Tahan Berpolitikkah Pondok Pesantren?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam apa yang dinamakan ‘Muktamar Sukolilo’ di Surabaya baru-baru ini, kubu Alwi Shihab mengalami permasalahan yang cukup serius. Pertama, KH. Abdullah Faqih dari Pondok Pesantren (Ponpes) Langitan di Tuban, menyatakan siap bertemu penulis kapan saja. Penulis mensyaratkan pertemuan itu harus diselenggarakan di luar ponpes tersebut, karena ‘biang kerok’ persoalan antara beliau dan penulis, terletak pada salah seorang putra beliau yaitu Gus Ubed. Selain itu dalam forum tersebut, KH. Idris Marzuki dan Ponpes Lirboyo mendahului pulang ke Kediri karena kecewa tokoh yang ingin dijadikan Ketua Umum Dewan Tanfidz Saifullah Yusuf tidak bersedia menempati posisi itu, dan malah ‘mengatur’ agar Choirul Anam yang terpilih. Dengan kepulangannya itu, KH. Idris Marzuki dianggap akan menekuni ponpes yang dipimpinnya, dan bukannya aktif dalam kegiatan politik seperti yang dilakukannya dua tahun terakhir ini.
Dari peristiwa-peristiwa itu, muncul pertanyaan tentang ‘ketahanan’ ponpes dalam politik praktis. Pertanyaan itu merupakan bagian dari hubungan ‘tidak wajar’ antara ponpes dengan dunia politik praktis, yang dimulai dari kedekatan antara para pengasuh ponpes dengan para pejabat atau tokoh pemerintahan. Ini tampak jelas, bahwa salah satu pemeo: jika “wakaf” dari orang-orang non-muslim sah-sah saja, apalagi sumbangan dari pejabat yang pada umumnya yang sama sekali ‘tidak mengikat’. Untuk sejumlah ponpes, yang memang para pengasuhnya ‘mengikatkan diri’ dengan para pejabat dan tokoh di atas, mereka lalu tidak memandang penting ‘kebersihan diri’ dari virus politik yang sangat berbahaya itu. Sehingga banyak tokoh-tokoh ponpes yang ‘tergelincir’ secara politis, sehingga tidak dapat mengambil tindakan bagi kepentingan rakyat banyak dan masyarakat pada umumnya.
Hal ini sangat berbeda dengan masa KH. A. Wahab Chasbullah menjadi Ra’is Aam NU dan wakil beliau, KH. Bisri Syansuri. Penulis masih ingat, sewaktu ia masih kecil bagaimana KH. Wahab Chasbullah habis-habisan menentang gagasan Bung Karno untuk membubarkan semua parpol dan tinggal satu partai saja yang boleh berdiri di Indonesia. Begitu juga ketika Bung Karno mempersiapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, KH. Bisri Syansuri menentang habis-habisan DPR-RI, yang menurut beliau pada waktu itu, adalah hasil pemilihan umum tahun 1955. Kalau harus diganti maka gantinya harus dipilih, dan bukannya ditunjuk oleh Bung Karno. Untuk itu, beliau menghadapi semua tekanan termasuk datangnya tiga orang perwira RPKAD (sekarang Kopassus), dengan bersenjata lengkap dan melakukan intimidasi di ponpes beliau.
Dari dua contoh di atas terlihat bahwa para pimpinan ponpes masa lampau mendasarkan pandangan mereka pada aturan-aturan agama, bukannya pada uang dan sejenisnya. Contoh terkenal dalam hal ini, adalah Ra’is Akbar NU KH. M. Hasjim Asy’ari dari Tebuireng Jombang yang ‘membiarkan diri’ ditangkap Kempetai (polisi rahasia Jepang), karena ia menolak untuk melakukan seikirai (upacara membungkuk badan untuk mendukung Kaisar Jepang). Menurut beliau, hal itu sama saja dengan mengakui bahwa Kaisar Jepang adalah keturunan Dewa Matahari (Amaterasu) sesuatu hal yang tidak akan mungkin dilakukan secara keagamaan bagi seorang muslim, yang hanya mengakui kekuasaan Allah Swt semata-mata. Untuk sikapnya itu, ia harus membiarkan tangan kirinya lumpuh karena siksaaan polisi rahasia Jepang tersebut.
Dengan demikian telah terjadi perubahan kualitatif dari sikap dan pandangan para kyai dari ponpes dalam kurun waktu sekitar setengah abad ini. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, berapa besarkah perubahan pandangan dan sikap tersebut? Dalam pandangan penulis, ternyata perubahan-perubahan yang terjadi tidaklah besar. Secara kuantitatif, dari sekitar seratus ribu orang kiai yang ada di Indonesia saat ini, ternyata paling tinggi hanya 11 orang yang mengalami perubahan pandangan akibat perkembangan politik. Itu pun dapat dibagi dua adanya perubahan pandangan itu.
Ada yang berpandangan, mereka berubah karena faktor uang dan hal-hal yang sejenis, tetapi lebih banyak faktor pandangan ‘politik’ seperti contohnya adalah KH. Abdurrahman Chudlori dari Ponpes Tegalrejo (Magelang) dan KH. Hanif Muslich dari Ponpes Al-Futuhiyah di Mranggen (Demak). Sikap kedua orang itu didasarkan pada pandangan bahwa orang-orang non-muslim tidak dapat menjadi pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal ini dilakukan penulis agar PKB yang ‘campur baur’ menjadi parpol yang besar di kemudian hari. Di sinilah terletak perbedaan antara PKB dan NU. Penulis harus merelakan orang-orang itu berada di luar PKB, yang juga berarti sikap untuk membesarkan NU. Penulis pernah menyatakan, kedua orang itu pantas memimpin NU tetapi tidak pantas mengurusi parpol. Ini tetap menjadi pandangan penulis sampai hari ini. Dua sikap penulis itu adalah untuk menjunjung NU, walaupun dua institusi itu memiliki wajah yang sama sekali berbeda dalam dunia politik. Di sini jelas, alasan bagi perbedaan pandangan itu adalah hasrat membesarkan NU semata-mata.
Perbedaan pandangan yang demikian fundamental antar mereka yang ingin berkiprah dalam NU semata-mata dan mereka yang ingin berkiprah bagi NU melalui PKB, adalah konsekuensi dari pilihan kegiatan yang dilakukan. Dilihat dari sudut pandang ini jelas ponpes menempuh strategi yang saling berbeda, dan melalui bidang yang berbeda-beda pula dalam perjuangan. Kalau dilihat prospeknya, ponpes memiliki kemampuan untuk ‘bermain politik’ melalui wadah yang saling berbeda. Ini berarti hampir seluruh ponpes mampu bermain politik secara dewasa. Hanya sedikit ponpes yang kehilangan kemampuan bermain politik itu, karena faktor uang dan kekuasaan, yang dalam jangka panjang akan membunuh kemampuan ponpes itu.
Politik yang dijalankan mayoritas ponpes seluruh Indonesia adalah mengembangkan sikap ‘melayani kebutuhan’ berbagai pihak di luar dari mereka. Artinya, ‘peranan agama’ dalam penciptaan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa dan negara ini ternyata tidak pupus dan bahkan justru menunjuk kepada masa depan yang gemilang. Dengan kata lain, peranan agama dalam dunia perpolitikan di negeri kita tidaklah pudar, bahkan semakin cerah dan nyata di masa depan. Marilah kita songsong era ini dengan membenahi ‘sasaran-sasaran politik’ yang ingin dicapai. Inilah yang sangat menggembirakan bagi penulis, dan menimbulkan harapan akan masa depan yang cerah bagi PKB dan parpol-parpol lain dalam pemilu yang akan datang.
Setelah era politik parpol-parpol yang berebut kekuasaan, disusul oleh kekuasaan kaum profesional dan kemudian tentara/militer selama tiga puluh tahun lebih, kini datanglah era untuk menyaksikan munculnya peranan lembaga-lembaga keagamaan (seperti ulama dan sebagainya). Kalau dari pihak-pihak sebelumnya tidak begitu banyak hasil yang diperoleh, maka bagaimana dengan kepemimpinan ulama yang disimbolkan oleh pengaruh ponpes dalam berpolitik? Dapatkah mereka membawakan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa ini, dengan menciptakan masyarakat yang kuat dan negara yang besar? Seperti halnya faktor-faktor lain dalam pembangunan, ponpes juga harus terlibat dengan pelestarian dan pembuangan jauh-jauh beberapa aspek dari kehidupannya. Ini adalah hal yang biasa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?