Demokrasi, Keadilan dan Keterwakilan

Sumber foto: https://bincangsyariah.com/khazanah/tiga-alasan-gus-dur-menyebut-islam-agama-demokrasi/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pernah ada pengamat yang berpendapat bahwa agama menjadi faktor penghambat demokrasi. Pendapat tersebut jelas tidak tepat. Apalagi jika yang dimaksudkan adalah agama Islam. Karena sesungguhnya Islam adalah agama yang demokratis.

Ada beberapa alasan mengapa Islam sebagai agama demokrasi: Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat jelata dikenakan hukum yang sama. Kalau tidak demikian, maka hukum dalam Islam tidak jalan dalam kehidupan.

Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan. “Amruhum syuraa bainahum“, artinya perkara-perkara mereka dibicarakan di antara mereka. Dengan demikian tradisi membahas, tradisi bersama-sama mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan.

Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Karena dunia ini pada hakikatnya adalah persiapan untuk kehidupan di akhirat. “Wakhiratu khairu wabqa“, akhirat itu lebih baik dan lebih langgeng. Karena itu kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap. harus tetap ada peningkatan untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik di akhirat.

Jadi standar yang baik itu di akhirat, kehidupan dunia harus diarahkan kepada yang baik itu. Hal ini sebenarnya adalah prinsip demokrasi, karena demokrasi pada dasarnya adalah upaya bersama-sama uintuk memperbaiki kehidupan. Karena itulah Islam dikatakan sebagai agama perbaikan, dînul islah atau agama inovasi.

Jika dikaitkan dengan keadilan, bahwa demokrasi hanya dapat tegak dengan keadilan. Kalau Islam menopang demokrasi maka Islam juga harus menopang keadilan. Ini penting sekali sebagaimana difirmankan Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menegakkan keadilan“. Ini perintah yang sangat jelas. Yakni perlunya ditegakkan keadilan dalam segala bentuk, baik keadilah hukum, keadilan politik, keadilan budaya, keadilan ekonomi, maupun keadilan sosial. Keadilan sosial ini sangat penting karena salah satu patokan Islam adalah fiqih: “Langkah dan kebijaksanaan para pemimpin mengenai rakyat yang mereka pimpin haruslah terkait sepenuhnya dengan kesejahteraan rakyat yang mereka pimpin itu.” Karena orientasinya adalah kesejahteraan, maka dipentingkan adanya keadilan. Dan orientasi kesejahteraan inilah yang membuktikan demokratis atau tidaknya kehidupan suatu masyarakat. Dengan demikian Islam selalu menghendaki demokrasi yang merupakan salah satu ciri atau jati diri Islam sebagai agama hukum. Maka Islam juga harus mengembangkan keadilan sosial di samping keadilan-keadilan lainnya.

Dalam kenyataannya implementasi dari demokrasi dalam kehidupan sehari-hari tidak semudah itu. Salah satu contoh, misalnya masih berkembang diskursus tentang keterwakilan (representativeness). Ada keluhan di masa lalu orang Kristen terlalu banyak diwakili dalam pemerintahan. Disebutkan misalnya ada Radius Prawiro, JB. Sumarlin, LB. Moedani, dan lain-lain. Padahal nama-nama itu tergolong “awam” dalam bidang agama Kristen. Sementara orang-orang “awam” Islam tidak dianggap mewakili Islam. Misalnya, Pak Harto, Pak Try Sutrisno, para bupati, para danramil, dan lurah-lurah, mereka juga pemimpin Islam.

Mengapa kalau orang awam Kristen dianggap mewakili agama Kristen, orang awam Islam tidak dianggap mewakili Islam? Harus ada kejelasan, kalau orang awam Islam tidak dianggap mewakili Islam, maka orang awam Kristen jangan dianggap mewakili Kristen.

Gampangnya kalau menterinya tidak ada yang pastor tidak perlu gegeran menginginkan kiai menjadi menteri. Di sini representativeness menjadi proporsional bukan dalam jumlah, melainkan dalam jenis manusia-manusia yang memimpin. Kalau sudah demikian tidak ada masalah. Golongan Islam diwakili oleh para pemimpin Islam dalam arti yang terdidik dalam pengetahuan agama Islam dan berpengalaman dalam mengelola program-program keagamaan Islam. Tidak ada masalah lagi, karena mereka tidak mempunyai over claim atau klaim yang berlebihan.

Sekarang susahnya ada anggapan Islam harus diwakili, tapi yang mewakili tidak merata. Satu pihak ingin mewakili segala-galanya. Nah, itu menjadi elitis sekali. Keterwakilan dalam Islam menjadi tidak terbagi rata. Mestinya tidak masalah kalau ada yang mewakili orang-orang awam.