Kesabaran dan Kemurahan Hati
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kitab suci Al-Qur’an mengandung puluhan ayat yang mengajak dan memerintahkan kaum muslimin untuk bersikap sabar. Ayat terkenal sangat banyak jumlahnya, antara lain seperti “Demi masa. Manusia senantiasa dalam kerugian kecuali mereka yang beriman, beramal shaleh, mengajak kepada kebenaran dan menyerukan kesabaran“ (wal as’hri inna al-insana la-fii khusrin illa al-ladzina ammanu wa’a’millu al-Sholihati wa tawa shu bil al-haqqi wa tawashu bi al shabri) jelas dari bunyi ayat, betapa besar tekanan diberikan atas kesabaran bagi kaum muslimin. Karena itu, mereka tidak boleh menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah apapun. Semuanya harus dilakukan dengan negosiasi, seperti firman Allah: (Wa Amruhun syura Bainahum). Kebenaran ini tetap tegak berdiri, walaupun kaum muslimin sering melupakannya.
Satu-satunya peluang bagi mereka untuk menggunakan kekerasan, dalam hal yang bersifat pribadi adalah “pengusiran dari tempat tinggal mereka“ (Idza ukhriju min diyarihim). Hal ini diimbangi oleh keharusan taat kepada pemerintah. Kaum suni tradisional mempunyai adagium sendiri untuk hal ini. “penguasa lalim (yang memerintah) 60 tahun, masih lebih baik daripada anarki sesaat” (imamun fajirun sittinah khoirun min faudha sa’atin). Dalam hal ini, musyawarah memegang arti penting bagi manusia dalam menyelesaikan sengketa antara mereka. Tetapi, kecenderungan manusia untuk berperan dan menggunakan kekerasan masih ada, dan kelihatannya diturunkan kepada negara-negara adikuasa. Adalah kewajiban kita untuk melestarikan penyelesaian masalah dengan perundingan seperti ajaran dalam istilah satyagraha yang diajarkan oleh moralis India yang sangat besar, Mahatma Gandhi.
Kata Von Clausewitz, seorang teoritisi perang dari Jerman abad yang lalu, perang adalah penerusan perundingan untuk sementara waktu, sedangkan diplomasi adalah cara menyelesaikannya tanpa peperangan. Dengan demikian, antara penggunaan kekerasan dan kemampuan bernegosiasi, terdapat hubungan kualitas yang jelas, saling mendukung dan saling menyempurnakan. Tentu saja hal ini kita lakukan dalam lingkup pemikiran. Sikap memanfaatkan negosiasi, jauh lebih penting dari pada penggunaan kekerasan terutama dalam suasana saling curiga seperti pada saat ini. Rasa saling mencurigai itu timbul karena kita kehilangan sikap bernegosiasi, dan menganggap setiap upaya berunding sebagai kelemahan yang merugikan.
*****
Pedekatan bernegosiasi untuk menyelesaikan masalah, menghendaki pemeliharaan sistim budaya di manapun juga. Kita harus pandai untuk membesarkan budaya, tanpa mengucilkan arti pihak lain. Yang harus dijaga, janganlah kebanggaan kelompok justru merusak kebersamaan kita. Dengan demikian, kita harus membesarkan manifestasi budaya yang kita miliki dan tidak mudah merubahnya menjadi sesuatu yang bersifat politis.
Penulis mengijinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di lingkungan bangsa dan tanah Papua, karena tahu kalau hal itu bersifat budaya. Memang benar OPM (Organisasi Papua Merdeka) menjadikannya sebagai bendera politik, tetapi jumlah yang berpandangan demikian sangatlah kecil. Di tanah Papua sendiri, saudara-saudara bangsa Papua menganggapnya sebagai bendera budaya, sama saja kedudukanya dengan bendera propinsi atau bendera club sepak bola.
Karena itu, sangat mengejutkan ketika kalangan pemerintah melarang untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora. Berarti pemerintah berhasil ditakut-takuti oleh OPM, dan menganggapnya sebagai bendera politik. Secara tidak langsung, ini adalah pengakuan bahwa OPM bertambah besar, sebuah hal yang implikasinya tidak disadari oleh pihak pemerintah. Tuntutan OPM akan semakin luas dan harus dihadapi dengan penggunaan kekerasan pula. Penulis masih yakin keadaan sebenarnya tidaklah demikian. Bangsa Papua, sebagaimana suku-suku bangsa lain di tanah air kita, masih percaya pada keutuhan teritorial kita sebagai bangsa, selama kesatuan itu digunakan untuk mematangkan budaya dan adat istiadat kita. Sedangkan pengguna kekerasan adalah bagian dari sikap politis, yang belum tentu menguntungkan pemerintah di pusat, dengan tidak memperhitungkan tingginya keragaman budaya bangsa kita.
Dalam kerangka inilah yang harus kita pahami maksud kitab suci Al-Qur’an: “(Kullu hisbin bima laelahi Farihin)” setiap kelompok bersikap bangga atas apa yang dimilikinya “kebanggannya yang merendahkan orang lain” (Xenophobia) adalah sesuatu yang justru dikecam dan ditolak oleh Islam. Itu tidak lain adalah sikap eksklusif, yang tidak menghargai orang lain. Sikap eksklusif itu, sebagaimana dibuktikan oleh sejarah, menjadi pangkal bencana bagi masyarakat apapun, di kawasan manapun di dunia ini. Karenanya, kita harus berani melakukan koreksi atas apa yang terjadi di pulau Irian dikalangan bangsa Papua dan memberikan corak khusus yang kita hendaki atas tanah Papua.
*****
Bagaimana kita memelihara keragaman budaya itu? Caranya adalah dengan mengadakan penafsiran-penafsiran baru pada tiap ajaran. Sesuatu yang kita kehendaki tentunya tidak dapat langsung dirasakan. Sejarah Islam penuh dengan upaya penafsira kembali (re-interprestasi). Nahdlatul Ulama merumuskan dalam hal ini kode etik berikut: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, menggunakan hal-hal yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hal-hal lebih baik dari sesuatu yang baru“ (al-muhafazatu a’lla al-iqodim al-sholih wa al-akhdzu fi al-zadid al-ashlah). Kalau adagium ini kita pakai sebagai pegangan, malah kita tidak akan mengikuti sikap “garis keras” yang oleh penganutnya dianggap sebagai “kebenaran”.
Dengan cara mempertahankan keragaman penafsiran, kita dapat menghargai bentuk-bentuk budaya yang sangat beragam. Dengan demikian, kita tidak bersikap garang, sikap yang oleh umat beragama lain dianggap sebagai ciri “Islam moderat”. Sikap inilah yang pada umumnya dianggap sebagai inti ajaran Islam, yang oleh mereka dinamakan “Islam yang benar”. Sikap moderat ini tidak berarti, lalu menganggap mereka benar dan apa yang ada pada diri kita adalah sesuatu yang salah, melainkan sekedar untuk menunjukan bahwa orang lain juga memiliki kebenaran, dan kita memiliki kekurangan bukanlah yang sempurna dalam kehidupan ini, Dialah Allah semata.
Al-Qur’an sendiri mengatakan: “Dan tidak ada yang tunggal (sempurna), kecuali kehadiran Allah belaka” (wa-lamyadqa illa wajhah). Kita tidak boleh melakukan monopoli dalam bentuk apapun termasuk monopoli atas kebenaran. Kebenaran hanya pada Allah, karena Ia adalah Dzat yang sempurna. Kesempurnaan-Nya adalah sesuatu yang abadi, yang tidak menerima penafsiran yang diulang-ulang. Mungkin berbeda perumusannya dari waktu ke waktu dalam masyarakat yang berbeda, tetapi inti dan hakekatnya tetap abadi tanpa ada perubahan. Jika kita memahami hal ini, kita tidak akan mengenal ekstrimisme dalam bentuk apapun. Hal ini merupakan kesadaran kita, memang belum merata, dimengerti oleh kaum muslimin. Inilah yang mengakibatkan terjadinya konflik menggunakan kekerasan dari kaum muslimin di mana-mana saat ini. Prinsip yang sebenarnya sangat sederhana dan mudah dimengerti, namun pelaksanaannya sulit bukan?