Kata Pengantar Buku: Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara
Oleh: K.H. Abdurrahntan Wahid
Buku ini adalah buku pertama berbahasa asing yang mendiskusikan secara detail tentang NU. la memberikan gambaran yang menarik tentang perkembangan organisasi ini, baik secara politik maupun moral.
Salah satu tujuan buku ini adalah untuk menjelaskan karakteristik NU sebagai suatu gerakan Islam tradisional. Orientasi kalangan tradisionalis pada umumnya dianggap lebih terbelakang dan cenderung mapan dalam pemahaman mengenai masyarakat dan pemikiran Islam. Hal ini disebabkan karena keteguhan mereka dalam memegang hukum Islam ortodoks (yaitu, mazhab sunni atau aliran-aliran hukum Islam), yang mengantarkan mereka pada penolakan terhadap modernitas dan pendekatan rasional dalam kehidupan. Demikian juga dalam bidang teologi, mereka sangat ketat mengikuti teologi skolastisisme al-Asy’ari dan al-Maturidi, yang telah membuat mereka berpandangan fatalistik dengan menyerahkan sepenuhnya hal pada kehendak Tuhan dan tidak menerima paham kebebasan berkehendak, serta pemikiran bebas manusia. Selanjutnya para tradisionalis ini juga dituduh mengabaikan masalah duniawi dalam praktek ritual mistisisme Islam (tasawuf). Aktivitas mereka dalam organisasi sufi (tarekat) memperlihatkan pengabaian mereka terhadap kehidupan duniawi, dan sebaliknya, hanya berorientasi pada kebahagiaan di akhirat kelak. Dengan pandangan dunia tersebut, para tradisionalis ini sering dicap sebagai kelompok masyarakat yang pasif dan acuh tak acuh terhadap tantangan dinamik modernisasi, sebuah komunitas di mana para kiainya memegangi secara ketat tradisi yang mati.
Rangkaian artikel dalam buku ini menyajikan fakta yang memberikan gambaran lain: yakni mereka ternyata merupakan suatu komunitas dengan vitalitas yang cukup untuk menyerap dan berhubungan dengan perubahan sosial dalam bentuknya yang rasional. Termasuk dalam hal ini kemampuan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam berbagai bidang yang sangat penting. Misalnya relatif mudahnya mereka menerirna hak persamaan memperoleh pendidikan bagi perempuan dan laki-laki, membuktikan kemampuan mereka dalam memikirkan ulang konsep-konsep kuno yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya tradisional. Kesiapan mereka untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam terhadap isu-isu yang berkaitan dengan KB (Keluarga Berencana), pernbatasan kelahiran dan praktek bank modern, bisa juga ditunjuk sebagai bukti kapasitas mereka dalam melakukan penyesuaian terhadap keharusan-keharusan keagamaan di berbagai realitas kehidupan. Semua ini membuktikan kemampuan komunitas ini dalam menghadapi dunia modern dengan cara yang dinamis, tanpa harus kehilangan pesan-pesan moralnya.
Berkebalikan dengan kekakuan pemikiran gerakan purifikasi dalam dunia Islam —gerakan-gerakan yang seringkali diklaim sebagai ‘modernis’— ajaran-ajaran keagamaan NU justru menunjukkan fleksibilitas. Ajaran-ajaran ASWAJA (ahlus sunnah wal jama’ah) yang menjadi rujukan kalangan tradisionalis menampilkan kedalaman kemampuan NU mempertahankan tradisi yang dimilikinya dalam menghadapi perubahan-perubahan yang mengguncang dunia muslim lebih dari satu setengah abad yang lalu. Hal ini tidak berarti bahwa modifikasi terhadap ajaran-ajaran Islam yang mapan itu berlangsung dengan lancar dan mudah. Seringkali hal itu berlangsung melalui perdebatan yang dramatis dan alot. Sebagai contoh pada Muktammar tahun 1984 ketika membahas masalah apakah NU akan menerima Pancasila atau Islam sebagai asas tunggal. Hanya setelah benar-benar jelas bahwa Pancasila tidak akan mengancam agama dalam kehidupan bernegara dan juga tidak bertentangan dengan agama, maka muktamar tersebut mau menerima ideologi negara itu sebagai asas tunggal. Sementara, doktrin ahlus sunnah wal-jama’ah diletakkan sebagai keyakinan. Jalan keluar yang diambil ini menempatkan keduanya dalam hubungan yang unik dan saling melengkapi (complementary).
Orientasi mistik dan sufi anggota NU memberikan disiplin moral dan tingkat kohesivitas yang tinggi, yang membuat mereka dapat menahan perubahan, bahkan ketika masalah yang mereka hadapi itu berkaitan langsung dengan struktur negara. Demikianlah, perubahan-perubahan yang besar terhadap sistem pendidikan beberapa dekade belakangan ini, yang secara potensial dapat menyebabkan munculnya pengalaman-pengalaman traumatik, pada kenyataannya hanya telah menyebabkan gangguan yang minimal terhadap NU sebagai suatu komunitas. Institusi tua dan arkaik pesantren, sebagai sekolah Islam dan pusat belajar komunitas, yang tersebar banyak di pedalaman Indonesia, telah memungkinkan hubungan yang saling mengisi (“take and give“) dengan sekolah-sekolah Barat modern.
Peranan NU dalam Indonesia kontemporer adalah melakukan perubahan-perubahan dalam sikap dan pandangan dunia banyak kalangan muslim, khususnya dalam beradaptasi dengan tantangan-tantangan modernisasi. Peranan ini terkadang disalahpahami oleh para pengamat, mereka melihat NU sebagai penghubung antara negara modern dan masyarakat tradisional. Clifford Geertz, misalnya, menempatkan kiai NU sebagai “makelar budaya”. Tetapi penggunaan istilah ini, demikian juga dengan pemahaman suatu proses dimana “makelar budaya” melakukan seleksi mana budaya yang bisa diterima dan mana yang harus ditolak, mengimplikasikan seolah “para makelar budaya” itu sendiri tidak memiliki pandangan dan pendekatan-pendekatan yang orisinil. Pandangan tentang peranan kiai pesantren ini, yang tercatat sebagai salah satu elemen terpenting dalam kepemimpinan NU, telah dibantah oleh hasil penelitian Hiroko Horikoshi. Hasil studinya mengenai fungsi sosial kiai di Jawa Barat menunjukkan bahwa daya dorong perubahan itu datang dari dalam inti pemikiran agama, yang mengiringi interaksi yang panjang dengan modernisasi itu sendiri (Lihat Hiroko Horikoshi, A Traditional Leader in a Time ofChange: The Kijaji and Illama in West Java, Ph.D dissertation, University of Illinois, Urbana, Illinois, 1976).
Sebagai suatu gambaran mengenai peran yang dimainkan oleh NU dalam hubungannya dengan perubahan sosial kita mungkin bisa menengok keputusannya untuk mengorganisir, melalui RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah), serial forum yang mendiskusikan hubungan antara ajaran Islam yang mapan dan aspek-aspek kehidupan modern yang beragam seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, pembaharuan hukum, peranan parlemen dan pembuat undang-undang lokal, transplantasi organ tubuh manusia, dan fungsi lembaga-lembaga ekonomi modern seperti perusahaan asuransi dan pertukaran saham. Diskusi-diskusi ini melibatkan para kiai NU dari berbagai level, yang terlibat dalam berbagai aktivitas, yang telah lebih dahulu melakukan banyak perubahan di komunitas tersebut secara keseluruhan. Salah satu contohnya adalah diterimanya gagasan untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), pada Muktamar NU ke-29. Dalam mengadopsi konsep tersebut, yang mencanangkan berdirinya 2000 BPR hingga tahun 2013, tidak sedikit perlawanan yang dilancarkan oleh sayap konservatif NU, kendati sebenarnya bank-bank ini merupakan bank modern yang mengambil bentuk bunga secara sederhana.
Kemampuannya untuk mengembangkan respons yang positif terhadap perubahan-perubahan modernisasi ini bertumpu pada ajaran-ajaran inti NU dalam menahan pengaruh pembaratan masyarakat secara penuh. Bagaimanapun ia beberapa kali telah diuji oleh perkembangan-perkembangan dalam lima tahun terakhir ini, di mana NU dituduh sering tidak setia terhadap pemahaman yang mapan mengenai “konsep kehidupan Islam”. Hal ini juga terjadi dalam menghadapi dorongan “Islamisasi masyarakat” oleh sebagian mereka yang ingin memformalkan ajaran-ajaran Islam ke dalam kehidupan nasional. Termasuk dalam kelompok ini adalah faksi politik dalam ICMI. Seruan untuk melakukan “Islamisasi” aspek-aspek penting kehidupan modern, meliputi ilmu pengetahuan dan teknologi dan bahkan ekonomi (melalui pengembangan ”ekonomi Islam”), jelas menunjukkan tantangan yang serius bagi Pola “pribumisasi Islam” yang diperjuangkan NU. Para Islamis, sebagaimana para pendukung “Islamisasi masyara-kat” in toto, bisa dikatakan tidak dapat menerima lepasnya ideal capaian “masyarakat Islam” secara penuh di Indonesia. Konsekuensinya, penerimaan NU atas pengembangan suatu “masyarakat Indonesia di mana kaum muslim bebas untuk menjalankan agamanya secara sukarela” harus menghadapi perlawanan yang keras. Konsep ini sebenarnya mengharuskan adanya pengembangan ajaran Islam sebagai sumber “etika sosial” dan bukannya sumber materi hukum. Gagasan yang menempatkan “Islam sebagai jalan hidup” (Syariah) yang Iebih berperan sebagai kekuatan moral (moral force) dalam masyarakat ketimbang sebagai seperangkat hukum formal ini, lalu bersimpang jalan dengan ideal capaian suatu “masyarakat Islam” yang telah menjadi bagian dari keyakinan para Islamis. Pertarungan wacana antara dua pendekatan tersebut merupakan pertanda adanya kecurigaan mutualistik antara NU dan sebagian besar gerakan Islam di Indonesia dewasa ini. Tentu saja, kita dapat memecahkan kontradiksi antara kedua pendekatan tersebut dengan cara yang Iebih positif dengan mengatakan bahwa kaum muslim Indonesia terbuka terhadap baik Indonesiasi Islam maupun Islamisasi Indonesia.
Pentingnya buku ini terletak pada cara mereka menyoroti baik karakter esensial NU maupun perkembangan kesejarahannya. Buku ini sangat bermanfaat dalam membantu kita untuk memahami alasan-alasan mengapa sudut pandang NU berbeda dengan gerakan-gerakan Islam yang Iain. Dengan demikian, buku ini merupakan penuntun yang sangat berguna untuk memahami pemikiran kolektif anggota-anggota NU dan merupakan bahan bacaan yang esensial untuk mengetahui secara mendalam tentang Islam dan para pemeluknya di Indonesia modem.