Pertempuran Tiga Kecenderungan di Mesir

Sumber Foto: https://haqtour.com/5-destinasi-wisata-yang-wajib-dikunjungi/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Mesir memiliki sejarah yang panjang, mungkin terpanjang dalam sejarah umat manusia. Sejak para fir’aun (faraoh) mengaku menjadi wakil Tuhan di muka bumi, negeri kuno ini hampir 6.000 tahun mengalami pertentangan hubungan antara agama dan negara. Seperti kata sejarah ekonomi, Charles Issawi, agama pun dipakai sebagai pembenar kekuasaan birokrasi. Mula-mula Fir’aun menjadi wakil Tuhan dengan kekuasaan.

Setelah itu para Sultan Islam membawakan birokrasi mereka sendiri. Kemudian para birokrat penjajah membawakan keangkeran birokrasi yang mereka ciptakan. Dan akhirnya para birokrat sosialis pun menguasai kehidupan rakyat.

Jalinan birokrasi pemerintah dan agama tampak kentara sekali dalam mengumandangkan kekuasaan pemerintah dalam diri al-Azhar. Kehidupan agama yang resmi praktis dikuasai oleh al-Azhar. Menteri urusan wakaf, menguasai lebih dari sepertiga tanah-tanah pertanian di Mesir. Berbagai urusan wakaf dengan penghasilan sangat besar, praktis dikuasai oleh menteri dan al-Azhar, yang menterinya berasal dari lingkungan lembaga tersebut.

Jadi, yang menguasai birokrasi pemerintah dapat menunjuk Menteri Wakaf dan para birokrat al-Azhar harus mendukung mereka. Kerjasama erat antara agamawan dengan birokrat agama inilah yang dimaksud oleh Charles Issawi. Dengan ungkapannya di atas. Dengan nasionalisasi al-Azhar, pemerintahan birokratik Mesir sejak tahun 60-an praktis menguasainya dan menggunakan seluruh kekuatan untuk mengembangkan pandangan pemerintah dalan soal-soal agama.

Tidaklah mengherankan jika kehidupan agama yang didukung oleh pemerintah demikian mencekam dalam kenyataan di negeri tersebut. Dan tidak pula mengherankan kalau kehidupan formal keagamaan sangat mendukung peranan birokrasi pemerintahan dalam masyarakat di negeri itu.

Kekuatan agama

Sejak lama masyarakat telah mengembangkan jawaban mereka. Al-Ikhwanul Muslimin (Muslim Brother’s) yang lahir puluhan tahun lalu dari kalangan masyarakat justru untuk melawan formalisme ini. Mereka melihat penguasaan birokrasi atas kehidupan beragama sempat membelokkan Islam dari tujuannya semula.

Dalam pandangan mereka, Islam adalah penegak hak-hak individu warga negara untuk mengikuti pilihan hidupnya sendiri. Jadi tidak banyak berkaitan dengan negara dan bahkan mengajukan kritik membangun dalam kehidupan bermasyarakat.

Birokrasi pemerintah sama haknya dengan warga masyarakat dan keharusan pemerintah menerima kritik pun sama besarnya dengan hak masyarakat. Dengan kata lain, ketentuan Islam mengenai hampir semua hal harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dan tidak boleh ditundukkan kepada keinginan atau kebutuhan birokrasi pemerintah. Dengan demikian, acuan Islam yang benar memiliki kekuasaan birokrasi keagamaan. Kekuatan agama tidak terletak pada birokrat keagamaan melainkan pada keserasian ajaran-ajarannya.

Ini berarti tumbuhnya ajaran abadi yang tidak mementingkan kebutuhan birokrasi agama, melainkan tegaknya ajaran-ajaran agama yang abadi dalam kehidupan masyarakat, karena inilah kritik-kritik terhadap keputusan pemerintah yang dianggap menyimpang dari ajaran agama justru datang dari kelompok al-Ikhwanul Muslimin ini. Intelejen Mesir menghabiskan upaya mereka untuk menghadapi para pemimpin organisasi ini yang sering bertahan jauh lebih lama daripada di luarnya.

Ini yang terjadi pada Hasan al-Banna yang memimpin Ikhwanul Muslimin tahun 40-an, membuat ketua Ikhwan, al-Hudaiby digantung Nasser pada tahun 1956 dan juga Sayyid Qut tahun 1965. Hal ini juga yang membuat para pemimpin Ikhwan sekarang masih mendekam di penjara di bawah Husni Mubarrok. Mereka ini menuntut pelaksanaan ajaran Islam dan bukannya ajaran yang diingini oleh para birokrat keagamaan yang berkuasa.

Adakalanya Ikhwan merupakan gerakan sipil yang memperjuangkan demokrasi melawan birokrasi pemerintah seperti tahun-tahun 30-an dan 40-an. Tetapi adakalanya juga dia menghambat munculnya demokrasi dengan mementingkan aspek formal ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, yang merupakan sisi lain anti pemerintah dari kehidupan beragama. Gerakan yang lahir dari formalisme agama ini dapat berwajah antistruktur pada suatu saat dan berwajah formal agama di luar pemerintahan di saat yang lain. Dengan kata lain, gerakan ini ingin mendirikan masyarakat Islam di Mesir, bukannya masyarakat demokratis. Karena itulah banyak di antara ajaran-ajarannya lalu diterima di negeri-negeri Islam yang lain, seperti Saudi Arabia. Hal ini dapat dilihat pada diri, salah seorang pemimpin Ikhwan, yaitu Dr. Said Ramadhan yang berkeliaran antara Saudi dan Eropa dalam pembuangan.

Lari ke luar negeri

Berhadapan dengan birokrasi pemerintah di satu pihak dan formalisme agama oleh masyarakat di pihak lain, maka sejak awal di Mesir lahir kecenderungan untuk menawarkan Islam sebagai agama yang memperjuangkan demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Gerakan ini sering menjadi korban dan dianggap sebagai musuh Islam oleh kedua kecenderungan di atas. Kelompok yang tersebut terakhir ini menolak baik ajaran keagamaan resmi pemerintah yang dilakukan oleh para birokrat maupun pandangan nondemokratik yang dibawakan oleh gerakan masyarakat seperti Ikhwanul Muslimin. Mereka justru menawarkan ajaran agama sebagai pembebas individu warga masyarakat dari berbagai macam kungkungan.

Gerakan ini semula dipelopori oleh para encyclopedist’s dari masa encyclopedia Islam di tahun-tahun belasan. Pada saat ini upaya untuk memerdekakan individu warga masyarakat tengah mengalami tekanan berat dari golongan al-Azhar yang mewakili birokrasi pemerintahan dan gerakan formalis yang dipelopori oleh Ikhwanul Muslimin. Karenanya tokoh-tokoh gerakan ini banyak yang lari ke luar negeri, seperti Nasr Abu Zayd, yang kini tinggal di Belanda. Yang masih tinggal di Mesir memilih untuk melakukan gerakan pemikiran dan wacana transformatif melalui berbagai gerakan pemikiran yang ada di kampus-kampus, seperti Hassan Hanafi.

Salah seorang tokoh yang menarik dalam hal ini adalah Saad el-Din al-Asmawi, mantan Ketua Mahkamah Agung Mesir. Dalam serangkaian tulisan di berbagai media massa, maupun buku-bukunya yang ditulis dalam waktu puluhan tahun, dia mengumandangkan pemikiran bahwa modernisasi Mesir tidak merugikan Islam. Bahkan pembaratan (westernisasi) pun terkadang membawa berkahnya sendiri pada kehidupan di Mesir. la demikian laku di Mesir sehingga banyak sekali pendukungnya.

Salah satu di antara karya-karyanya menceritakan, bahwa pengislaman hukum pidana Mesir tidak diperlukan dalam bentuk ekspresif. Menurut al-Asmawi, hukum pidana Mesir yang berasal dari hukum pidana Napoleon yang dibawakan Prancis sama sahnya dengan syari’ah Islam untuk dipakai. Mengapa? Karena hukum buatan Napoleon itu dalam dirinya telah mengandung unsur-unsur utama dari syariah Islam, yaitu menjadi pencegah/penghambat dan bersifat menghukum (punitif). Setiap hukum yang mengandung dua unsur ini sudah mencukupi kebutuhan suatu bangsa dan tidak perlu dilakukan perombakan dan perubahan. Karena hukum Napoleon sudah ada terlebih dahulu sebelum hukum Islam dirumuskan di Mesir setelah merdeka, maka pengundangan hukum Islam tidak di perlukan lagi karena sudah tertampung oleh hukum Napoleon tersebut.

Kecenderungan yang menang

Manakah di antara ketiga pandangan itu yang akan menang di Mesir? Jawabannya sangat menarik. Kalau kecenderungan pertama yang menang yakni kekuatan birokrasi agama, maka masa depan negeri itu akan sangat didominasi pemerintah dan kehidupan menjadi sangat terkekang. Rakyat menjadi tidak bergairah untuk mengambil inisiatif dan masyarakat akan sangat bergantung pada pemerintah. Berarti bangsa Mesir akan sangat bergantung pada bangsa lain.

Kalau gerakan rakyat yang hanya menyandarkan diri pada ajaran agama formal yang menang juga akan sangat riskan. Karena jika demikian inisiatif untuk melakukan perubahan-perubahan akan berhenti dengan sendirinya karena orang puas dengan formalisme agama saja. Justru formalisme semacam inilah yang mencekam kehidupan umat manusia. Karena atas nama agama dapat mematahkan semua inisiatif ke arah perubahan dan perbaikan.

Formalisme agama akan mematikan kehendak mengadakan persamaan di antara sesama warga negara, mematikan perubahan dan membungkam demokrasi yang bersandar pada perbedaan pendirian. Sebaliknya upaya untuk membuat warga negara bebas di hadapan pemerintah karena persamaan hak di muka undang-undang adalah sesuatu yang ideal.

Karenanya, pemikiran orang seperti al-Asmawi, Abu Zayd, Hassan Hanafi menjadi sangat penting. Bukankah orang-orang seperti mereka yang akan membawa Islam ke masa depan dengan damai dan sarat dengan nuansa kemanusiaan? Apa yang terjadi di Mesir saat ini menjadi pemikiran untuk kita di kemudian hari. Berbagai macam bentuk dan wujud Islam yang sekarang tampil di permukaan negeri ini ternyata menyangkut kaum muslimin di mana pun mereka berada. Cukup meminta perhatian bukan?

Formalisme agama akan mematikan kehendak mengadakan persamaan di antara sesama warga negara, mematikan perubahan dan membungkam demokrasi yang bersandar pada perbedaan pendirian. Sebaliknya upaya yang membuat warga negara bebas di hadapan pemerintah kerena persamaan hak di muka undang-undang adalah sesuatu yang ideal.

Berhadapan dengan birokrasi pemerintah di satu pihak dan formalisme agama oleh masyarakat di pihak lain, maka sejak awal di Mesir lahir kecenderungan untuk menawarkan Islam sebagai agama yang memperjuangkan demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Gerakan ini sering kali menjadi korban dan dianggap sebagai musuh Islam oleh kedua kecenderungan tersebut.