Akan Pecahkah NU?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Muktamar ke 31 di Asarama Haji Donohudan (Boyolali) ternyata membawa hasil yang dapat dikatakan mendua. Di satu sisi, ada harapan (dan tentu saja ada ketakutan) NU tidak terpecah belah. Di pihak lain, ada keinginan agar NU membenahi diri karena Muktamar ke-31 itu ternyata ‘dikuasai’ oleh para pengurus ‘jorok’. Tentu saja kejorokan itu sudah dimulai, sejak beberapa tahun yang lalu yaitu ketika Hasyim Muzadi “menyeret” NU struktural ke kancah politik praktis. Maksud yaitu bukannya pencalonan Hasyim Muzadi sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Megawati Soekarnoputri yang menjadi Calon Presiden waktu itu. Tetapi dalam cara bagaimana Hasyim Muzadi ‘memaksakan’ agar seluruh jajaran NU mendukung kemenangan pasangan calon itu dengan menggunakan ‘kekuasaan organisatoris’ sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU (Ketum PBNU). Ia melanggar semua aturan permainan yang sudah ditetapkan oleh berbagai forum NU sejak dahulu yaitu sebagai organisasi, NU tidak berpolitik.
Rais ‘Aam PBNU sebagai otoritas tertinggi di lingkungan NU, ternyata hanya berdiam diri saja dan tidak melakukan disiplin organisasi secara ketat. Hal terjauh yang dilakukannya, adalah menyatakan Hasyim Muzadi non aktif, dan mengangkat/menetapkan Masdar Farid Mas’udi sebagai PjS (Pejabat Sementara) ketua umum PBNU. Ia tidak pernah mencoba ‘mengerem’ pengurus-pengurus daerah dan panitia muktamar di tingkat pusat maupun daerah untuk tidak menggunakan ‘kebutuhan politik’ mendukung Ketua Umum PBNU dalam pencalonan, maupun dalam kampanye. Akibatnya justru banyak pengurus NU di tingkat cabang (kabupaten dan kota madya) dan wilayah (di tingkat propinsi), justru membentuk solidaritas kelompok yang berdasarkan kebutuhan politik praktis itu. Inilah yang sebenarnya dirisaukan oleh banyak kalangan kultural/budaya di lingkungan NU sendiri, dan ini pula yang menjadi keprihatinan para kyai sepuh.
Tetapi itu semua dianggap sepi oleh Hasyim Muzadi dan kawan-kawan. Rais ‘Aam KH. A.M Sahal, seperti sudah dapat diduga sebelumnya hanya bersikap pasif saja. Demikianlah ketika tanggal 1 Desember 2004 penulis menanyakan ketegasan sikap beliau dan hanya memperoleh jawaban pasif saja. Penulis meminta baik secara tertulis maupun lisan, mereka yang ternyata melakukan tindakan politik praktis tidak diperkenankan menjadi anggota PBNU hasil Muktamar ke-31 itu, beliau hanya menjawab dengan air mata terurai bahwa beliau tidak dapat melarang Hasyim Muzadi menjadi calon Ketua Umum PBNU.
Padahal beliau punya wewenang untuk itu menurut tata tertib Muktamar. Apa motif sebenarnya dari sikap beliau tersebut tidaklah begitu penting bagi penulis, karena segera penulis bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta keesokan harinya. Namun antara jam 7-8 malam penulis diminta oleh para sesepuh NU, dan diberi tugas tertulis untuk membentuk sebuah organisasi baru, karena yang lama sudah lepas kendali. Beberapa hari kemudian penulis di panggil beliau-beliau itu, ke Pesantren Buntet, Astanajapura (Cirebon), penulis mendapat “perintah pelaksanaan” dari apa yang menjadi gagasan tersebut.
Perintah baru itu pada dasarnya meliputi tiga hal. Pertama, jangan ada deklarasi dan upaya apapun untuk mendirikan secara formal organisasi baru itu, di luar Muktamar Luar Biasa yang akan diselenggarakan bulan Juni 2005. Kedua, untuk menghindarkan hal-hal konfrontatif dalam pembentukan organisasi itu. Ketiga, mengulur waktu begitu rupa sehingga persiapan pembentukan wadah baru itu akan berakibat sangat panjang, setelah kita dapat mengatasi krisis multidimensial. Dengan demikian, kebutuhan untuk menggunakan sumber-sumber dalam negeri kita, bagi kemakmuran sebesar-besarnya jumlah penduduk untuk keadilan dapat tercapai.
Sebuah analogi (qiyas) dapat dibangun dalam hal ini. Pada 2 Mei 1982 ‘para sesepuh NU’ bertemu di rumah KH. Maskur Jl. Imam Bonjol No. 22 (Jakarta Pusat), kemudian mendatangi rumah DR. KH. Idham Chalid (jalan Mangunsarkoro) untuk memintanya menggundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU. Dua hari kemudian, penulis bersama-sama dengan Dr. Fahmi Syaifudin (ipar penulis sendiri) mendatanginya. Ketika penulis bertanya, mengapakah ia memenuhi permintaan itu, padahal itu akan membawa perpecahan sangat dalam di tubuh NU sendiri? Untuk menghindarkan hal itu, ia menyetujui penunjukan H. Chalid Mawardi untuk menjadi ‘manajer’ kelompok Cipete. Penulis sendiri berhasil ditunjuk menjadi ‘manajer para kyai’. Dengan Dr. Fahmi Syaifudin menjadi penghubung antar kedua orang ‘manajer” itu. H. Chalid Mawardi dan penulis melakukan hal itu utnuk dua tahun lebih lamanya.
Kami berdua, bersama-sama Dr. Fahmi Syaifudin menggunakan kantor yang sama di Kramat Raya No. 164 Jakarta-pusat. Demikianlah pula, kami berdua sama-sama menggunakan staff PBNU yang itu-itu juga. Serta kertas kop surat yang sama pula. Demikianlah, dengan menggunakan kecerdikan otak, pertikaian dalam NU tidak berkembang menjadi perpecahan. Hal itu sangat diperlukan, karena sekarang inipun NU masih diharapkan oleh siapapun di negeri kita. Penulis masih ingat, bahwa sebenarnya sama-sama dapat dijaga keutuhan NU asalkan benar-benar semua mengabdi kepada kepentingan orang banyak dan tidak menguntungkan kepentingan pribadi. Jika ia mau ‘membiarkan’ NU sebagai sesuatu yang terpecah belah, DR. Idham Chalid dapat saja ‘berkeras’ untuk menjadi calon Ketua Umum PBNU kembali dalam Muktamar NU ke-26 di Pondok Pesantren KH. As’ad Syamsul Arifin di Asembagus (Situbondo). Namun ia rela berhenti, demi kesatuan dan ‘nasib’ NU. Demikianlah sikap kesatria yang ditujukan DR. Idham Chalid. Apapun kata orang tentang dirinya, ia telah menunjukkan bahwa kepentingan NU (termasuk kepentingan politik dari organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia itu) adalah pegangannya. Mungkin hal itu telah dilakukannya, karena ia telah lebih dari seperempat abad menjadi Ketua Umum PBNU. Sedangkan Hasyim Muzadi baru lima tahun menjadi Ketua Umum PBNU, sedangkan ia merasa masih dapat menjadi wakil presiden dalam pemilu tahun 2004 lalu. Tentu saja hal itu adalah teka-teki atau perkiraan yang sulit untuk diperhitungkan kebenarannya itu, sebelum berlangsungnya Muktamar NU ke-31 tersebut. Tetapi sekarang, dengan ‘larinya’ para sesepuh dan umat NU dari tokoh tersebut, dapatlah diperkirakan bahwa dukungan terhadap tokoh NU itu akan semakin menyusut, jika ia berkeras menjadi calon dalam pemilu yang akan datang. Demikian pula ‘ketegaran’ sikapnya untuk ‘memperbaiki’ struktur dan kelembagaan NU, akan “berhadapan” dengan budaya/kultur NU itu sendiri. Jika hal ini terjadi, maka apa yang diinginkannya untuk membuat NU jaya dikemudian hari, apapun bentuk kejayaan itu, akan mengalami kegagalan dalam pelaksanaanya. Dengan demikian impian sementara kalangan untuk menjadikan NU ‘maju’ atas dasar perhitungan mereka sendiri, jelas akan gagal dan tidak tercapai dalam bentuk kongkrit. Inilah perhitungan rasional yang dapat dilakukan dalam hal ini, dengan hasil perkembangan keadaan dalam tubuh NU.
Kita sudah tidak lagi dipimpin oleh tokoh-tokoh pelaksana yang memiliki kemampuan menggabungkan yang struktural dan cultural. Tokoh-tokoh seperti KH. Mahfud Sidik, Abdullah Ubaid, A. Wahid Hasyim, dan Ahmad Sidik. Kemampuan mereka ‘menggabungkan yang lama dan yang baru’ sangat mengagumkan. Pada tahun 1952, A. Wahid Hasyim dalam Muktamar Palembang ‘terpaksa’ membawa NU ke kancah politik, tetapi unsur-unsur kulturalnya masih sangat besar. Kemudian dengan susah payah NU ‘kembali ke khitah 1926’, yang berarti melepaskan diri dari dunia politik praktis. Lalu, haruskah NU kembali ke dunia politik praktis? Para sesepuh, yang didukung oleh kaum muda yang sadar dan umat yang demikian besar, menyatakan tidak setuju. Nah, kalau PBNU tetap berkeras untuk berada di lingkungan politik praktis, bukankah itu akan berarti NU akan menjadi terpecah? Sebenarnya, hal seperti itu sudah menjadi ‘biasa’ dalam perkembangan sejarah manusia, bukan?