Jangan Pakai Islam Sebagai Bendera (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tampakknya, angin politik akhir-akhir ini sedang mengarah pada K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur itu. Sejak bertemu dan bersalaman secara akrab dengan Pak Harto di Genggong (Probolinggol awal Oktober silam, cucu pendiri NU Hadratusysyaikh K.H. Hasyim Asy’ari itu memang seperti diburu peristiwa penting. November lalu, umpamanya. Ketua Umum tanfidziyah PBNU itu bertemu dengan Kasad R. Hartono di Pondok Pesantren Salafiyah Asy-Syafi’iyah Asembagus Situbondo. Awal Desember ini, Gus Dur bertemu dengan pucuk pimpinan Muhammadiyah, Dr. Amien Rais.
Bahkan, kini ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengatur agar terjadi pertemuan antara Gus Dur dengan B.J.Habibie. Apa yang sebenarnya terjadi dengan rentetan peristiwa itu? Untuk mengetahui hal itu lebih jauh, ikutilah petikan wawancara Anang Aenal Yaqin dan Hening Parlan dari TIRAS dengan tokoh NU itu.
Menurut Anda, apa makna penting dari pertemuan di Masjid Sunda Kelapa itu?
Ya, biasa saja. Pertemuan itu penting dalam artian simbolis. Ini karena memang ada keinginan banyak orang menjadi terpenuhi. Keinginan melihat bahwa gerakan Islam itu bisa bersatu. Sudah. jangan diartikan lebih dari itu. Memang. di lain pihak, sebenarnya ada kebutuhan untuk menampilkan identitas keislaman secara kolektif, dan itu hanya bisa kalau kita bersatu. Tapi, bersatu itu tidak perlu secara fisik. Saya menolak itu karena kita sebagai umat Islam sudah punya identitas(masing-masing). Karena itu, kita perlu memberikan peringatan bahwa keinginan bersatu sih sah-sah saja, kenapa tidak. Tapi jangan terlalu mempersatukan. Sebab, mempersatukan orang terlalu jauh akan terjadi rezimentasi atau mobilisasi. Kalau sudah demikian, variasinya akan hilang. Yang ada kemudian adalah standarisasi. Nah, kalau demikian, maka Islam sangat rugi.
Apa yang sebenarnya terjadi, setelah pertemuan Anda dengan pak Harto di Genggong, lantas ada pertemuan Anda dengan Kasad. R. Hartono di Asembagus. Kemudian, Anda bertemu dengan Amien Rais bahkan ada rencana bertemu dengan B.J. Habibie.
Ndak usah heran, Iha wong saya tidak ada urusan dengan itu semua. Mereka itu kan tidak tahu saja bahwa sebetulnya komunikasi saya dan Pak Harto jalan terus. Apa yang menjadi kehendak beliau kita tahu. Dan apa yang menjadi pemikiran kita, beliau tahu juga. Kalau ada yang menganggap Pak Harto itu memusuhi saya atau apa, wah itu sangat merendahkan beliau. Dan yang menimbulkan kesan seperti itu. adalah orang-orang yang berusaha menjatuhkan saya. Kemudian melihat, Pak Harto itu memusuhi saya Itu namanya merendahkan Pak Harto.
Setujukah Anda dengan posisi umat Islam yang mayoritas lalu dijadikan semacam “politik representasi” di lembaga-lembaga politik resmi?
Islam itu apa dan Islam yang mana. Permadi itu juga Islam, Islam yang mana dulu. Pendapat tentang representasi Islam itu tidak cocok dengan kenyataan.
Ceramah Anda di Masjid Sunda Kelapa menyebut-nyebut soal kengerian sebagai akibat bila terjadi institusionalisasi kelompok-kelompok Islam. Bisa dijelaskan?
Lho.. Iha ya. Makanya, pertemuan di Masjid Sunda Kelapa itu, saya katakan, jangan dibaca lebih dari itu. Pertemuan itu simbolis sekali karena kalau mau dikonkretkan akan ada gerakan besar sekali, ngeri. Nah, rezimentasi itu adalah cara yang dilakukan oleh sejumlah tokoh untuk mencapai apa yang dinamakan persatuan tadi. Dan persatuan itu diukur dengan persamaan pendapat dan langkah. Ya, saya pikir tidak perlu begitu.
Apakah ini semacam akibat dari kekhawatiran umat Islam terhadap pihak lain?
Jadi begini ya, masih banyak para penganjur agama kita, entah kiai atau ulama, yang selalu menekankan perbedaan antara Islam dengan non-Islam dan kemudian curiga pada pengikut agama-agama lain, bahkan merendahkan agama lain. Cara seperti inilah yang mengakibatkan kondisi seperti sekarang ini. Ada Kasus Situbondo, Bekasi, bahkan ada 200 gereja dibakar dalam waktu lima tahun terakhir. Nah, ini bukan kondisi bangsa yang sehat. Nabi sendiri tidak pernah memusuhi gereja. Jadi, dengan kata lain, kita sedang menghadapi krisis intern dalam pembangunan karena tak ada kesatuan pandangan dalam melihat agama lain.
Bagaimana cara memperbaikinya?
Ini proses yang makan waktu dan harus diusahakan dengan sungguh-sungguh. Untuk itulah saya memberikan perhatian yang sangat besar kepada umat non-muslim dalam upaya membina hubungan baik dengan agama-agama lain. Bukan karena apa-apa, tapi karena potensi perpecahan itu sangat besar. Kadang-kadang, cara ini (sikap bermusuhan terhadap agama lain itu — Red) juga dianjurkan oleh kiai-kiai lain. Bahkan, sampai ada yang berpidato begini: “Agama apa yang Tuhannya pakai kancut (celana dalam — Red) doang”. Nah, cara itu kan nggak benar. Makanya, kita harus membersihkan diri. Makanya, saya mulai dari hal yang paling berat. Yaitu, bergaul dengan orang-orang lain secara tulus.
Tapi cara itu yang justru menimbulkan kesan seolah-olah Anda lebih dekat dengan kalangan non-muslim ketimbang dengan kalangan Islam sendiri–dan cara seperti itu banyak dipertanyakan umat seperti yang dipertanyakan Yusril Ihza Mahendra di Masjid Sunda Kelapa itu. Komentar Anda?
Saya ini setiap pengajian ada puluhan ribu yang hadir. Misalnya di Situbondo mobil antre sampai 5 km, di Trenggalek truknya lebih dari 100. Seluruh muspidanya lengkap. Namun, tak ada pertanyaan seperti yang dikemukakan oleh Yusril itu. Rakyat itu sudah sejak dulu berdamai yang ribut itu pemimpinnya. Masyarakat itu sudah menerima bahwa “amal perbuatan kami adalah perbuatan kami, amal perbuatan kamu adalah perbuatanmu.”
Artinya, orang hanya menerima akibat yang baik dari apa yang diperbuat itu baik atau sebaliknya. Jadi, yang disebut umat itu yang mana. Yang ribut atau yang tenang-tenang saja?
Jadi Anda mau bilang ada pihak-pihak yang sengaja mau memanfaatkan umat?
Lha... itu yang saya katakan umat sebagai bendera. Makanya, jangan pakai Islam sebagai bendera.
Menurut Anda seberapa besar upaya mempolitisasi umat itu?
Arusnya cukup besar. Arusnya gede, ya munculnya orang seperti Yusril Ihza Mahendra itu. Yang cari permusuhan pada tiap orang.
Apakah upaya itu terlihat jelas, ketika ada upaya mempertemukan Gus Dur dengan B.J. Habible?
Nggak. Tak ada urusan dengan hal itu.
Apa benar yang bilang rencana pertemuan itu sudah direstui Rais Am Syuriah PBNU, K.H. Ilyas Ruchiyat?
Pertemuan saya dengan Pak Habibie itu sulit diatur. Beliau (K.H. Ilyas Ruchiyat —Red) mengusulkan agar pertemuan itu diadakan, sehingga sebagai orangtua beliau tak disalahkan. Tapi kalau tanya pada Wakil Rais Am (K.H. Sahal Machfud–Red.), beliau sudah menjawab bahwa pertemuan itu belum diperlukan.
Tapi umat Islam itu kan potensial sekali. Kalau Anda bisa bertemu dengan B.J. Habibie kan baik?
Potensi umat (Islam–Red.) itu letaknya pada potensi bangsa. Jangan dipisah. Islam itu potensi bangsa.
Kalau massa NU sendiri sebenarnya bagaimana?
Baik-baik saja. Tak ada masalah. Memang ada sih yang tak setuju dengan cara saya. Tapi itu, saya kira, tidak mempunyai pengaruh karena sejak dulu warga NU itu sudah berdampingan secara damai. Karena banyak juga orang NU yang hidup satu kampung dengan orang Cina. Dan kalau ada orang Cina biasanya ada Kong Hu Cu. Jadi, tidak hanya saya yang bergaul dengan orang non muslim. Pak Harto juga bergaul dengan semua orang ABRI itu dari awal tak pernah membedakan siapa-siapa. Dan ABRI yang Saptamargais adalah mereka yang mengunggulkan kemampuan, bukan agama atau etnisnya.
Anda dengan Amien Rais itu banyak dipersepsikan berbeda atau memang berbeda sendiri sejak awalnya?
Ya, tentu, namanya orang itu ada bedanya. Tapi ngapain sih kita ribut-ribut soal perbedaan, wong persamaannya cukup besar kok. Saya juga heran ha ha. kok orang pada ribut. Lha wong saya dengan Mas Amien itu dari dulu baik. Ya, kayak kemarinlah (pertemuan di Masjid Sunda Kelapa — Red.). Apa dipikir hanya baik kemarin begitu, ya nggak. Sejak dulu sudah baik. Jadi, orang beda pendapat itu bukan berarti kita bermusuhan.
Kalau dipersentase perbedaan Anda dengan Amien Rais itu lebih banyak mana?
Ya, banyak persamaannya. Dari awalnya saja sudah sama. Kemarin itu kan Mas Amien sudah ngomong bahwa tugas Muhammadiyah itu amar ma’ruf nahi munkar. Kalau strategi perjuangan umat, itu bisa berbeda. Tapi dilihat dari dasarnya saja kan sudah sama. Berangkatnya dari tauhid.
Dalam pertemuan Sunda Kelapa. Amien Rais berbicara soal kesenjangan ekonomi antara umat Islam yang mayoritas ternyata hanya menguasai potensi ekonomi sebesar 0,2% dibanding dengan kalangan non-Islam, apakah Anda punya komentar?
Saya berbicara soal seperti itu sudah 20 tahun yang lalu. Sekarang saya tak perlu lagi berbicara begitu, lantaran sudah ada yang berbicara. Sekarang saya lebih banyak bicara soal toleransi dalam masyarakat yang heterogen. Kalau ada perbedaan pembicaraan antara saya dengan Yusril Ihza mahendra, ya karena perbedaan umur saja. Yusril baru berapa tahun, saya sudah cukup tua. Saya juga mengikuti pembicaraan pak Harto, Bung Karno.
Setujukah dengan pendapat bahwa Anda berjuang dari bawah sementara Amien Rais dari atas?
Bagaimana ya itu saya pikir tidak adil. Sebab Muhammadiyah itu kelompok yang bekerja di lapangan. Misalnya, punya toko, mendirikan sekolahan dan lain sebagainya. Kenapa sekarang ini banyak LSM radikal, yang ternyata itu adalah anak dari para pedagang kecil warga Muhammadiyah yang digusur oleh proses pembangunan yang terkonsentrasi seperti sekarang gini. Jadi, kalau ada yang bilang bahwa Muhammadiyah itu gerakan arus atas, menurut saya, itu salah.
Kalau menggolongkan perjuangan NU dengan arus bawah bagaimana?
Itu seolah-seolah bahwa orang NU itu tak ada yang di pemerintahan. Anda tidak tahu ya ABRI yang berbintang itu, entah yang sudah purnawirawan atau masih aktif, banyak yang dari kalangan NU.