Membaca Sejarah Lama (2)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kita hampir selalu melihat perkembangan LSM/NGO (Lembaga Swadaya Masyarakat/Non Govermental Organisation) sebagai fenomena yang baru. Padahal kalau kita simak dengan teliti, sejarah masa lampau kita akan memperlihatkan asal usul LSM pada sejarah masa lampau kita sendiri. Dalam hal ini, kita dapat memulainya dengan kisah pertarungan antara Sultan Hadiwidjaya (Raden Mas Karebet atau Jaka Tingkir) di Pajang melawan menantunya, Sutawidjaya.
Sutawidjaya kemudian terkenal dengan sebutan Panembahan Senopati Ing Alaga Sayyidin Panatagama, pendiri Dinasti Mataram yang kita kenal sekarang. Pertempuran antara keduanya, di Pajang, akhirnya dimenangkan oleh Sutawidjaya. Dengan demikian, Sultan Hadiwidjaya harus mencari “modal baru” dalam pertarungan itu. Dan untuk itu, ia kembali ke rumah ibunya, Astatenggi-Sumenep (Madura).
Sebagai penganut tarekat Qodiriyyah, ia kemudian memperoleh 40 macam kanuragan (kesaktian) baru. Dalam perjalanan kembali ke Pajang, ia menaiki perahu yang melaju di atas sungai Solo. Hal ini, sebagaimana dilanggengkan dalam tembang Jawa “Sigra milir, sanggethek sinangga bajul, kawandasa cacahipun“. Tembang ini adalah manifestasi budaya Jawa, yang dikenal hampir oleh setiap anak Jawa yang mengenal budaya daerahnya.
***
Kisah Jaka Tingkir di atas, di-“akhiri” oleh kisah–ketika ia mampir di pulau Pringgobayan. Kini, pulau itu bertaut dengan daratan yang menjadi jembatan yang menghubungkan antara Pucukrejo dan Paciran di Kabupaten Lamongan. Di tempat itulah, Jaka Tingkir singgah untuk mengisi air dan keperluan-keperluan lain, dalam perjalanan kembali dari Pulau Madura ke Pajang dekat Demak.
Dalam persinggahan itu, ia tertidur dan vision (rukyah, impian atau wangsit) yang dialaminya terjadi. Gurunya menyatakan hendaknya ia tak meneruskan perjalanan ke Pajang, melainkan tetap tinggal di Pulau tersebut. Untuk apa ia kembali ke Pajang, jika hanya untuk menuntut balas kepada Sutawidjaya?
Padahal, kanuragan yang dimilikinya tidak untuk merebut tahta kerajaan dari menantunya. Kalau hal itu dilakukan, ia hanya akan menjadi korban nafsu kekuasaan belaka. Dengan sendirinya, ia harus menahan diri dan mengembangkan sesuatu yang baru, yang harus dilakukannya tidak dari pusat kekuasaan di Pajang, melainkan dari tempat ia berada, yaitu di Pringgobayan.
***
Dengan demikian, lahirlah sebuah tradisi baru, yaitu adanya LSM di luar pusat kekuasaan Pajang. Ini adalah apa yang dirumuskan oleh Dr Taufik Abdullah dengan istilah hubungan multi-keratonik. Dalam hubungan seperti ini, selama “keraton kecil” menyatakan ketundukan nominal kepada “keraton besar” sudah dianggap cukup. Bahwa pihak peripheral mengembangkan diri dalam pola yang tidak dikehendaki oleh pusat kekuasaan, adalah sesuatu yang baru dalam sejarah bangsa kita.
Hubungan peripheral-pusat yang tidak simetris ini justru dipergunakan untuk pengembangan Islam tanpa merugikan agama Hindu dan Budha yang sedang berkuasa saat itu. Sedikit demi sedikit, agama baru yang datang terkemudian mengambil alih kehidupan agama-agama terdahulu, tanpa menimbulkan perbenturan yang berarti. Dengan cara ini, sesuatu yang baru telah menggantikan hal lama tanpa ada perbenturan politik yang dahsyat.
Ini berarti, LSM yang bergerak di akar rumput (grass roots) harus mengembangkan jati dirinya sendiri, hingga tidak harus mengikuti pola LSM-LSM internasional, kalau dikehendaki tidak ada perbenturan besar melawan sistem kekuasaan yang ada. Ini berarti keharusan bagi mereka untuk tidak bergantung pada dunia luar, tetapi menggunakan cara dan gaya hidup masing-masing yang benar-benar berasal dari rakyat. Di sisi inilah kita berharap banyak dari LSM-LSM kita, bukannya sesuatu yang didektekan dari luar.