Walau Pak Harto Terpilih Lagi, Pasti Ada Perubahan (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tambun dan mata tertutup seperti tidur. Itulah ciri khas penampilan fisik Ketua PBNU Abdurrahman Wahid. Sementara, ciri lainya: tingkah laku, komentar dan pendapatnya kerap memancing kontroversi. Sehingga, tak mengherankan bila ia dinilai sebagai kiai nyeleneh. Kendati tak kehilangan citarasa ke-NU-annya, kiai lulusan Fakultas Sastra Universitas Bagdad, Irak, itu sering sangat maju, bahkan dibandingkan dengan “orang maju” sekalipun. Sebagai kiai yang lahir dan besar di kalangan nahdliyin, yang pernah diidentikkan dengan sarung dan kopiah, ia tak rikuh duduk menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Sementara, kolom-kolomnya tentang sepak bola sempat deras tersaji di media massa.
Sebagai seorang NU, Gus Dur memang jauh dan ortodoksi. Dan, pergaulannya dengan kalangan non-Muslim, bahkan kaum sekular sekalipun, seintens pergaulannya dengan anak-anak muda NU. Dengan santai, tapi pasti, ia pun membentuk Forum Demokrasi.
Ketika nama Soekarno masih diterima setengah hati oleh kalangan pemerintah, ia anteng bersilaturahmi dengan Megawati Soekarnoputri. Dan, saat Megawati kembali terkucil dari pentas politik resmi, yang berpuncak pada kongres Medan 1996 dan kerusuhan 27 Juli, lelaki kelahiran Jombang, 4 Agustus 1941, itu tak segan meminta Mega “menyerah”, seruan itu disusulnya dengan menggandeng mbak Tutut ke pesantren-pesantren di pelosok Jawa.
Terakhir, Selasa, 23 Desember lalu, ayah empat putri itu melakukan syukuran di pesantren yang diasuhnya, di kawasan Ciganjur, Jakarta selatan. Tamu-tamu yang diundangnya bukan saja tokoh-tokoh semisal esais Goenawan Mohamad, pengacara Todung Mulya Lubis, dan Djohan Effendi. Tapi juga Kardinal Darmoatmodjo, pemikir Frans Magnis Soeseno, Mudji Sutnsno, dan Harry Tan Silalahi. “Tidak ada maksud lain, silaturahmi ini sekadar syukuran untuk kebersamaan,” kata Gus Dur Esoknya, Rabu, 24 Desember 1997, ia menerima Wahyu Muryadi, Lukas Luwarso, dan Johan Budi S.P.dari FORUM untuk sebuah wawancara khusus. Berikut penkannya.
Apakah makna kebersamaan yang Anda lontarkan dalam acara syukuran itu?
Saya bilang, krisis ekonomi ini harus dipecahkan bersama-sama melalui semacam konsensus dan kesediaan berkorban serta menanggung risiko. Itu namanya kebersamaan. Kalau tidak bisa, krisis ini akan menjadi isu politik. Karena satu sama lain saling menuduh, “You yang menjadi penyebab.” Kan akhir-akhir ini ada selentingan yang menuduh bahwa pak Tri Sutrisno yang melakukan sabotase ekonomi. Itu ‘kan hal yang tidak masuk akal. Bahwa satu orang bisa melakukan sabotase ekonomi seperti saat ini, saya tidak percaya. Seolah-olah ada konspirasi antara Pak Try dengan pihak-pihak luar negeri. Fitnah-fitnah semacam itu ‘kan harus kita hindari.
Itu sebabnya bisa tiba-tiba beredar isu kudeta?
Ya, namanya isu, bisa apa saja, cuma ‘kan nggak ada substansinya.
Isu-isu seperti itu bakal memuncak menjelang Sidang Umum MPR?
Ya, mudah-mudahan tidak. Kita harus menghindari itu melalui kebersamaan. Menghindari perbedaan pandangan yang terlalu jauh. Syaratnya, memang harus ada transparansi dalam pemerintah.
Tapi, yang saling berintrik sudah berani menunjukkan nama segala….
Ya, menunjuk nama bisa saja. Yang ditunjuk ‘kan tidak apa apa, nggak ngapa-ngapain, nggak puyeng.
Anda optimistis, situasi akan membaik?
Secara realistis, saya tidak optimis. Tidak optimis dalam arti, saya menyadari sulitnya permasalahan. Namun, kita tidak usah terlalu ketakutan. Tentu kita prihatin, kita tahu persislah besarnya tingkat kesulitan. Sikap yang kita ambil, ya berhati-hati. Kita harus mengutamakan cara pemecahan terbaik, melalui konsensus. Kita batasi masalah ekonomi dengan penyelesaian ekonomi, bukan dengan politik.
Konsensus itu bagaimana formulasinya?
Itu ‘kan urusannya para pakar dan birokrat, serta pemimpin masyarakat. Mereka harus omong satu sama lain, pengamatan dan pemikirannya disamakan dulu. Kalau sudah ditemukan, dicari cara penyelesaiannya, teknisnya kayak apa.
Lalu, siapa yang harus memulai?
Tentu pemerintah. Pihak masyarakat kalau dipanggil, baru bisa ikut menangani.
Pesan moral itu apa harus sering dilontarkan?
Ya, nggak usah sering. Intinya itu ‘kan ada nilainya, ada substansinya. Justru yang disampaikan Romo Kardinal, Hary Tjan. Ignas Kleden itu meskipun sederhana, sangat menarik. Kita itu jangan terpukau pada asal-usul, pada sindrom masa lalu.
Belakangan ini, pengangguran dan kesulitan pangan melanda negeri kita. Apakah itu akan berlanjut?
Makanya jangan sampai berlanjut. Kita prihatin. Itu harus diatur supaya jangan terus berlanjut.
Krisis ini akan mengarah ke krisis politik?
Ya, tergantung Kalau kita sepakat, ada konsensus cara untuk mengatasi dan dilaksanakan secara disiplin oleh semua pihak, krisis politik tidak akan terjadi. Krisisnya akan dibatasi pada krisis ekonomi. Tapi, kalau krisis itu dijadikan bahan pertengkaran, apalagi dijadikan bahan isu di antara pihak-pihak yang bersaing-yang mau menjadi wakil presiden ‘kan banyak- itu akan menjadi krisis politik. Saling menuduh, saling berintrik.
Tapi, benarkah krisis ekonomi ini baru bisa diatasi melalui reformasi politik?
Itu ‘kan jangka panjangnya. Reformasi politik itu tidak mudah, Lho. Mengganti orang itu belum tentu reformatif. Pemerintah kita nantinya, baik dipimpin Pak Harto atau bukan, akan menghadapi beban yang luar biasa berat.
Jadi, tanpa reformasi politik, krisis ini bisa diatasi?
Itu, ada hal yang sifatnya teknis jangka pendek, ada juga yang bersifat strategi jangka panjang. Reformasi politik itu strategis dan berjangka panjang. Enggak masuk akal penyelesaian jebret-jebret, terus langsung.
Bagaimana Anda menyikapi sikap Amien Rais yang semakin vokal?
Kalau maksud Mas Amien adalah untuk melakukan pendidikan politik, ya, bagus sekali. Itu menunjukkan ada yang berani bicara tentang hal-hal yang mendasar dan menunjukkan kepada rakyat, bahwa bisa saja dibikin alternatif kepemimpinan. Ada pemimpin alternatif. Tetapi, ya, nggak usah terlalu serius, sehingga seolah dia maju sendiri. Kalau memang begitu, dia jadinya naif, dong. Sebab, fraksi-fraksi ‘kan nggak mendukung dia.
Mungkin Presiden sudah membuat wasiat politik sendiri?
Enggak bisa. Konstitusi, ini bukan kerajaan.
Itu berkaitan dengan usul pemberlakuan kembali Ketetapan MPRS No. VI?
Diberlakukan boleh-boleh saja, tetapi tidak ada model wasiat-wasiat. Harus jelas. Kita tidak bisa terima model wasiat kekuasaan yang bersembunyi, yang nanti dibuka setelah orang bersangkutan meninggal. Memangnya barang warisan.
Jadi, posisi wakil presiden sangat penting pada periode nanti?
Ya, posisi wapres akan sangat strategis.
Lalu, kenapa Presiden tidak membentuk tim khusus membahas calon wapres?
Lho, itu kan haknya Presiden. Orang-orang tidak bisa ikut campur. Itu ‘kan haknya dia sebagai mandataris MPR.
Sekarang ini, calon wapres sudah ada 14 orang, termasuk Amien Rais….
Ya, nggak apa-apa. Amien ‘kan Ketua Umum Muhammadiyah. Mas Amien ‘kan mau melakukan pendidikan politik. Tapi, kalau nama saya dicantumkan sebagai wakil presiden ya, saya tolak.
Kenapa? Kan Anda memenuhi syarat?
Saya tidak merasa sebagai politisi dan harus memiliki jabatan politis. Dari dulu nggak pingin. Saya sudah memilih jalan saya, kenapa harus ikut jalannya orang. Kalau saya ingin jadi menteri, sesudah itu menjadi wakil presiden, dan seterusnya menjadi presiden, lebih baik saya masuk Golkar, nggak memimpin NU. Yang saya pilih itu rutenya lain. Kami ini rutenya angkutan pedesaan, seperti dakwah.
Angkutan pedesaan yang ditumpangi elite perkotaan?
Ya, silakan. Mereka memang berusaha menumpangi kami. Saya bukannya nggak mengerti, tapi ‘kan ada batas-batasnya. Perannya juga lain. Ambil contoh, saya keliling dengan Mbak Tutut. Tapi ‘kan nggak mungkin Mbak Tutut jadi Tokoh NU dan saya menjadi tokoh Golkar? Perannya lain, tapi bisa jalan bareng. Itu memang pemanfaatan. Golkar memanfaatkan NU, melalui Mbak Tutut kemarin, paling tidak memperoleh separoh dari suara PDI yang lari dari Soerjadi. Dari 46 kursi PDI yang hilang, 22 direbut PPP, 24 direbut Golkar. Itu sebagian karena jasanya Mbak Tutut yang turun ke warga NU. Lantas, NU memperoleh keuntungan apa? Warga NU di bawah, hubungannya dengan pemda-pemda. Jadi, ada semacam married of convenient, ada persekutuan karena kepentingan. Itu sebabnya sekarang banyak orang NU di MPR/DPR melalui fraksi Karya Pembangunan dan Utusan Daerah. Perhitungan kami akurat. Akibat pemerkosaan atas PDI Megawati, maka orang-orang PDI akan hengkang dari Soerjadi. Itu sudah kami hitung dan ternyata tidak meleset.
Hikmah dari krisis sekarang ini, apa pemerintah nanti bisa lebih demokratis?
Itu karena semakin dewasanya kita. Akibat pembangunan, ‘kan masyarakat yang berpendidikan semakin banyak. Rakyat semakin tahu hak-haknya, sehingga tuntutannya juga lebih banyak, termasuk transparansi pengambilan keputusan.
Jadi, pasti bakal ada perubahan sikap?
Kita berharap jangan ada pergolakan. Pemerintah menyadari, lalu mengambil langkah-langkah penting. Paling tidak, ada semacam Standard Operational Procedure (SOP) yang dipakai pada semua pihak. Tekanannya jangan hanya pada aspek security, melainkan harus secara objektif mencari penyebab.
Renungan itu apa merupakan isyarat keprihatinan yang mencekam?
Lho, lah iya, Kan sekarang sudah kelihatan dan kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Rasa benci dan kerusuhan ada di mana-mana.
Sasaranya itu siapa?
Lho, kita semua. Itu untuk kondisi umum pemerintahan kita. Paling yang khusus soal suksesi saja.
Apa suksesi memang harus terjadi tahun 1998 nanti?
Kok, harus? Bagaimana mengukurnya? Saya tidak bisa mengukur itu.
Tapi, kata Mbak Tutut, seharusnya Pak Harto tidak dipilih lagi….
Ya, itu supaya tidak menimbulkan ribut, gitu. Kesimpulannya yaitu bahwa keluarga Pak Harto menghendaki Pak Harto tidak terus gitu.
Apa itu sungguh-sungguh?
Anda harus membaca dalam konteks sekarang. Kondisinya ‘kan lain.
Jadi, cukup serius?
Artinya, kalau kondisinya tidak apa-apa, ya, biasa saja. Tapi, ‘kan kondisinya waktu itu lagi sakit. Berarti itu ada sesuatu yang penting.
Pernyataan itu sudah dikonfirmasikan kepada Pak Harto?
Mbak Tutut itu omong begitu ‘kan sudah dikonfirmasikan kepada bapaknya, tidak mungkin tidak. Sehingga mereka tahu efeknya.
Itu ada kaitan dengan pernyataan Pak Harto soal lengser ke–prabon?
Dari keluarga mengisyaratkan bahwa Pak Harto itu kondisinya tidak untuk menjadi presiden lagilah.
Bagaimana skenarionya?
Enggak tahu saya.
Kalau buat NU, apa artinya pernyataan itu?
NU, ya, seperti sekarang ini. Itu ‘kan bukan urusannya NU.
Lalu, ending-nya seperti apa?
Jangan tanya saya, dong ending-nya apa…..
Pak Harto bilang ada orang yang mau bikin revolusi…..
Kalau revolusi by default mungkin bisa. Enggak sengaja itu ‘kan bisa saja. Tapi, saya kok tidak melihat kondisi yang ke arah itu. realitasnya itu sulit sekali terjadi seperti itu karena masih bisa dicari dengan penyelesaian yang baik.
Jadi NU cuek saja?
Lho, ya tidak cuek, tenang saja. Tenang itu ‘kan bukan berarti cuek. Kami memonitor keadaan secara teliti dan cermat, tapi jangan ikut-ikutan menambah olengnya kapal. Kalau NU ikut kecolongan, bagaimana bangsa ini?
NU ingin mempertahankan status quo rupanya…
Lho, tidak juga. Wong ada unsur-unsur perubahannya juga, kok. Jangan dikira masalahnya sesederhana itu. Walaupun Pak Harto terpilih lagi, itu juga tidak akan status quo, pasti ada perubahan.
Alasannya?
Lho, masalah HAM sudah masuk GBHN. Kehidupan kita sedang mengalami perubahan. Petani-petani yang memperjuangkan haknya sekarang tidak takut lagi digertak Koramil. Jadi, tidak bisa dipertahankan status quo kayak kemarin itu. Pokoknya ada perubahan. Tetapi masih dalam under control gitu lho, jangan amburadul. Perkara bentuk, perkara format, pemain-pemainnya siapa, saya tidak peduli. Orang saya tidak ikut main, kok.
Konkretnya perubahan itu nanti seperti apa?
Lho, ya ndak tahu saya. Yang pasti, undang-undangnya masih seperti itu, UUD 1945, Yang berubah mungkin perilaku. Mudah-mudahan sudah tidak seperti kemarin-kemarin lagi. Selama ini mudah sekali orang dituduh PKI. Sekarang, terbukti tindakan kekerasan tidak efektif lagi. Anda lihat ketika DPP-nya Megawati direbut, dikacaukan, toh tidak menyelesaikan keadaan. Malah bikin sengsara. Buktinya, banyak rakyat yang masih ikut Megawati. Pokoknya ada perubahan perilaku. Contohnya yang paling bagus adalah kasus Gudang Garam di Kediri baru-baru ini.
Kenapa Anda bilang paling bagus?
Tiga puluh ribu orang mengamuk, ‘kan? Masak bisa mogok rapi. Waktu dikirim panser, para wakil karyawan itu bilang, “Enggak usah pakai beginian, Pak. Nanti kami berunding, kok. “Dan, manajemen pabriknya juga bijaksana. Tentaranya malah disuruh pulang.
Berarti, pendidikan politik rakyat selama ini ada hasilnya?
Nanti dulu. Kita lihat itu pendidikan politik siapa. Yang benar, muncul kesadaran akan hak-hak mereka…
Lalu?
Lho, ya, nggak tahu saya. Yang pasti, itu ‘kan sudah tidak bisa balik ke zaman dulu lagi. Pola-pola lama sudah lewat masanya.
Jadi, tidak akan menuju ke sebuah revolusi?
Kalau menurut saya bukan revolusi, malah evolusi. Berunding, tawar-menawar.
Meski ekonomi semakin sulit seperti ini?
Iya. Kenapa bisa begitu? Pintu berunding sudah dibuka, kok, buat apa mereka revolusi? Kasus yang ditutup dengan perundingan bukan hanya di Gudang Garam. Contohnya IPTN. Terus yang Pasuruan itu antara petani dengan Angkatan Udara, rakyatnya baris ke kantor bupati, ada sekitar 3 ribu orang. Mereka dengan tertib berjalan. Sepanjang jalan dieluk-elukkan masyarakat. Mereka dikasih minum, tanpa terjadi kerusuhan.
Jadi, seperti itukah nanti bentuk maksimal protes rakyat itu?
Lho, kalau saya melihatnya, malah itu minimal. Kita harus menyesuaikan supaya minimal itu tidak jadi maksimal, nanti kacau. Karena dengan minimal saja sudah cukup, kok.
Di Singapura, Lee Kuan Yew berhenti, tetapi pengaruhnya masih tetap besar. Bagaimana di sini kalau Pak Harto lengser?
Visinya berbeda Di sana, pemilihan itu sifatnya sangat pribadi, calon tiap partai itu satu di tiap daerah. Jadi, tiap calon berusaha dekat dengan pimpinan partai. Kalau pimpinan tidak meng-endorse dia untuk menjadi calon, dia tidak akan jadi calon, dan pencalonan itu juga harus diperebutkan. Nah, itu model Singapura. Model di sini ‘kan tidak begitu. Tawar-menawar, tidak ada yang memegang kekuasaan mutlak dalam partai, dalam hal ini Golkar. Artinya, memang dibuat secara kolektif karena sifat dasarnya sendiri kolektif, yaitu sistemnya proporsional. Kalau di Singapura Lee Kwan Yew cukup jadi senior minister, tetapi ditakuti orang. Nah, kalau di sini berani begitu, ya, tidak ada yang takut. Kalau di Singapura itu sangat menentukan.
Kalau lengser-nya menjadi ibarat komisaris dengan direktur bagaimana?
Sistem opo iku, saya nggak mengerti. Saya tahunya UUD 1945.
Waktu syukuran di rumah Anda, PDI megawati bikin acara serupa. Anda diundang?
Ah, nggak. Kebetulan saja acaranya bareng, sehingga tidak kumpul. Saya yakin kalau Mbak Mega tidak ada acara itu, dia akan datang ke rumah saya. Sebaliknya, saya juga akan datang ke tempatnya jika malam itu saya sedang tidak ada acara. Pada dasarnya nggak ada masalah apa-apa. Bahkan, saya ini sebelum Tahun Baru harus mengantar Mbak Mega ke makam bapaknya. Mungkin pada tanggal 30 Desember ini.