Lain Tingkatan, Berbeda Cara

Sumber Foto: https://aviacionaldia.com/en/2023/05/garuda-indonesia-and-singapore-airlines-plan-to-set-up-a-joint-venture.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kalau naik pesawat terbang jalur internasional, kita akan melihat perbedaan maskapai penerbangan masing-masing. Jika menumpang pesawat terbang SIA (maskapai penerbangan milik Singapura) kita langsung merasakan adanya efisiensi dalam pengelolaannya. Sedangkan para penumpang, hampir seluruhnya terdiri dari para usahawan dan orang-orang bisnis. Kita tidak mendengar orang tertawa terbahak-bahak, juga tidak mendengar suara anak menangis, baik dalam pesawat terbang maupun saat turun di airport dari pesawat terbang. Walhasil, suasana hening, karena di kalangan para penumpang tidak ada yang membawa anak-anak. Suasana dibuat menjadi demikian hening, sebagai penghormatan terhadap para penumpang yang segera akan menunaikan tugas bisnis di darat, segera setelah pesawat terbang sampai di tempat tujuan. Karena situasi hening dan efisien itu pernah ada orang menjuluki SIA sebagai “safe but unhuman airlines”.

Mengapa SIA dianggap safe but unhuman, suatu sebutan yang tidak manis? Karena para penumpangnya banyak yang melanggar aturan penerbangan, maka “dibetulkan” oleh para awak kapal. Dalam hal ini, para karyawan dari sebuah Universitas melihat upaya perbaikan yang serius, tapi terasa tidak manusiawi. Namun, hal itu tidak penting sekali, karena bagaimanapun juga harus memenuhi tiga hal berikut; kenyamanan, keselamatan dan ketepatan waktu. Dalam hal ini, maskapai itu boleh dikatakan tidak tertandingi oleh siapapun. Suasana bisnis-flight dijaga dan ini akhirnya menghasilkan sesuatu yang sangat kongret, suasana bisnis yang menjiwai seluruh penerbangannya. Apabila ada orang lain menumpang penerbangannya ke manapun juga, tentu akan menyesuaikan diri kepada suasana tersebut. Tenang dan sepi, terasa penuh dengan kompetisi/kebolehan teknis yang tuntas dan rasa aman sampai di tempat tujuan, merupakan ciri utama penerbangan itu.

Suasana seperti itu, juga tampak di airport Singapura, Changi. Sunyi senyap, tidak terdengar orang tertawa tergelak-gelak, namun kita tahu bahwa efisiensi kerja adalah mottonya. Airport tidak terlalu besar, tapi kemudahan mengurus segala sesuatu dengan sangat cepat terasa menjadi intinya. Terasa bahwa, pelayanan dibuat se-efisien mungkin, guna secepat-cepatnya orang yang akan bepergian segera naik pesawat terbang ke tempat tujuan, dan penumpang yang turun segera sampai di kota dengan meninggalkan airport dalam waktu sangat cepat. Ini tentu menghendaki tidak hanya kerja optimal tiap-tiap bagian dari maskapai penerbangan itu dan dari otoritas airport, melainkan juga koordinasi yang sangat rapi antara berbagai komponen yang terlihat dalam kerja. Menerbangkan, memelihara dan mendaratkan dengan baik segala macam jenis pesawat yang dimiliki maskapai penerbangan tersebut.

*****

Lain hal-nya dengan MAS (Malaysian Air System). Maskapai ini lebih mengutamakan suasana comfort (menyenangkan) para penumpang yang diterbangkannya. Karena itu, banyak sekali para penumpang yang terbang dengan keluarga mereka. Ini berarti banyak anak-anak di bawah umur yang menjadi para penumpang, dan dengan sendirinya suasana dalam pesawat terbang juga menjadi berubah secara keseluruhan. Awak kapal terasa lebih ramah dan lebih mudah diajak tertawa, bercakap-cakap ataupun bertukar cerita jenaka. Ditambah dengan makanan khas melayu, penerbangan menjadi sangat menyenangkan, walaupun efisiensi semakin kurang terasa, bila dibandingkan dengan maskapai penerbangan sebelumnya. Tetapi suasana lebih terasa melayani keluarga secara keseluruhan, walaupun menjadi terasa tidak business like.

Memang, dalam penerbangan maskapai ini, lebih banyak kita dapati anak-anak yang terbang bersama keluarga mereka. ini sudah terasa sejak kita berada di lapangan terbang yang baru, lebih kurang 120 km dari Ibu kota Kuala Lumpur. Suasana tangis anak-anak, bercampur dengan suara tawa lepas dari orang tua mereka serta suara teriakan dari mereka yang melihat teman dekat atau keluarga sendiri dari jarak jauh. Teriakan memanggil teman atau saudara itu menggema di ruangan airport yang tidak kalah canggih dan efisien dari lapangan terbang Changi di Singapura. Tetapi, pegawai imigrasi atau pegawai lain dari airport, lebih mudah diajak bercakap dan tertawa. Inilah yang membedakannya dari lapangan terbang Changi itu. Kedua-duanya sama-sama modern, tetapi seutuhnya berbeda satu dari yang lain.

Terasa besar beda antara kedua maskapai penerbangan itu. Pada maskapai pertama, segala sesuatu terasa sangat business like (hanya melayani kaum usahawan). Efisiensi merupakan ukuran utama, dengan tidak mengorbankan kenyamanan dan keselamatan Sementara pada maskapai kedua, suasana kekeluargaan lebih terasa, baik dalam pelayanan maupun dalam rutinitas lain. Sebagai akibat, para penumpang seperti tidak mengendalikan diri, dan dapat tertawa lepas maupun berteriak. Inilah gambaran bangsa melayu, yang lebih memperhatikan aspek kekeluargaan dalam kehidupan mereka sehari-hari dibandingkan aspek bisnis. Ternyata, hal itu “melimbah” ke dalam cara kedua maskapai penerbangan itu mengatur dan melaksanakan pelayanan.

*****

Lain halnya dengan maskapai Garuda Indonesia Airways (GIA). Maskapai ini tampak belum menemukan “semangat” melayani penumpang dan mengatur penerbangan secara jelas. Kita tidak merasakan apakah di dalamnya terasa adanya tekanan pada keluarga maupun pada usahawan. Kita bahkan tidak tahu apakah ada standard yang jelas pada penerbangan demi penerbangan yang diselenggarakan maskapai ini. Kesan ini juga kita rasakan pada waktu berada di airport Cengkareng, kecuali bahwa tidak ada standard yang jelas tentang pelayanan maupun keselamatan penumpang. Karena itu, para penumpang tidak merasa dilayani dengan aturan tertentu, masing-masing terserah pada awak kapal (air crew) maupun tenaga di darat (ground crew). Kita dapati ada yang ramah pada para penumpang, tetapi ada pula yang “galak” terhadap mereka. Kelangkaan inilah yang yang menjadi ciri khas cara kerja maskapai ini.

Terasa, segala-segalanya tergantung pada para penumpang, apakah mereka para pejabat atau bukan. Kalau pejabat, dilayani dengan sangat manis dan penuh perhatian, tapi kalau bukan, tentu saja tidak dilayani seperti itu, dan di sinilah mulai terasa ada perbedaan. Sama-sama penumpang, dilayani secara berbeda oleh awak pesawat ataupun oleh petugas lapangan. Tentu saja, sebenarnya hal semacam itu tidak terjadi, hal itu berlangsung karena kelangkaan standard pelayanan kepada para penumpang. Hal inilah yang perlu diperbaiki pada maskapai penerbangan nasional kita tersebut. Sebuah sikap untuk lebih mengutamakan penyelesaian krisis keuangan yang dihadapi sekarang, memang dapat dimengerti. Demikian juga besarnya ongkos yang dipikul maskapai, karena mark-up yang dibebankan atasnya menjadikannya sesuatu yang tidak menguntungkan dan dapat dipahami oleh akal yang sehat. Tetapi, dalam jangka panjang “budaya” dari maskapai itu, yang tercermin dalam cara melayani penumpang dan pemenuhan kebutuhan mereka selama dan sesampai di darat, serta ketika berada dalam pesawat, harus jelas apa orientasinya.

Jelas dari perbandingan antara ketiga maskapai penerbangan se-kawasan itu, bahwa “budaya usaha” (corporate culture) sangat berbeda satu dari yang lain. Yang satu mengutamakan efisiensi dan melayani serta mengembangkan semangat usaha (business like sphere). Yang kedua, mengutamakan kedekatan para penumpang dengan dunia mereka, termasuk “semangat kekeluargaan” dengan tawa lepas, tangis anak-anak dan obrolan awak kapal. Sedangkan satunya lagi, yaitu Garuda, belum terlihat apa yang dikembangkannya dalam melayani penumpang maupun pengaturan keberangkatan dan kedatangan pesawat-pesawatnya. Memang sulit mengembangkan “semangat” pelayanan di darat dan di udara, terutama jika kita terus menerus dihantui hutang-hutang besar dan mark-up dalam pengelolaan maskapai. Namun “budaya usaha” (corporate culture) harus ada dalam mengemudikan maskapai yang kita kelola. Garuda adalah usaha komersiil, karenanya ia juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dunia usaha bagi seluruh maskapai. Mudah diucapkan, namun sulit dilaksanakan , bukan?