Membaca Sejarah Lama (13)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Berbagai karya tulis tentang sejarah masa lalu kita, patut untuk diperhatikan. Sebagai contoh, dapat diambil kasus kedudukan orang kaya di berbagai daerah di negeri kita pada masa silam. Di Aceh, pemerintahan selama masa yang panjang dipegang oleh orang-orang kaya. Dengan melemahnya kedudukan mereka, yang terjadi karena perubahan struktur ekonomi dan perimbangan kekuatan militer, akhirnya mengakibatkan lemahnya pemerintahan kesultanan di daerah tersebut, dan orang-orang Belanda tinggal menyudahi kekuasaan mereka. Itu pun harus dilakukan dengan susah payah, terkenal dengan nama Perang Marsose yang berlangsung selama 40 tahun. Di saat itu, para ulama (Tengku Dayah) dan para panglima (Teuku) memimpin perlawanan terhadap pihak Belanda.
Di Sumatra Barat, peranan orang kaya juga tidak kecil dalam menentukan jalannya kehidupan masyarakat. Gelar seperti Rangkayo Rasuna Said menunjukkan besarnya peranan mereka. Mungkin ini disebabkan oleh kekuasaan berimbang antara para ulama dan pemuka adat. Keseimbangan kekuatan itu terlihat dari perang Padri yang berlanggsung selama 16 tahun, tanpa ada kekuatan pusat yang dapat menyudahinya. Baru pada tahun 1838 pasukan-pasukan kolonial yang dipimpin Jenderal de Kok dapat mengakhirinya.
Pepatah “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah” menunjuk pada kemacetan budaya itu. Dalam kenyataan, peranan pemuka adat dalam (ninik mamak) sangatlah besar pengaruhnya dalam perkawinan dan pembagian warisan, seperti tiadanya peran menentukan bagi sang ayah dalam kehidupan di daerah itu hingga akhir-akhir ini. Begitu pula yang menyebabkan kesediaan para intelektual Minang untuk menggunakan hukum Barat, dan penyebaran sangat luas kaum rantau Padang di seluruh Nusantara.
***
Lain halnya dengan daerah Banten. Di daerah itu, jelas terlihat dikotomi yang menjadi ciri utama masyarakat, antara ulama dan pejabat pemerintahan masa kini, bahkan dalam beberapa hal terlihat kekuasaan ulama menjadi sangat besar. Kaum Badui asli, terutama diwakili oleh para Karuhun, tampak didominasi oleh para penguasa pemerintahan. Terkadang, batas antara keduanya menjadi kabur, seperti halnya Kiai Chatib yang menjadi residen pada permulaan kemerdekaan dan memerintahkan dicetaknya mata uang Republik (ORI, Oewang Republiek Indonesia), di samping Kiai Syam’un-Cilegon –yang, untuk beberapa waktu, pada masa itu menjadi Bupati Serang.
Munculnya kekuatan ulama itu, disebabkan oleh pertentangan para pejabat (Santana melawan Nayaka) di masa lampau. Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kita masih menyaksikan munculnya Golkar, yang menguasai pemerintahan berhadapan dengan para ulama yang tergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pertarungan dimenangkan oleh Golkar yang juga mempunyai ulama-nya sendiri. Sedangkan, secara sosiologis mayoritas penduduk Banten adalah pengikut NU, seperti halnya para ulama Caringin dan Menes, dengan contoh alm. KH Nahid Abdurrahman (Ketua Umum Mathla’ul Anwar).
Ternyata, di balik pertentangan kepentingan antara kelas atas (elite) itu, masyarakat Banten juga menampilkan kelas
bawah (mayoritasnya adalah petani). Mereka inilah–yang, oleh Partai Komunis Indonesia, didorong untuk memberontak terhadap kaum penjajah pada tahun 1926, dan di-claim sebagai pemberontakan petani Banten. Pemberontakan bersenjata itu ditumpas dengan mudah oleh pemerintah kolonial Belanda, karena memang jumlah petani yang terlibat sangatlah sedikit. Terkenal tinjauan kritis yang ditulis oleh Hoesein Djajadiningrat, yang memberikan petunjuk yang jelas dan kritik yang pedas dalam hal ini.
***
Dalam hal ini, jelas tampak penting arti keterangan tertulis maupun lisan yang dapat dikumpulkan. Keterangan seperti itulah yang harus dicari para sejarawan kita, yang cenderung memperlakukan sumber-sumber hanya dari “bukti-bukti kesejarahan belaka”. Sedangkan yang tidak memiliki label “kesejarahan” tidak dianggap penting sama sekali oleh mereka, dengan akibat pengetahuan akan masa lampau kita sendiri menjadi sangat kecil. Sejarah hanya dimiliki oleh para pelaku formal dengan bukti-bukti resmi, dan di luar itu tidak dianggap memiliki autentika kesejarahan.
Dapat dipakai sebagai contoh dalam hal ini kasus tanda kesejarahan (coat of arms) berupa sebingkai ukiran kayu yang terkenal di masjid Demak, di samping mimbar. Kayu itu memperlihatkan seekor kura-kura/penyu dengan gambar sambaran halilintar di punggungnya. Ukiran penyu itu, menggambarkan ungkapan bahasa China yang berarti Raja berumur panjang (ban swie), dalam bahasa Jepang disebut banzai, yang diterapkan atas Raden Fattah sebagai pendiri kesultanan Demak. Sedangkan pancaran kilat/halilintar adalah gambaran Maulana Ishak at-Tabarqi yang menjadi keturunan orang-orang Carthago di Afrika Utara, yang dalam sejarah modern dikenal dengan nama Tabruk, tempat pertempuran tank antara Jenderal Jerman Erwin Rommel melawan Marsekal Inggris Montgomery dalam Perang Dunia ke II (di zaman Romawi dikenal dengan nama Cyrenaica dan pada masa pra-Romawi dikenal dengan nama Carthago).
Jelaslah dengan demikian, para sejarawan kita tidak dapat melakukan pilihan antara berbagai jenis keterangan historis Diperlukan waktu lama, untuk menggali dan mengangkat cerita-cerita tutur dan tertulis yang hidup di kalangan bangsa kita untuk menjadi sumber-sumber sejarah yang autentik. Segala macam keterangan itu haruslah diserap dan kemudian diolah untuk menjadi keterangan sejarah yang autentik. Begitu pula, kecenderungan-kecenderungan umum, seperti peranan orang kaya, pejabat/penguasa pemerintahan, ulama, para panglima dan rakyat biasa menjadi sumber yang sangat penting untuk mengenal sejarah kita sendiri di masa lampau. Cerita Kebo Ijo yang kian kemari memperagakan keris saktinya, yang kemudian digunakan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung dan mengakibatkan Kebo Ijo sendiri dihukum mati dengan tuduhan pembunuhan tersebut, juga menunjukkan arti penting dari intrik-intrik yang terjadi di kalangan para penguasa (abdi dalem keraton). Semua itulah yang harus dicernakan oleh para sejarawan kita, dan dengan demikian bentuk definitif sejarah kita masih sangat lama akan tercapai.