Ada yang Bermain dengan Pernyataan (Wawancara)

Sumber Foto: https://swaranesia.com/foto-bersejarah-bagi-gus-dur-dan-nu-langkah-awal-jajaki-politik-hingga-menuju-kursi-presiden/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pernyataan Abdurrahman Wahid yang menyatakan tidak bersedia lagi dipilih jadi ketua umum Tanfidziyah PBNU dalam Muktamar NU tahun depan banyak menimbulkan komentar. Gus Dur — panggilan akrab cucu mantan Menteri Agama K.H. Wahid Hasyim itu — sendiri merasa gerah dengan pemberitaan itu. Ia mensinyalir ada yang mem-blow up pernyataannya itu untuk kepentingan kelompok tertentu yang ingin merebut kedudukan pada pucuk pimpinan Golkar dalam Munas Partai Beringin, Oktober 1993 nanti.

Berikut komentar Gus Dur yang ditemui EDITOR di kantor PBNU pada Kamis (22/04) sore.

Alasan konkretnya di balik ketidaksediaan Anda dicalonkan kembali sebagai ketua umum PBNU itu apa?

Sudah jelas. Saya tidak mau terima saja. Dan saya mau mengurusi pengkaderan untuk masa depan. Saya kan sudah jenuh urusan administrasi dan saya sebagai ketua umum harus lari sana-sini, jarang di rumah. Nah sudah waktunya saya berhenti. Saya serahkan kepada tenaga yang lebih muda. Lalu, pekerjaan saya lebih strategis untuk menyiapkan ulama-ulama yang akan datang.

Apa ada istilah jenuh untuk perjuangan?

Bukan berjuangnya, tapi jenis pekerjaannya. Pekerjaan administratif di NU itu saya sudah jenuh.

Apa pernyataan itu bagian dari taktik Anda untuk mengukur kekuatan dan dukungan dari umat?

Ngapain saya ngukur kekuatan. Wong saya sudah niat kok. Saya ngomong gini kan sudah dua tahun lalu. Di NU sendiri saya sudah sering ngomong. Yang membesar-besarkan hanya media massa saja. Di suruh orang.

Apa ketidaksediaan Anda itu karena ada indikasi pemerintah sudah tidak sreg lagi dengan Anda, sehingga jika diteruskan akan merugikan NU secara keseluruhan?

Gitu itu, Sampean terlalu banyak mendengarkan orang-orang yang nggak ngerti urusan NU. Yaitu orang intern NU yang cara berpikirnya masih politis terus. Yang namanya pemerintah itu siapa? Satu keputusan pemerintah itu kan kolektif. Itu jelas, pihak birokrasi dan ABRI nggak bolehin saya keluar sekarang. Paling, pihak politisi saja.

Lho alasan mereka apa?

Karena, mereka kan lebih pusing. NU tanpa saya jadi ketua umum akan buat pusing bagi pemerintah. Itu saja sudah kelihatan.

Kenapa?

Ya… NU yang berantem nggak habis-habis kan saya yang dari dulu nalangi pemerintah supaya nggak jadi ruwet he… he. Lihat saja pada pemilihan gubernur. Kiai ini mendukung si A, Kiai yang lain dukung B. Apa nggak pusing pemerintah he… he. Dulu waktu saya baru beberapa bulan jadi ketua umum, Kiai As’ad Syamsularifin sudah nge-bom Pak Pardjo Rustam (almarhum yang waktu itu Mendagri) untuk menggantikan Naro sebagai ketua umum PPP dengan orang NU. Beliau pusing banget. Lalu cari saya, panggil saya. “Bagaimana Cak Dur?” katanya. “Ah nggak usah Pak, NU nggak usah politik-politikan,” kata saya. Lha kalau gitu kan yang untung pemerintah. Jadi, nggak ada saya, berarti nggak ada yang noto. Nah sekarang saya sendiri berpendapat itu sudah terlewati dengan baik dan sudah ada tenaga-tenaga yang baik yang dapat berperan seperti itu.

Tetapi, di bawah kepemimpinan Anda, terkesan NU sangat kritis terhadap pemerintah. Misalnya soal kebulatan tekad, NU tidak bersedia melakukan?

Mana yang kritis. Tidak bersedia bukan berarti kritis kok. Itu nggak ada urusannya dengan pemerintah. Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) juga nggak bikin kok. Pantesnya, NU juga janganlah. Mestinya MUI juga jangan. Malah orang bilang, “Oh untung ada NU,” kalau nggak, kita goblok kabeh.

Tetapi, keterlibatan Anda di Forum Demokrasi kan membuat pemerintah tidak senang?

Pemerintah itu ketawa saja yang namanya Forum Demokrasi itu.

Namun, baru-baru ini ada pernyataan yang nadanya kurang suka dari Pangdam Jaya terhadap Forum Demokrasi?

Ah, itu konsumsi pers saja. Sampean jangan percaya. Wong saya dengan Hendro itu telpon-telpon kok. Coba gimana sih. Silakan deh tanya tentara-tentara itu. Hubungan NU dan ABRI itu tak ada masalah. Dan mereka tidak segitu gila menganggap Forum Demokrasi. Lagian, Hendro setelah itu ngirim orang ke saya kok. “Pers itu salah muatnya, sebenarnya nggak begitu,” kata dia.

Dengan ketidaksediaan Anda menjabat lagi, berarti hanya menjabat selama dua periode. Apa ini juga akan diterapkan di NU tingkat daerah/wilayah?

Nggak Di PB juga nggak ada aturan begitu. Kalau Chalid Mawardi beranggapan bahwa habis ini Muktamar akan membatasi itu, saya sih nggak percaya. Sebaliknya malah, mereka akan bikin gerakan supaya saya tetap jadi ketua dan mereka akan menolak usulan kayak gitu. Ini kan soal momentum.

Tentang erosi moral di NU yang Anda katakan, apa itu karena sosialisasi khitah belum mendalam diterapkan ke bawah?

Nggak. Khitah itu dilahirkan atau dikeluarkan untuk mengerem proses erosi moral itu. Khitah itu kan suatu cara untuk mengantisipasi sesuatu. Dalam prosesnya kan lama. Seperti kiai-kiai yang dukung gubernur Itu kan sudah erosi moral, artinya NU sudah kena kepentingan orang luar.

Ada analisa yang menyatakan bahwa Anda itu lebih cocok sebagai penggagas besar dibandingkan sebagai organisatoris?

Biar saja orang ngomong begitu. Buktinya kan saya terpilih. Yang tentukan kan bukan mereka. Sekarang boleh saja ukur kalau saya tidak pantas sebagai pimpinan organisasi. Kenapa saya digandoli oleh cabang-cabang. Anehnya, yang ngomong gitu malah nggak pernah dapat angin. Mereka itu saya tahu semua, mereka itu justru yang saya angkati dalam Pengurus Besar NU kemarin. Nggak ada saya, mereka akan hancur semua nanti. Coba lihat kalau dilepas pilihan lho yah, hancur semuanya mereka.

Bagaimana nasib program ekonomi NU nantinya setelah Anda tidak lagi jadi ketua umum?

Program itu akan terus berjalan. Kita nggak gegabah begitu saja.

Setelah tidak jadi ketua umum di mana posisi Anda yang tetap?

Saya tetap di PBNU, cuma berubah posisi Saya akan bertanggungjawab masalah pengembangan keulamaan, menciptakan jaringan ulama-ulama muda yang nantinya akan memegang NU di atas tahun 2000 ke sana. Itu kan makan waktu, makan tenaga. Jadi saya ini tidak ninggalin NU. Saya hanya mundur dari ketua umum.

Sinyalemen Anda bahwa ada orang yang ingin guncangkan NU, bagaimana?

Ya, ada orang yang ingin menggoncangkan NU, supaya NU tidak ikut campur dalam masalah Munas Golkar yang akan datang. Itu kan berdasarkan pemahaman mereka kan. Ya terus terang saja, sekarang ini kan kalau mau dibilang sebenarnya, pergolakan Munas itu dimulai dari masalah pengangkatan para gubernur. Sekarang ini kan ada adu otak-lah. Adu kekuatan dalam masalah gubernur-gubernur.

Kalau gubernurnya itu nanti di enam daerah orang-orang ABRI, dengan sendirinya lebih besar kemungkinan bagi orang yang pendukung Mabes ABRI untuk menjadi ketua umum Golkar. Nah, saya lihat calon kuat dalam hal ini Pak Hartas. Nah begitu. Jadi kalau dalam masalah gubernur in ternyata bukan orang-orang yang didukung ABRI yang menang, yaitu berarti seret perjalanan calon ABRI untuk menjadi ketua umum Golkar. Tentu dari pihak lain ada yang masuk kan. Mungkin orang yang didukung Pak Habibie, iya kan? Kan negara ini merdeka, boleh-boleh saja nyalonin siapa saja. Lha, karena sejumlah ulama NU di daerah itu terlibat dalam dukung-mendukung soal gubernur, lalu dianggap NU ini membantu. NU ini dianggap membantu ABRI untuk merebut sekian gubernur itu. Lha ini kan punya dampak, berarti NU ikut dalam percaturan menjelang Munas Golkar. Pada hal tidak.

NU tidak akan ikut percaturan itu. Adapun kiai-kiai yang mendukung sekarang itu kan maunya sendiri-sendiri, nggak ada perintah dari PBNU Kita malah melarang. Ya, itu bukan kewajibannya untuk mendukung orang. Mereka bukan atas NU, pribadi masing-masing. Lha ini ada orang yang menangkap salah, gitu Iho Kesan salah tentang NU. Silakan, karena NU, lalu mau digoncang-goncang, ya saya kasih tahu. Tidak segampang itu goncang-goncang NU, karena NU sudah matang.

Jadi masalah saya akan mengakhiri pekerjaan sebagai PBNU, itu masalah kecil kan. Tahu-tahu ada wartawan nanya pada saya, jadi mundur apa nggak, jadi berhenti apa nggak. Saya pikir begitu-begitu aja kan. E….. di blow up RRI, TPI, dan Antara menyebarkan secara luas. Format beritanya itu sama, oh berarti yang menginjinir masalah ini supaya keluar kepermukaan, sehingga warga NU akan gelisah, akan ini-itu. Saya ketawa aja. Ya rame sih rame, gelisah nggak. Wong buktinya saya tenang-tenang saja. Jadi, dengan kata lain, mereka akan malu sendiri.

Mula-mula mau timbul reaksi, nggak. Adapun reaksi, yang juga datangnya dari orang-orang itu saja. Misalnya, Yusuf Hasyim, dr. Muhammad Taher, Chalid Mawardi. Orang-orang itu sudah kelihatan sekali sikapnya. Jadi orang-orangnya yang itu-itu juga yang bicara. Jadi nggak ada efek apa-apa ke bawah. Lha, buktinya saya bicara di Jawa Tengah, Konferensi Wilayah NU, nggak ada apa-apa. Saya dengan Pak Mustofa Zuhad.

Apa benar hubungan NU dengan ABRI memang mesra?

Ya dengan semua NU mesra. Dengan Golkar juga sebetulnya mesra. Cuma beberapa tokoh Golkar saja yang konyol. Belum bisa menganggap begini-begitu.

Tetapi, kesannya seperti itu?

Ya terserah saja. Saya tidak repot dengan kesan kok.