Mengendalikan Tapi Kalah
Ulasan Piala Dunia 1994
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pertandingan final Piala Dunia 1994 ternyata merupakan kebalikan dari perkiraan orang. Bukannya permainan menyerang yang tuntas yang dipertontonkan, melainkan serangan setengah hati yang dibiarkan pudar begitu tampak ada resiko serangan balik dari pihak lawan. Kelebihan teknik bermain individual para pemain Brasil dibiarkan tidak tersalurkan secara optimal dalam rangkaian gempuran atas wilayah pertahanan Italia. Sebaliknya, serangan Italia hanya satu dua saja yang berbahaya bagi penjaga gawang Brasil, Taffarel.
Pelatih Brasil, Carlos Alberto Parreira, ternyata tidak mampu melepaskan diri dari “jeratan laba-laba” yang dipasang Arrigo Sacchi, pelatih tim Italia. Sacchi menurunkan tempo permainan dan membiarkan bola berputar-putar di lini tengah belaka, dan terus-menerus diperebutkan oleh para gelandang. Begitu bola berada di kaki pemain tengah Brasil, segera diupayakan oleh para pemain tengah Italia untuk merebutnya. Tujuan taktik ini adalah untuk tidak membiarkan bola dikirim ke depan kepada para penyerang Brasil.
Dengan demikian, upaya mengurangi ketajaman gedoran barisan penyerang Brasil yang terkenal tajam itu dilakukan secara optimal. Sama dengan taktik yang dilakukan Tommy Svensson dalam mengarahkan tim Swedia ketika menghadapi Brasil dalam pertandingan semifinal, walaupun dengan cara yang berbeda. Dengan cara itu barisan tengah Brasil tidak mampu mengirim bola-bola akurat yang dibutuhkan duet penyerang Romario-Bebeto. Tercatat hanya sekali terjadi serangan berbahaya oleh kedua ujung tombak Brasil itu dalam sebuah kerja sama sangat rapi. Itupun gagal membuahkan gol, karena akuratnya penjagaan zonal dari Paolo Maldini.
Cara membuat bola “mogok di lini tengah” adalah cara yang seringkali dipakai dalam pertandingan antara dua buah tim yang berkekuatan seimbang dalam kompetisi seri A Liga Italia. Sangatlah mengherankan, bahwa Sacchi bisa memanfaatkan strategi “positif-tapi-macet” itu secara demikian efektif dalam pertandingan akbar seperti final Piala Dunia. Dan juga sangat mengherankan, bahwa Parreira tidak mampu menembus pola yang menjemukan itu, padahal justru pihak Brasil yang memerlukan dobrakan-dobrakan kreatif. Sebaliknyalah yang terjadi karena pihak Brasil justru memusatkan serangan hanya melalui duet Romario Faria dan Bebeto. Para pemain sayap dan gelandang menyerang seolah-olah dilarang membuat tembakan langsung ke gawang Gianluca Pagliuca.
Dengan demikian menjadi lebih mudahlah Paolo Maldini dan kawan-kawan mematahkan serangan-serangan Brasil. Apalagi Benarrivo lebih berinisiatif mencegat bola-bola yang dikirim dari lini tengah Brasil ke wilayah pertahanan Italia, karena antisipasi Paolo Maldini terhadap terobosan tiba-tiba Bebeto maupun Romario sangatlah besar. Daya jelajahnya yang besar membuat Benarrivo mampu membuat rancu upaya-upaya untuk lebih mengefektifkan kedua ujung tombak ampuh Brasil itu.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam strategi memacetkan serangan lawan yang diterapkan Sacchi itu, tetapi yang mengherankan adalah justru kegagalan Parreira untuk mencari jalan mengatasinya. Besar kemungkinan Parreira tidak berani mengambil resiko terlalu besar dengan mendorong lebih banyak pemain tengah untuk maju ke depan, memasuki wilayah pertahanan Italia.
Yang ditakutinya sudah tentu adalah kemungkinan serangan balik yang tiba-tiba dan efektif dari pihak Italia. Apalagi di ujung tombak ada Roberto Baggio dan Daniel Massaro. Reaksi sangat berhati-hati dari Parreira ini adalah contoh klasik dari psikologi ketakutan (psychology of fear) yang menghinggapi pengambil keputusan di bidang apapun, di saat-saat menghadapi situasi kritis. Berarti Sacchi mampu mengendalikan cara berpikir Parreira, di samping tim asuhannya mampu menerapkan pola “penjenuhan lapangan tengah” atas tim Brasil.
Hilangnya peluang mengembangkan kreativitas individual itu karena sikap mental pasif yang diterapkan Parreira untuk meredam ancaman Italia sangat mempengaruhi penampilan para pemain Brasil, terutama kedua ujung tombak Romario- Bebeto dan para gelandang menyerang seperti Mazinho dan Dunga. Apalagi sebagai pembagi bola, Dunga tidak berusaha menyerang sendiri dengan berperan sebagai second striker. Kalau saja Rai yang dipasang mungkin hal itu dilakukannya dan serangan Brasil akan menjadi lebih hidup.
***
PADA sisi inilah tampak juga kurangnya keberanian Parreira untuk memperhitungkan faktor penampilan Roberto Baggio. Penyerang top itu sedang berada di bawah form, karena cidera yang dideritanya. Mestinya hal itu telah terlihat oleh Parreira dan para pemain tengah Brasil pada perempat terakhir pertandingan didorong agak lebih maju sedikit ke depan. Bukannya dengan menggantikan Mazinho dengan Viola.
Sebagai penggiring bola, pemain muda ini memang memikat dengan giringan-giringan (dribbles) cantiknya. Tetapi yang mampu menembakkan bola secara tiba-tiba? Dan itu berarti Rai yang harus dipasang, bukannya Viola. Di pihak lain, pengendalian Sacchi atas tempo pertandingan juga tidak berguna banyak bagi tim Italia. Berbeda dengan pengendalian tempo permainan oleh tim Swedia ketika menghadapi Brasil yang menghasilkan serangan-serangan balik cukup berbahaya bagi gawang lawan. Bedanya adalah pada peranan Tomas Brolin yang berani maju ke depan mendampingi dua ujung tombak Martin Dahlin dan Kennet Andersson. Seharusnya Sacchi bisa melakukan hal yang sama, dengan mendorong Dino Baggio untuk melapis serangan-serangan Roberto Baggio dan Daniele Massaro, sebagai second striker. Sayang hal itu tidak dilakukan, sehingga serangan-serangan Italia menjadi tumpul.
Keengganan Sacchi untuk menuntaskan pola serangan Italia tentu juga timbul dari ketakutannya sendiri akan akselerasi tiba-tiba yang dahsyat dari Romario-Bebeto. Jelas dari yang diuraikan di atas betapa kedua pelatih lebih dicengkam oleh ketakutan masing-masing kelangsungan pola “penjenuhan lapangan tengah” oleh Italia itu.
“Salah satu teka-teki yang sulit dijawab dalam dunia sepak bola adalah mengapa seorang pelatih sekaligus seorang pengatur strategi, dengan kecenderungan-kecenderungan menyerang dapat saja tiba-tiba menjadi begitu defensif.”
Walaupun qua teknik permainan individual jalannya pertandingan tetap mengasyikkan, tapi qua strategi sepak bola jalannya pertandingan menunjukkan turunnya mutu permainan final sebuah pesta akbar seperti piala dunia. Apalagi masih ditambah oleh sikap super hati-hati Sacchi yang secara konvensional menetapkan kapten kesebelasan sebagai algojo pertama dalam tahap adu penalti.
Franco Baresi jelas tidak berada dalam keadaan fit untuk sepenuhnya siap melaksanakan tembakan maut. Begitu juga dengan Roberto Baggio yang kaki kanannya penuh ditempeli plaster akibat cidera dalam pertandingan semifinal. Beberapa peluang Italia untuk memasukkan bola gagal dimanfaatkan Roberto Baggio, karena kebetulan bola tiba di saat kaki kanannya itu yang bebas. Tembakan dengan kaki sakit itu tampak lemah sekali dan tidak tepat arah seperti dikehendaki penembaknya sendiri.
Heran sekali bukannya penembak ulung lain yang tugasi Sacchi untuk menjadi algojo, melainkan justru Roberto Baggio yang sedang tidak fit seperti itu. Jelas itu karena kecenderungan seorang pengambil keputusan yang lebih menekankan cara konvensional daripada cara inovatif dalam menghadapi saat- saat kritis.
Salah satu teka-teki yang sulit dijawab dalam dunia sepak bola adalah mengapa seorang pelatih sekaligus seorang pengatur strategi, dengan kecenderungan-kecenderungan menyerang dapat saja tiba-tiba menjadi begitu defensif, seperti dibuktikan Parreira dan Sacchi dalam pertandingan final Piala Dunia 1994? Dan mengapakah pelatih “jago bertahan” seperti Tommy Svensson dari Swedia dapat tiba-tiba menyusun strategi serangan balik yang efektif.
Hal yang sama terjadi pada Herera, pelatih Italia dan pencipta sistem “pertahanan tembok” (catenaccio) yang terkenal sekitar dua dasawarsa yang lalu. Bahwa Svensson dapat menerapkan arus serangan balik dalam frekuensi lebih tinggi, tetapi tetap mengambil dari “hal yang dicontohkan” Herera itu, merupakan sebuah perkembangan positif bagi sepak bola dunia. Sedangkan mundurnya Parreira dan Sacchi dari pola serangan bergelombang yang tuntas, justru merupakan perkembangan negatif.