal, tentu akan berbeda dengan bimbingan kepada anggota masyarakat secara individual untuk berani bertanggung-jawab atas keputusan yang diambilnya untuk mengikuti program Keluarga Berencana dihadapan Tuhan nanti.
Bimbingan Teknis
Yang dimaksudkan dengan istilah bimbingan teksnis ini adlah kegiatan untuk menularkan cara-cara melaksanakan upaya merencanakan keluarga secara terperinci. Didalamnya termasuk penyampaian cara-cara menggunakan alat-alat keluarga berencara, baik dari petunjuk cara menggunakan sistem kalender dalam pro-kreasi hingga kepetunjuk untuk melakukan pemandulan. Sudah tentu tidak kesemua pengertian yang dimiliki oleh istilah ini dapat dilakukan oleh pesantren, seperti memberikan petunjuk tentang cara-cara pemandulan.
Bimbingan teksnis ini dapat dilakukan secraa kolektif oleh para warga sebuah pesantren, dapat pula secara perorangan. Secara kolektif, umpamanya, dapat dibuat unit-unit Keluarga Berencana di pesantren, untuk melayani para warrga pedesaan, baik secara incidental maupun secara periodik. Cara lain adalah dengan memabantu unit-unit Keluarga berencana yang telah ada dalam menerangkan penggunaan alat-alat Keluarga Berencana, seperti pil dan IUDs (tetapi penyediaan dan pemasangannya tetap dilakukan oleh petugas dari luar pesantren). Secara perorangan, sebagian warga pesantren yang telah dilatih dapat diperbantukan untuk memberikan bimbingan teknis secara konsultatif, baik dalam lingkungan pesantren sendiri maupun diluarnya. Bimbingan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan (check up) sebelum menggunakan pil Keluarga berencana, dapat dilakukan secara perorangan.
Kesulitan utama dalam menyelenggarakan bimbingan teknis ini adalah sangat langkanya petugas dengan kecakapan memadai dikalangan warga pesantren. Untuk itu, peru dipikirkan cara-cara untuk mengikut-sertakan mereka dalam pendidikan keependudukan pada tahap lanjut, sehingga minimal mereka dapat meemberikan bimbingan teknis dalam aspek-aspeknya yang sederhana (penggunaan kalender, bimbingan untuk meminta check-up kesehatan bagi calon pemakai pil Keluarga Berencana). Buku-buku petunjuk yang akan digunakan oleh pembimbing teknis dari pesantren ini haruslah dilengkapi dengan pendasaran psikologis dan sosiologis yang sesuai dengan kebutuhan calon akseptor, sehingga pembimbing itu tidaklah bekerja secara intuitif belaka (hal mana memang menjadi ciri utama cara kerja di kalangan pesantren).
Kesulitan lain adalah sukarnya memasukan bimbingan teknis secara kolektif dalam kegiatan-kegiatan rutin dipesantren. Berbeda halnya dengan peranan dibidang penanaman kesadaran, yang sepenuhnya dapat diserap oleh kegiatan-kegiatan rutin seperti pengajian umum kepada warga pedesaan. Untuk itu harus dipikirkan penciptaan daya tarik dalam bentuk kegiatan umum di pesantren yang melibatkan warga pedesaan. Sebagai software yang akan membawa mereka kedalam komplek pesantren untuk kemudian diberi bimbingan teknis. Salah satu software dari jenis ini adalah arisan, dimana bimbingan teknnis itu dapat diberikan sebagai acara pelengkap, selain penerangan agama. Demikian pula rapat-rapat rutin wali murid (pertemuan POMG) dan kegiatan-kegiatan sejenis.
Bimbingan teknis ini memang sulit dilaksankan, tetapi kalu pesantren mampu melaksankannya akan sangat besar hasilnya bagi pelaksanaan program nasional Keluarga Berencana.
Peranan Transisional
Peranan ini sebenarnya adalah gabungan dari penanaman kesadaran dan perana bimbingan teknis diatas. Hanya saja, pelaksanaanya berbeda, mereka bekerjasama dalam waktu dan ditempat yang sama. Untuk melakukan penanaman kesadaran, tenaga pesantren tugasnya mendekati dan kemudian menyadarkan para orang awam atas pentingnya arti Keluarga Berencana. Setelah itu ia akan disusul oleh petugas dari luar pesantren yang melakukan bimbingan teknis. Dari kerja sama merekalah diharapkan hasil konkrit dalam bentuk pertambahan jumlah akseptor ditempat itu.
Untuk menghindarkan kericuhan dalam tata kerja bersama dibidang ini, apabila diinginkan kegiatan transisional seperti ini oleh sebuah pesantren, harus diberikan lebih banyak petunjuk lengkap bagi kalangan pesantren tentangg tata kerja pihak yang lain dalam pelaksanaan Keluarga Berencana. Akan tetapi, petunjuk lengkap itu jangan terlalu bersifat kaku, hingga timbul uniformitas tata kerja yang mematikan kreatifitas petugas dari pesantren dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat menurut cara dan kondisinya sendiri itu. Karena penanaman keadaran bergantung sepenuhnya pada kemampuan melakukan pendekatan yang tepat, harus diciptakan suasana yang memungkinkan pengemabangan pendekatan seperti itu oleh kalangan pesantren.
Tindak Lanjut Pembinaan Akseptor
Mungkin di bidang inilah sumbangan terbesar yang dapat diberikan oleh pesantren pada pelaksanaan Keluarga Berencana dan Pendidikan Kependudukan. Umat islam hingga saat ini membatasi partisipasinya pada pembatasan kelahiran melalui cara-cara dan alat-alat yang diperkenankan syara’, dengan akibat partisipasi itu lalu menjadi sempit. Penggunaan IUDs, vasektomi, sterilisasi, dan abortus sama sekali ditolak oleh mayoritas pandangan keagamaan hingga saat ini. Oleh karena itu, lapangan yang terbuka lalu menjadi tinggal penggunaan alat-alat yang membutuhkan kemampuan cukup tinggi bagi rakyat awam, seperti penggunaan kalender, pil, dan sebagainya; yang kesemuanya relatiflebih sulit digunakan dari pada IUDs, umpamanya.
Pilihan untuk menggunakan cara-cara dan alat-alat serba terbatas itu mengharuskan adanya kesadaran, ketelitian, dan ketekunan di pihak para akseptor, jika tidak diingini hanya akan menjadi program semu yang tidak menghasilkan penurunan jumlah penduduk secara drastic dan hanya menggunakan cara-cara dan alat-alat yang telah mereka setujui, akan berakibat llemahnya argumentasi mereka dan semakin kerasnya dorongan untuk meninggalkan pertimbangan-pertimbangan agama dan pelaksanaan program nasional Keluarga Berencana.
Kesemuanya itu mendorong pada keharusan memikirkan dengan sungguh-sungguh tindak lanjut pembinaan para akseptor, sebagai kelanjutan dari langkah permulaan yang telah mereka tempuh dengan mengikuti program Keluarga Berencana. Tidak ada pranata keagamaan yang sanggup melaksanakan beban pembinaan dalam ukuran massal ini, kecuali pesantren. Dengan lokasinya yang tersebar diseantero penjuru tanah air dan siswa-siswanya yang datang dari seluruh lapisan masyarakat, banyak yang dapat dilakukan pesantren di bidang ini. Melakukan evaluasi benar atau tidaknya setiap akseptor dalam melakukan Keluarga Berencana menurut cara yang telah dipilihnya, adalah kerja berat yang membutuhkan pengarahan tenaga secara massal. Santri-santri senior dapat dikerahkan untuk tujuan tersebut. Tinggallah terpulang pada puhak pemerintah untuk mendorong pesantren untuk melakukan tugas ini. Teknik evaluasi pelaksanaan program, bimbingan teknis, dan banyak lain akan terserap kedalam dan menjadi bagian dari kerja pembinaan ini. Penciptaan kelompo-kelompok pembinaan akseptor di masyarakat, yang masing-masing akan ditangani oleh petugas dari pesantren, akan sangat memerkecil kemungkinan timbulnya pelaksanaan semu dari program Keluarga Berencana secara keseluruhan, sebagaimana yang menjadi kesan dari pelaksanaan program nasional yang ada kini. Kita telah melibatkan diri hanya pada cara-cara dan alat-alat yang diperkenankan oleh hukum agama, dan kita berkewajiban mengawasi dan melakukan pembinaan, agar cara-cara dan alat-alat serba terbatas itu benar-benar efektif. Seyogyanya lokakarya ini memusatkan diri pada tindak lanjut pembinaan akseptor ini; dan mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat digali dan dikembangkan dari proyek-proyek pembinaan kesehatan masyarakat, pemberantasan buta huruf, dan sbagainya. Proyek-proyek rintisan dari berbagai jenis keperluan, seperti proyek dana sehat dari Yayasan Indonesia Sejahtera di bidang kesehatan masyarakat, harus diteliti dan dipelajari umtuk mengambil unsur-unsurnya yang berguna bagi bidang pembinaan akseptor dalam pelaksanaan Keluarga Berencana.
Kerja ini merupakan tantangan yang berat bagi pihak pesantren, karena dibutuhkan struktur organisatoris yang tangguh, suatau hal yang masih langka dikalangan pesantren sendiri. Akan tetapi, tugas mulia sangat sulit, bahkan hampir-hampir mustahil, untuk dilakukan oleh pihak-pihak lain sehingga terpulang pada pesantrenlah untuk menyadari besarnya tanggung jawab moral yang dipikulnya.
Pendidikan Kependudukan Secara Kurikuler
Pesantren memiliki dalam dirinya dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan melalui sekolah-sekolah agama dan pendidikan agama diluar sekolah (pengajan umum dan sebagainya). Bahkan dewasa ini mulai berkembang jenis baru, berupa sekolah-sekolah nonagamis, seperti SD-SMP-SMA di beberapa pesantren. Semua jenis pendidikan itu dapat diisi pendidikan kependududkan, baik dalam bentuk mata pelajaran kependudukan secara formal, maupun dalam bentuk tersirat dalam integrasi dengan mata-mata pelajaran lain.
Ada beberapa pedoman dasar yang harus dimiliki oleh pendidikan kurikuler dalam kependudukan ini, jika diinginka ia benar-benar kokoh, kuat, dan memberikan bekas mendalam. Pertama, pendidikan harus disajikan secara hidup dengan menjauhi formula-formula hafalan yang tidak menarik. Pendekatan doktriner hanyalah akan menghasilkan materi pelajaran yang hambar dan mudah hilang dari ingatan.
Kedua, pengajian hidup itupun masih harus dikaitkan dengan latar belakang pandangan hidup keagamaan yang dianut di lingkungan orang yang menjalani pendidikan itu. Tidak adanya kaitan seperti ini hanya akan membuat pendidikan kependuduka sebuah gambaran khayalan yang tidak bersentuhan dengan kenyataan-kenyataan hidup yang dihayati oleh masyarakat. Penerimaan masyarakat atas materi pelajaran yang disajikan juga akan sangat bergantung dari persepsi akan kegunaanya bagi kehidupan mereka.
Ketiga, pendekatan yang dilakukan harus didasarkan atas sikap hidup untuk senantiasa menularkan pengetahuan agama yang hidup dikalangan umat beragama; atau dengan kata lain, pendidikan kependudukan harus dikaitkan dengan keharusan melakukan dakwah (betapa sederhananya sekalipun dakwah itu sendiri dilakukan) atas diri setiap muslim. Apabila pendidikan kependudukan dapat dikaitkan dengan motifasi untuk berdakwah maka akan ada rasa keterikatan dikalangan kaum muslimin untuk melaksanakan apa yang mereka ketahui dalam kehidupan nyata mereka sehari-hari sehingga tidak hanya akan tinggal menjadi pengetahuan teoretis yang tidak dihayati sepenuhnya. Pendidikan kependududkan dalam artian berdakwah ini akan menumbuhkan sikap baru pada ide keluarga berencana itu sendiri, karena ia akan merupakan sebuah keharusan memberikan contoh baik (uswatun hasanah) yang didambakan penghayatannya oleh setiap muslim.
Dari apa yang telah diuraikan di atas secara keseluruhan, dapatlah disimpulkan bahwa pesantren dapat memberikan sumbangan cukup fital dan menentukkan dalam pelaksanaan Keluarga Berencana dan Pendidikan Kependudukan. Bahkan, dalam beberapa hal sumbangan ini dapat menentukan maju mundur, seret lancar, dan hidup matinya program itu sendiri.
Walaupun yang dikemukakan hanyalah merupakan penggambaran bebrapa aspek utama tiap bidang yang dapat digarap oleh pesantren, dirasa telah cukuplah untuk Menyusun sebuah pendekatan yang hidup dan dinamis pada kemungkinan pemberian peranan pada pesantren dalm kerja menyukseskan program nasional Keluarga Berencana.
Terpulang pada Allah SWT jualah untuk menunjukkan jalan yang terang dan besar kepada kita semua sehingga tercapai maksud-maksud yang baik yang terkandung dalam partisipasi kita dalam pembangunan, termasuk didalamnya pelaksanaan Keluarga Berencana dan pendidikan kependudukan.