Teologi Pembangunan, Membangun Teologi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Peneliti Moeslim Abdurrachman, MA pernah mengajukan pertanyaan menarik kepada saya. Di lokasi penelitiannya di Belanakan (entah benar-benar ada atau fiktif, tidak penting bagi saya), para buruh tambak tidak pernah bersholat Subuh. Sebabnya karena mereka jam tiga pagi sudah harus masuk tambak udang, mencari udang bagi para majikan atau pemilik tambak. Para pemilik tambak itu justru haji-haji yang taat melaksanakan peribadatan murni sehari-hari. Mereka membuat masjid yang baik, menjadi pengurus NU (Nahdlatul Ulama) dan sebagainya. Berjuang secara nyata bagi kepentingan agama. Jelas bahan bagi ahli surga nanti.
Bagaimanakah dengan para buruh tani tambak itu? Bukankah mereka meninggalkan minimal seperlima dari kewajiban sholat? Itu pun kalau waktu-waktu sholat yang lain mereka lakukan kewajiban yang menjadi tiang agama itu? Bukankah Nabi sendiri menyatakan, “Sholat adalah tiang agama” (assholatu ‘imadudini)? Lalu, kalau tidak sholat, bukankah jelas mereka bukan muslim yang baik? Mungkinkah mereka dianggap juga bahan ahli surga?
Secara bermain-main saya jawab bahwa mereka juga ahli surga. Minimal mereka akan masuk surganya udang. Namun, dibalik pernyataan sederhana secara bermain-main, saya mengajukan sebuah pendekatan sederhana secara bermain-main, saya mengajukan sebuah pendekatan lain sama sekali. Minimal lain dari pendekatan yang sudah umum berlaku. Pendekatan saya itu adalah meletakkan hukum agama pada kondisi utuh dari kehidupan manusia. Memang hukum agama adalah sesuatu yang lestari dan normatif. Sehingga memiliki keharusan-keharusannya sendiri. Bahasa sananya, memiliki serangkaian imperatives-nya sendiri.
Di sisi lain, agama adalah pelayanan kebutuhan manusia, karena pada hakekatnya agama diwahyukan untuk memenuhi kebutuhan terdalam dari manusia. Kebutuhan untuk mengenal Tuhannya, dan kebutuhan mendudukkan dirinya di hadapan Zat Maha Agung yang bernama Tuhan itu. Jadi, kebutuhan manusia memperoleh pengakuan dari agama. Buktinya, dalam qa’idah fiqh disebutkan adanya sebuah kerangka bernama “kebutuhan yang disamakan dengan darurat” (al–hajah tanzilumanzilatqad dharurah). Jika memang kebutuhan itu bersifat demikian mutlak, sehingga menyerupai keadaan darurat, maka ia pun dapat berfungsi seperti keadaan darurat, yang memungkinkan dilakukannya hal-hal yang sebelum itu dilarang (addharurat tugihul mahzurat).
Nah, dalam tarikan antara norma-norma abadi dari hukum agama di satu pihak dan kebutuhan manusiawi-nya di pihak lain, manusia harus bergerak. Tidak berarti kita harus membenarkan tindakan manusia yang menyimpang dari norma-norma agama, melainkan juga tidak berarti langsung menyalahkan setiap penyimpangan sebelum kita tahu duduk perkara sebenarnya yang terjadi.
Dan sikap menunda penilaian ini, muncullah sikap lain yang penting dalam membawakan pesan agama kepada ummat manusia yang sedang membangun. Seperti bangsa kita dewasa ini. Sikap menunjukkan pengertian akan problema-problema kehidupan yang dibawakan oleh situasi membangun itu sendiri. Berarti pengertian kepada problema kemanusiaan secara umum, karena situasi membangun justru adalah situasinya mayoritas ummat manusia saat ini.
Dari titik pengertian mendalam akan hakekat kehidupan yang serba kompleks itu, dapatlah disusun sebuah wawasan beragama yang mementingkan arti pembangunan bagi kehidupan manusia. Wawasan seperti itu, patutlah disebut sebuah teologi pembangunan, sebuah kerangka yang dengan sengaja meletakkan kehidupan beragama pada kemelut pembangunan, dan pada saat yang sama memasukkan sisi pembangunan dalam kehidupan beragama. Jika itu yang diingini, jelas teologi pembangunan haruslah memperoleh prioritas dalam perkembangan pemikiran keagamaan kaum muslimin saat ini. Berarti mereka harus membangun kembali teologi mereka. Teologi dalam arti wawasan dan kerangka pemikiran keagamaan, bukannya sekedar ilmu-ilmu ketuhanan seperti yang dipahami selama ini.