Nu Dan Capres
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Akhir-akhir ini penulis sering diberitahu teman-teman, bahwa Kyai Hasyim Muzadi telah membentuk berbagai “Tim Sukses” untuk memenangkan pencalonan sebagai Presiden/ Wakil Presiden RI tahun 2004 nanti. Bahkan salah seorang teman menyatakan, beliau dan sejumlah Kyai di Jawa Tengah sangat gelisah dengan hal itu. Ketika penulis menanyakan apa pendapat teman itu sendiri, ia menjawab akan sowan kepada Kyai Abdullah Faqih di Langitan, Widang (Tuban). Penulis langsung menyatakan, kalau kesampaian jadi ke Langitan, harap disampaikan kepada beliau permintaan saya, agar Pak Hasyim diberitahu saya tidak keberatan ia menjadi Capres/Cawapres. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang kita gunakan saat ini, ia mempunyai hak untuk itu.
Di lain kesempatan, ketika ditanya para wartawan di Hotel Kartika Chandra (Jakarta), apa pendapatnya tentang upaya tokoh tersebut untuk menjadi Capres/Cawapres tahun depan, penulis menjawab kalau pak Hasyim berkeinginan menjadi Capres/Cawapres, ia harus berhenti dari jabatan Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Karena itu adalah jabatan harian yang tidak dapat dirangkap dengan pencalonan kepresidenan atau wakil presidenan. Tidak lama kemudian penulis mendengar ucapan tokoh kita itu, bahwa ia tidak mencari pencalonan tersebut. Tentu saja pernyataan itu menimbulkan tanda tanya, apa sebenarnya yang terjadi? Beritanya tetap santer, tokoh tersebut akan menjadi Capres/Cawapres, tetapi ia sendiri membantahnya sedangkan beberapa tim suksesnya tetap saja bekerja seperti sedia kala.
Apakah artinya ini? Dalam benak penulis tampak jelas, bahwa tokoh ini tidak mencari pencalonan. Tetapi, tentunya ia tidak keberatan, jika “digandeng” oleh seorang tokoh lain untuk menjadi calon. Dengan demikian, ia tidak aktif mencari pencalonan, melainkan juga tidak mau menutup kemungkinan untuk itu. Apalagi ia memang dihubungi oleh berbagai calon, yang saat ini memimpin berbagai gerakan massa dan yang nama-nama mereka di sebutkan menjadi Capres/Cawapres. Karena itulah, penulis menyatakan Pak Hasyim memiliki peluang dan hak secara konstitusional untuk menjadi Capres/Cawapres. Ini perlu menjadi perhatian serius bagi semua warga NU, tanpa pandang bulu, kalau ini kita lupakan, kita akan menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar negara kita.
*****
Dalam melakukan peninjauan lebih mendalam lagi, akan tampak bagi kita semua bahwa permintaan penulis agar Pak Hasyim memperoleh hak konstitusional menjadi Capres/Cawapres tetapi harus keluar dari jabatan harian PBNU. Sebabnya, karena NU bukanlah organisasi utnuk mengurusi ambisi pribadi akan jabatan-jabatan politik praktis di negeri ini. Tetapi NU berkewajiban menjalankan fungsi “politik inspirasional” yang tidak dapat dicampur-campur dengan “politik praktis”. Karena itulah, NU tidak memiliki hubungan organisatoris denga pihak-pihak yang mempunyai fungsi politik praktis, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Tetapi sebagai bagian dari gerakan Islam, NU lah yang melahirkan PKB. Artinya NU memiliki hubungan kesejarahan budaya, dan pendidikan yang erat dengan PKB. Hubungan kesejarahan, budaya dan pendidikan antara keduanya itulah yang hidup di kalangan para pengamat/peninjau dan kalangan warga NU sendiri. Pimpinan NU yang menggangap antara keduanya tidak terdapat hubungan apapun, tidak mengetahui kenyataan tersebut.
Bahkan, mayoritas pemilih yang tidak beragama Islam (non-muslim) yang telah mengetahui latar belakang kesejarahan anatara NU PKB ini, juga akan memberikan suara pada PKB dalam pemilu yang akan datang. Karena pertimbangan-pertimbangan yang menurut mereka ada keterbukaan dan kebhinekaan dalam PKB, serta cita-citanya untuk menciptakan pemerintahan yang benar-benar bersih dan jujur setelah pemilu yang akan datang.
Ketika seorang oknum PBNU di Pantai Utara Jawa Tengah mengatakan, bahwa antara NU dan PKB tidak ada hubungannya, Kyai Muhaiminan dari Parakan (Temanggung) menanyakan kepada penulis, apa yang harus diperbuat? Penulis bertanya apakah diberi kualifikasi jenis hubungan yang tidak ada antara kedua lembaga itu? Beliau menjawab tidak ada kejelasaan mengenai hal itu. Penulis lalu bertanya kembali kepada beliau, apakah tokoh pesantren ini ingin memenangkan pemilu bagi PKB, atau “menang debat”? Jawabnya, ingin menang pemilu bagi PKB. Karena hal itu, penulis menyatakan sebaiknya kita berkonstrentasi memenangkan pemilu untuk PKB dan “melupakan” kata-kata tokoh PBNU itu. Dengan adanya ucapan itu, mereka toh akan mencoblos PKB juga dalam pemilu yang akan datang, jika program-program dan konsep-konsep yang diajukan partai ini masuk di akal mereka.
*****
Pembedaan fungsi antara PKB dan NU inilah yang sebenarnya merupakan inti persoalan. Bukan diperkenankan atau tidaknya orang NU menjadi Capres/Cawapres dalam pemilu yang akan datang. Dalam masalah ini harus ada kejelasan, yang dalam sebuah nyanyian populer di negeri ini disebut “tidak ada dusta di antara kita”. Walaupun mendiang Broery Pesolima menyebutkannya untuk menjelaskan hubungan seseorang dengan kekasihnya, tetapi pernyataannya itu dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antara NU dan PKB. Karenanya, penulis tidak mau soal tersebut ditutup-tutupi, seperti dikatakan kitab suci al-Qur’an: “Dan jangan kalian campur adukan antara yang benar dan yang salah dan jangan kalian tutup-tutupi kebenaran, kalau kalian ketahui” (Wa la Talbisu al-Haqqa bi al-Bathail wa la Talammu al Haqqa in Kuntum Ta’lamun).
Kyai Abdullah Faqih dari Pesantren Langitan, (Widang, Tuban) menyatakan ayat tersebut wajib penulis amalkan, sebagai pesanan dari Sayyid Abdurrahman dari Klotok (Plumpang, Tuban), yang lebih dikenal oleh rakyat kawasan itu dengan nama Mbah Kertowijoyo. Atas dasar pesan itulah penulis buat tulisan ini, dengan maksud agar seluruh warga NU mengetahui hal itu. Dengan cara inilah penulis melakukan pendidikan politik bagi umat, mungkin bagi seluruh bangsa kita. Sistem politik kita dewasa ini, penuh dengan kebobrokan sehingga untuk melakukan koreksi yang memadai haruslah seluruh bangsa dididik secara politis melalui berbagai macam medium. Penulis ingin jujur dihadapan Allah SWT, masyarakat dan dihadapan sejarah karenanya ia menguraikan apa adanya dalam tulisan ini.
Indonesia memerlukan empat buah sistem baru dalam kehidupan mereka di waktu dekat ini, yang hanya dapat ditegakkan melalui hasil pemilu yang akan datang. Hal ini penulis yakini, karena bangsa dan negara kita adalah entitas besar dalam kehidupan umat manusia dengan jumlah penduduk yang besar (204 juta jiwa orang lebih), areal sangat luas dan sumber-sumber alam sangat banyak (produk hutan terbesar di dunia, kekayaan laut yang berlimpah-limpah dan barang-barang tambang yang beragam. Karenanya, Indonesia patut memimpin dunia.
Untuk tujuan mulia itu, siapakah yang harus memimpin negeri ini? Yaitu seorang pemimpin yang mengerti benar apa yang harus dilakukan negara dan bangsa ini di masa depan, juga yang ingin menegakkan demokrasi atas dasar kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi seluruh warga negara di hadapan undang-undang, tentu saja dengan didukung berbagai sistem baru. Mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan?