Kerangka Pengembangan Doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA)

Foto Diambil Dari; https://wasaka.kalselprov.go.id/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

(1)

Pengembangan doktrin aswaja meliputi berbagai usaha dalam bidang-bidang yang berlainan, tetapi dalam suatu ikatan hubungan yang saling berjalin dan saling menunjang. Usaha itu haruslah ditujukan kepada pencapaian sasaran di seluas mungkin wilayah kehidupan, baik dalam cakupan individual maupun kelompok. Keseluruhan usaha itu memiliki aspek yang bersamaan dengan usaha golongan-golongan lain (baik Islam maupun bukan) dalam keseluruhan kegiatan mengembangkan dan membangan bangsa, tetapi juga ada aspek-aspeknya yang berbeda dari apa yang dilakukan oleh orang lain di luar lingkungan aswaja sendiri.

Terlebih dahulu, upaya pengembangan doktrin aswaja harus dirupakan dalam bentuk pengenalan pertumbuhan historisnya. maupun pengenalan prinsip-prinsip/pandangan ahlussunnah wal jama’ah tentang dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pengenalan pertumbuhan historis doktrin ahlussunnah wal jama’ah meliputi pengenalan asal mula munculnya terminologi aswaja itu sendiri (baik asal-usul theologis, politis maupun juridis), di samping deskripsi pertumbuhannya berdasarkan periodisasi historis. Pengenalan itu memerlukan kejelasan di bidang pertumbuhan lembaga-lembaga kemasyarakatan formal dalam Islam, seperti khalifah, hakim/wali, sultan, amir, muhasabah dan sebagainya. Sejarah administrasi pemerintah dan administrasi keuangan masyarakat-masyarakat Islam dengan demikian merupakan prasyarat bagi pengenalan pertumbuhan historis dari doktrin aswaja.

Pandangan aswaja harus disusun tentang dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat. Dasar-dasar umum itu meliputi bidang-bidang berikut:

a. pandangan tentang manusia dan tempatnya dalam kehidupan;

b. pandangan tentang ilmu, pengetahuan dan teknologi;

c. pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan bermasyarakat;

d. pandangan tentang hubungan individu dan masyarakat;

e. pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya melalui pranata-pranata hukum, pendidikan, politik dan budaya;

f. pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat, dan

g. asas-asas internalisasi dan sosialisasi yang dapat dikembangkan dalam konteks doktrin formal yang diterima saat ini.

Secara terpadu, kesemua pandangan di atas akan membentuk perilaku kelompok dan individual yang terdiri dari sikap hidup, pandangan hidup dan sistem nilai yang secara khusus dapat disebutkan sebagai watak hidup ahlussunnah wal jama’ah.

(2)

Pengenalan Pertumbuhan Historis Aswaja.

Upaya ini meliputi pengkajian semua perkembangan kesejarahan Islam, karena pada hakekatnya perkembangan itu adalah sejarah aswaja sendiri. Di samping pengkajian yang bersifat umum, upaya pengenalan ini harus juga meliputi pengenalan hasil-hasil studi wilayah tentang pertumbuhan Islam di kawasan-kawasan berikut Semenanjung Arabia, Afrika Utara, Afrika Barat, Afrika Timur, Balkan, Andalusia, Asia Kecil, Asia Tengah, anak-benua India, Asia Timur dan Asia Tenggara. Studi-studi wilayah (area studies) itu akan menampilkan karakteristik tiap-tiap kawasan dalam manifestasi kehidupan ber-aswaja-nya. Perbedaan antara intensitas peribadatan antara kesemua kawasan itu, umpamanya, akan memberikan gambaran tentang pola-pola kehidupan ber-aswaja yang memiliki spektrum lebar, yang akan membuktikan universalitas aswaja.

Demikian pula, tidak dapat diabaikan pengenalan atas proses internalisasi dan sosialisasi yang terjadi dalam batang tubuh aswaja sendiri, baik karena pergolakan intern maupun dalam perbenturan dengan kelompok-kelompok lain di luar dan di dalam gerakan ke Islaman. Pembaharuan dan kontra-pembaharuan (counter reformation) adalah bagian tetap dari proses internalisasi dan sosialisasi ini, sehingga dari pengenalan mendalam atas wawasan-wawasan pembaharuan dan reaksi atasnya akan membawa kita kepada pengenalan atas cara-cara dilakukannya interpretasi kembali dan rekonstruksi pemikiran-pemikiran keagamaan.

Dari pengenalan pertumbuhan historis aswaja ini akan tumbuh landasan yang kuat untuk mengembangkan pandangan-pandangan aswaja tentang dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat, yang akan mencapai wilayah kehidupan yang luas dan lengkap cakupannya. Di bawah ini saya akan mencoba untuk melakukan sekedar inventarisasi pandangan-pandangan itu, sesuai dengan pengenalan individual yang telah dilakukan bersendiri untuk dijadikan dasar pembahasan sementara, yang sama sekali bukan merupakan hasil akhir penelaahan yang mendalam dan seksama.

(3)

Dasar-Dasar Umum Kehidupan Bermasyarakat Menurut Aswaja

Dasar-dasar umum yang dimaksudkan di sini adalah serangkaian pandangan tentang berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, sendi mana dapat berupa pandangan ideologis maupun orientasi kehidupan, di samping seperangkat nilai-nilai yang melandasi kehidupan bermasyarakat itu sendiri.

a. Pandangan tentang manusia dan tempatnya dalam kehidupan.

Dengan perampungan perdebatan sekitar masalah kehendak (will) manusia di hadapan nasib (predestination) yang ditentukan Allah baginya, yang lebih dikenal dengan sebutan “masalah qadla’ dan qadar“, aswaja nyata-nyata telah memberikan tempat sangat tinggi kepada manusia dalam tata kehidupan semesta. Ia diperkenankan menghendaki apa saja yang dimauinya, walaupun kehendak itu sendiri harus tunduk kepada kenyataan akan kekuasaan Allah yang tidak dapat dilawan lagi. Kemerdekaan untuk berkehendak (hurriyatul iradah) ini membawakan kepada manusia kewajiban untuk menjunjung tinggi arti dan nilai kehidupan, karena dengan hanya karunia kehidupan itu sendirilah ia mendapatkan kedudukan sedemikian tinggi. Kewajiban menjunjung tinggi arti kehidupan mangharuskan ia pula untuk memiliki arah kehidupan yang benar, yang akan memberikan kepadanya manfa’at sebesar-besarnya dari kehidupan itu sendiri. Arah kehidupan yang benar itu mengharuskan pula adanya pola kehidupan yang direncanakan dengan baik, yang mampu memelihara keseimbangan yang sehat antara kebutuhan individu dan kebutuhan masyarakat, antara pengolahan sumber-sumber alam dan pelestarian sumber-sumber itu sendiri, dan antara kebutuhan manusiawi dan kebutuhan mahluk-mahluk lain. Demikian pula, manusia berkewajiban menyusun pola kehidupan yang memberikan ruang gerak yang cukup bagi dirinya sendiri di luar dan di dalam dirinya sendiri (outer & inner space), guna memungkin kan tercapainya keseimbangan di atas.

b. Pandangan tentang ilmu, pengetahuan dan teknologi.

Ilmu, menurut aswaja, memiliki dimensi yang berbeda daripada pengertian yang umum berlaku. Menurut aswaja, ilmu berdimensi esoteris (pengenalan hakekat melalui keluhuran diri pihak yang berupaya melakukan pengenalan) yang diperoleh tidak melalui wawasan rasional, di samping dimensinya yang rasional.

Dengan demikian, ada bagian-bagian ilmu itu yang tidak dapat dikembangkan, bahkan akan membahayakan jika dikembangkan. Ilmu yang seperti ini diperoleh secara keseluruhan sekaligus, sehingga ia memiliki watak emanatif (faidl) yang tidak lagi dapat dikembangkan, seperti yang tercermin dalam ungkapan “al-‘ilmu nur” dan sebagainya. Pengetahuan, sebaliknya memiliki keterbatasan dalam hal ia hanya diperoleh melalui upaya belajar (learning), baik ia merupakan pengetahuan normatif maupun ketrampilan/kecakapan. Dengan demikian, sebenarnya pengetahuan adalah bagian rasional dari ilmu, menjadi lawan dari bagian esoteris yang diuraikan di atas. Pengetahuan, karena wataknya yang rasional ini, dapat dikembangkan sesuai dengan kehendak dan kemampuan manusia. Ilmu adalah pengarah kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan yang melayani kepentingan dan kehendaknya. Kedua-duanya mendapat tempat sendiri-sendiri dalam visi kehidupan aswaja, kedua-duanya dianggap bertarap tinggi (walaupun masih ada perbedaan tingkatan ketinggian antara keduanya).

Penyatuan ilmu dan pengetahuan akan membentuk watak kehidupan manusia yang memiliki arah benar (menuju kesempurnaan diri di sisi Allah), tetapi yang masih diabdikan kepada kepentingan manusia itu sendiri. Sebagai buah dari ilmu pengetahuan, teknologi merupakan bagian lain dari proses manusia mempelajari dirinya, karena dengan teknologilah baru manusia mengerti hingga di mana batas-batas kemampuannya untuk mengatur diri dalam kehidupan bersama (baik antara mereka sendiri maupun dengan mahluk-mahluk lainnya) yang memelihara asas keseimbangan hidup yang telah diuraikan di atas. Teknologi, dengan demikian, memiliki tugas untuk melestarikan kehidupan, dan bukan sebaliknya. Demikian erat kaitan antara teknologi dan pengetahuan, sehingga wawasan pengetahuan untuk mencari pendekatan sejauh mungkin kepada Allah di samping tetap diusahakan pemenuhan kehendak manusia, berlaku juga bagi teknologi.

c. Pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan.

Kebutuhan ekonomis umat manusia harus diletakkan dalam konteks tempatnya dalam kehidupan, yaitu sebagai penerima karunia Allah yang masih harus tunduk kepada takdir-Nya. Takdir Allah menentukan manusia harus mampu hidup dengan sumber-sumber alam, daya dan tenaga yang telah disediakan-Nya. Kemampuan memelihara kelestarian semua sumber itu merupakan bagian essensial dari pandangan ekonomis aswaja, karena hanya dengan kemampuan seperti itulah dapat dicapai asas keseimbangan hidup yang dikemukakan di atas. Perencanaan pembangunan ekonomi, yang berkaitan erat dengan aspek-aspek sosio-kultural dan sosial-ekonomis, haruslah ditundukkan kepada tujuan pelestarian dan pemanfa’atan sumber-sumber bahan, daya dan tenaga secara bijaksana, sehingga tidak justru mengancam masa depan kehidupan manusia itu sendiri. Skala prioritas garapan pembangunan haruslah didasarkan pada asas pengembangan, bukannya asas pertumbuhan. Asas pengembangan berarti pilihan arah dan orientasi pembangunan yang menumbuhkan kekuatan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan kendali kokoh, bukannya asal menumbuhkan kekuatan secara asal tumbuh saja. Karena hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup saja yang dikejar, maka strategi pembangunan harus ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan semua warga negara. Terbatasnya sumber bahan, daya dan tenaga mengharuskan pula pembatasan ketat atas skala pembangunan itu sendiri, yaitu pada pemenuhan kebutuhan pokok belaka. Ketentuan al-Qur’an, bahwa tiap orang akan memperoleh bagian (nashibun minad dunya wa nashibun minal akhirah) harus ditundukkan kepada kekuasaan Allah yang hanya berkenan menyediakan sumber-sumber bahan, daya dan tenaga yang serba terbatas. Dalam keadaan serba terbatas inilah dituntut dari manusia kemampuan untuk memanfa’atkan sebaik mungkin sumber-sumber itu, dengan mengembangkannya melalui perencanaan pembangunan yang matang, yang memperhitungkan dalam dirinya upaya-upaya untuk pengembangan modal, ketrampilan (baik kewiraswastaan, kemampuan tata laksana/managerial skill, kemampuan berteknik produksi-distribusi-pemasaran yang tinggi maupun ketrampilan menyesuaikan kebutuhan individual kepada kebutuhan ekonomis makro, seperti dalam pengalihan bahan makanan utama dan sebagainya) dan kemampuan mengatur diri (termasuk kesediaan mengatur besarnya jumlah penduduk dalam skala luas). Prasyarat-prasyarat bagi orientasi pembangunan ekonomi yang sedemikian itu, seperti keberanian untuk mengembangkan usaha-usaha ekonomi yang sedikit mungkin berwatak eksploitatif (mengingat besarnya kemungkinan bagi usaha berwatak ini untuk merusak keseimbangan hidup dan mengacaukan upaya pelestarian sumber-sumber bahan, daya dan tenaga), haruslah dipupuk dan didorong untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, wawasan-wawasan untuk menyusun pola hubungan ekonomis makro dan supermakro yang bertujuan mencapai keseimbangan yang adil antara berbagai sektor kehidupan sesuatu bangsa maupun antara bangsa-bangsa, haruslah dikembangkan terus, seperti wawasan untuk memperjuangkan Orde Ekonomi Internasional Baru.

d. Pandangan tentang hubungan individu dan masyarakat.

Karena tingginya kedudukan manusia dalam kehidupan semesta, maka manusia sebagai individu harus memperoleh perlakuan yang seimbang dengan kedudukannya itu. Individu memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dilanggar, tanpa meremehkan arti dirinya sebagai manusia. Hak-hak dasar itu, yang dalam konteks lain disebut Hak-Hak Asasi Manusia, menyangkut perlindungan hukum, keadilan perlakuan, penyediaan kebutuhan pokok, peningkatan kecerdasan, pemberian kesempatan yang sama dan kebebasan untuk menyatakan pendapat, keyakinan dan keimanan, di samping kebebasan untuk berserikat dan berusaha. Dalam mewujudkan semua haknya itu, individu haruslah mampu melihat keterbatasan masyarakat di mana ia hidup untuk menyediakan dan memenuhi kebutuhan semua warganya. Karena itu, setiap individu harus tunduk kepada asas pemeliharaan keseimbangan antara kebutuhannya sendiri dan kebutuhan masyarakat. Tetapi ketundukan itu sama sekali tidak berarti adanya hak masyarakat untuk menangguhkan hak-hak dasar individu yang telah dikemukakan di atas, bahkan ketundukan itu sendiri mengandung arti kewajiban masyarakat untuk menjunjung tinggi hak-hak dasar itu, karena penyerahan sebagian dari kebutuhan individu kepada ketentuan masyarakat menuntut pula perlindungan yang lebih jelas dari masyarakat itu sendiri kepada kepentingan warga masyarakat sebagai individu. Keseimbangan antara keduanya hanya dapat dicapai melalui proses pengembangan kreativitas individual untuk sekaligus memenuhi kebutuhan sendiri dalam kehidupan dan tuntutan masyarakat atas individu yang diayominya. Pengembangan kreativitas ini mensyaratkan adanya peluang cukup bagi individu untuk berpartisipasi dalam semua segi kegiatan masyarakat secara teratur dan bermakna.

Semua literatur yang ada di kalangan aswaja jelas sekali menunjuk hak untuk berpartisipasi ini, seperti terlihat dalam tekunnya para cendekiawan aswaja di masa lampau untuk merumuskan persyaratan-persyaratan menjadi hakim (syuruthul qadla’), pemeriksa keuangan (syuruthul muhasib) dan seterusnya. Keseimbangan hubungan antara individu dan masyarakat ini menuntut pula adanya kemampuan untuk menumbuhkan moralitas individual yang serasi dengan keadaan yang sedang dialami oleh kehidupan masyarakat itu sendiri. Ini berarti pula keharusan untuk menyantuni mereka yang kurang beruntung dan bernasib malang dalam artian seluas-luasnya, termasuk memperjuangkan hak-hak dasar mereka dan memenuhi kebutuhan pokok mereka. Kesadaran untuk selalu memikirkan kepentingan bersama harus selalu dikembangkan, untuk memungkinkan tumbuhnya moralitas individual yang seperti itu, di samping untuk memungkinkan tumbuhnya ethos sosial yang dinamis dan kreatif.

e. Pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya.  

Tradisi merupakan warisan sangat berharga dari masa lampau, yang harus dilestarikan sejauh mungkin, tanpa menghambat tumbuhnya kreativitas individual. Tradisi merupakan persambungan yang tidak dapat begitu saja dihilangkan tanpa menimbulkan akibat-akibat besar bagi kehidupan individu dan masyarakat, terutama bagi tujuan menciptakan pola kehidupan yang melestarikan sumber-sumber bahan, daya dan tenaga. Tetapi tradisi itu sendiri harus didinamisir, guna menghindarkannya dari kebekuan dan kelambanan yang akan menghambat kreativitas individual. Sesuai dengan wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki aswaja yang telah diuraikan di atas, asas pengembangan tradisi itu harus dilaksanakan dengan jalan menumbuhkan kebanggaan bertradisi, yang dilakukan dengan cara-cara dewasa dan tidak terlampau berbau idealisasi norma-norma yang beku dan statis belaka. Justru penekanan harus dilakukan pada kemampuan menyesuaikan tradisi kepada tuntutan perubahan, atau dengan kata lain, bagaimana essensi dari tradisi dapat dikembangkan dalam situasi yang senantiasa berubah.

f. Pandangan tentang cara-cara pengembangan kehidupan bermasyarakat.

Kehidupan bermasyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan yang diarahkan dengan bijaksana, yang dikenal dengan istilah pengembangan yang sehat, menghendaki pendaya-gunaan semua sumber dengan bijaksana pula, termasuk sumber daya manusiawi (dalam bentuk tenaga fisik maupun keseluruhan proses berpikir). Pendaya-gunaan seperti itu mengharuskan pelestariannya dengan cara effisiensinya sebagai sumber. Effisiensi itu hanya dapat dirupakan dalam bentuk penghematan sumber daya manusiawi dari kemungkinan saling merusak antara bagian-bagiannya, hanya karena kesalahan penanganannya. Karena itulah proses persuasi dan diversifikasi gagasan merupakan bagian tak dapat diabaikan dalam pendaya-gunaan sumber daya manusiawi secara effisien, betapa tidak rapi dan tidak berketeraturan sekalipun proses itu. Cara lain, betapa rapinyapun, dalam jangka panjang hanya akan berarti pemborosan sumber daya manusiawi itu sendiri. Pengenalan kebutuhan dan kemampuan sendiri untuk memenuhinya, hanya dapat dilakukan dengan tepat melalui proses persuasi ini, sedangkan pengenalan seperti itu merupakan prasyarat essensial bagi effisiensi pendayagunaan sumber daya manusiawi itu.

g. Asas-asas internalisasi dan sosialisasi.

Lingkungan aswaja berutung telah mampu mengembangkan dalam dirinya pranata-pranata yang memungkinkan terjadinya proses internalisasi yang sesuai dengan lingkungan di mana gagasan-gagasan diajukan. Proses tersebut dituangkan dalam pranata ushul fiqh, qa’idah figh dan sebagainya. Untuk memanfa’atkan pranata-pranata itu secara optimal, perlulah dikembangkan pen-dinamis-annya, dengan cara memasukkan unsur-unsur pelengkap yang baru, seperti pemastian tempat kehendak masyarakat yang berwatak dinamis dalam proses itu sendiri, yang dapat diumpamakan dalam bentuk penyertaan opini masyarakat dalam mekanisme qa’idah Figh “al-adatu muhakkamah” (adat kebiasaan dapat dijadikan kaidah hukum) dan sebagainya. Proses sosialisasi hasil internalisasi yang telah didinamisir, dapat dikembangkan pula dengan mendaya-gunakan forum-forum keagamaan (seperti pengajian, musyawarah hukum agama, pendidikan agama dan sebagainya) bagi keperluan membicarakan hal-hal yang perlu di-internalisasikan secara dinamis, seperti dalam hal penggunaan semua forum di atas untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya orientasi baru bagi pembangunan, dan seterusnya. Jalinan dinamisasi proses internalisasi dan pemekarannya melalui pendaya-gunaan forum-forum keagamaan ini akan membawa kepada tumbuhnya budaya baru yang memungkinkan terjadinya peletakan dasar-dasar kreatif dalam ber-aswaja.