2002: Tahun Harapan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Umumnya, orang melihat tahun 2002 dengan nada yang suram, karena segenap indikator menunjukkan kita belum dapat mengatasi krisis yang dihadapi sekarang ini. Bahkan ada pengamat yang melihat masa depan yang penuh kegelapan, seperti Emha Ainun Nadjib. Baginya, tahun 2002 adalah tahun tanpa harapan dan tanpa perbaikan sama sekali.
Daniel S. Lev tidak mau seperti Emha Ainun Nadjib. Ia mengajukan gagasan, hendaknya kaum muda yang mengambil inisiatif untuk memperbaiki keadaan, tentu mulai tahun 2002 tersebut. Masalahnya, ia sudah tidak percaya pada orang-orang yang lebih tua umurnya yang membuat segala macam sistem yang ada berjalan dengan salah. Jadi, harapan satu-satunya yang tersisa adalah kaum muda–tanpa penjelasan siapa mereka itu? Mereka yang di bawah usia 20 tahun, 30 tahun, 40 tahun, ataukah 50 tahun? Bahkan, dalam sistem politik yang berlaku di Jepang dan RRT, umur di bawah 60 tahun pun masih dianggap kelompok muda.
Jarang yang melihat dengan nada serius, bahwa faktor umur memang penting tetapi tidak menentukan. Harun Alrasyid, salah seorang pakar hukum tata negara kita, yang berumur sekitar 70 tahun justru dengan gigih meminta perubahan Undang-Undang Dasar (UUD). Padahal banyak anggota parlemen yang berusia di bawah 50 tahun yang menolak hal tersebut. Mereka tetap menginginkan status quo, karena hal itu akan tetap menjamin keselamatan harta benda yang mereka peroleh dengan cara-cara yang tidak halal.
***
Lalu, pertanyaannya, apa yang harus kita perbuat? Akankah kita bersikap muram, seperti Emha Ainun Nadjib di atas? Ataukah kita justru mengajukan ajakan-ajakan idealistik, seperti pernyataan Daniel S. Lev itu? Ataukah diam saja berpangku tangan–sebagaimana yang menjadi pendapat mayoritas bangsa kita saat ini?
Tentu saja tidak. Karena, ketiga-tiganya tidak membawakan harapan yang wajar. Ketiga-tiganya merupakan sikap mengalah kepada keadaan. Sungguh, sesuatu yang sangat berbahaya bagi kehidupan kita bersama. Kemuraman sikap dan pendekatan idealistik tidak akan memecahkan masalah karena didasarkan pada sesuatu yang berada di luar diri kita. Sikap untuk tidak bersikap, juga merupakan bagian dari cara untuk memisahkan diri dari kenyataan yang ada.
Karenanya, sikap yang realistik adalah memeriksa kembali milik kita bersama, dan mencari jalan keluar yang dapat kita lakukan bersama. Sikap positif ini justru kita perlukan untuk mengubah keadaan secara bertahap. Kalau dilihat dari sudut ini, rasanya kita masih belum perlu berputus asa.
Ushul fiqh (legal theory Islam) membawakan sebuah adagium “Mâ lâ yudraku kulluh, lâ yutraku julluh” (apa yang tidak tercapai seluruhnya, jangan ditinggal yang terpenting). Dengan pendekatan seperti ini, kita tidak perlu merasa resah jika tidak dapat mewujudkan demokrasi yang ideal di negeri kita dalam waktu cepat. Itu adalah pekerjaan yang belum selesai dalam satu generasi, yang berarti sekitar tiga puluhan tahun.
Yang terpenting, bagi kita, harus memelihara keterbukaan yang telah dicapai. Dan ini sudah terlaksana, yang seharusnya diisi dengan formulasi konsep mengenai apa yang harus kita lakukan, tanpa mencapai kesempurnaan. Kekuatan kita masih cukup besar, baik menyangkut Sumber Daya Manusia (SDM),
kemampuan berorganisasi, kreatifitas budaya, maupun penciptaan pasaran-pasaran bagi produk dalam negeri. Belum lagi kita berbicara administrasi pemerintahan, pola pembangunan yang sudah dijalankan maupun keinginan untuk tetap memelihara keutuhan negara dan integritas wilayah.
Umpamanya saja, dengan melihat peraturan-peraturan yang ada– ekonomi kita selama ini hanya mementingkan usaha-usaha besar belaka. Sementara, kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM), hampir-hampir diabaikan, dengan alokasi anggaran yang sangat kecil. Kalau kita dorong majunya UKM, dengan menyediakan kredit-kredit sangat murah, digabungkan dengan upaya menutup kebocoran dan menekan pungutan-pungutan liar, bukankah berarti kita telah melaksanakan sesuatu yang sangat berharga bagi masa depan kita? Apalagi jika ditambahkan upaya menegakkan hukum sedapat mungkin dan memberantas KKN sebisa mungkin. Bukankah semuanya itu merupakan kerja-kerja mulia yang dapat dilakukan di tahun 2002, tanpa mengharapkan hasil-hasil yang sempurna dan ideal?