Akhirnya Toh Mendukung Pansus

Sumber foto: https://populis.id/read46154/dikhianati-amien-rais-cs-tahun-1999-megawati-mestinya-saya-jadi-presiden-jangan-lupa?page=all

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Dr Amien Rais, tiba dengan selamat di Pondok Pesantren (PP) Buntet Astanajapura (Cirebon), disertai Fuad Bawazier, dan Al Hilal Hamdi. Di sana, ia menanyakan kepada para Ulama yang berkumpul, dapat atau tidaknya penulis dicalonkan untuk menjadi Presiden RI. Pertanyaan itu diajukannya beberapa waktu sebelum penulis terpilih dalam sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999. Pertanyaan itu, lalu dijawab oleh KH Abdullah Abbas, pengasuh Pondok Pesantren tersebut yang mewakili para Ulama lain dari berbagai tempat di seluruh pulau Jawa, bahwa mereka tidak pernah meminta penulis untuk dicalonkan. Sikap itu datang dari kekhawatiran–jangan-jangan, nantinya dalam waktu dua bulan akan dilengserkan, atas permintaan Dr Amien Rais.

Tokoh itu, menjawab bahwa hal itu tidak akan terjadi. Demikian juga, diperlukan pencalonan penulis untuk jabatan tersebut, untuk menghindarkan pertumpahan darah jika Megawati Soekarnoputri, seorang perempuan, terpilih menjadi Presiden RI. Maka, untuk menghindarkan pertumpahan darah dan untuk memenuhi sumpah Dr Amien Rais bahwa tidak akan terjadi pelengseran seperti itu, akhirnya para Ulama yang berkumpul itu sepakat untuk memerintahkan penulis agar bersedia dicalonkan dalam sidang umum MPR tersebut.

Dan, ketika disampaikan pada penulis, penulis mengambil sikap menuruti perintah tersebut, karena menyadari adanya supremasi Ulama/Kiai dalam urusan Nahdhatul Ulama (NU). Padahal, saat itu, penulis adalah ketua umum PBNU, direncanakan hingga tahun 2000.

Dasar dari sikap Amien Rais itu adalah sikap kebanyakan para Ulama/Kiai yang menolak kepemimpinan orang perempuan dalam masalah pemerintahan. Dengan berpegang pada kaidah fiqh (hukum Islam) “mencegah kerusakan/ kerugian diutamakan atas upaya mendatangkan kebaikan” (dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih), maka penulis menerima perintah tersebut. Pendirian penulis itu, sesuai dengan firman Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur’an: “Akan kuperlihatkan kepada kalian tanda-tanda kekuasaan-Ku, karena itu janganlah bergegas” (saurikum âyâtî fa la tasta’jilûn), yang menurut penulis menjadi dasar bagi pemeo Jawa “aja nggege mangsa“.

*****

Beberapa waktu kemudian, penulis didatangi Dr Amien Rais dan Ir Akbar Tandjung, yang menyatakan semua organisasi Islam menginginkan Prof. Dr Ing. Habibie, waktu itu menjabat sebagai Presiden RI, untuk mengundurkan diri dari pencalonan jabatan tersebut. Untuk itu, delegasi haruslah dipimpin oleh penulis, walaupun PBNU sendiri belum pernah mengadakan rapat untuk mengambil keputusan tersebut. Penulis menerima permintaan itu karena tidak ingin NU dianggap merintangi kehendak tersebut. Segera saja, dimintakan waktu bagi delegasi itu untuk menghadap Presiden Habibie. Pihak Habibie memberikan waktu pada delegasi untuk bersarapan pagi di rumah beliau (Kuningan-Jakarta), tiga hari setelahnya.

Ketika memimpin delegasi tersebut, tepatnya setelah sarapan pagi, penulis menyatakan kepada Habibie bahwa apa yang akan diuraikannya adalah atas permintaan organisasi-organisasi Islam. Hal itu janganlah sampai merusak hubungan penulis dengan beliau, yang dijawab tokoh kita itu dengan ungkapan kehormatan Gus Dur adalah kehormatan beliau, dan begitu sebaliknya. Baru setelah itu, penulis mengemukakan bahwa ia memimpin delegasi yang meminta agar beliau mengundurkan diri dari pencalonan untuk jabatan Presiden RI. Penulis kemukakan hal itu, tanpa tedeng aling-aling, dan tanpa menyatakan PBNU belum pernah membuat rapat untuk itu. Prof. Habibie dengan tenang meminta keterangan Dr Amien Rais, adakah itu keputusan organisasi yang dipimpinnya? Sedangkan Akbar Tandjung, saat itu, tidak tampak batang hidungnya, tanpa mewakilkan pada orang lain. Begitu pun juga Mathori Abdul Djalil tidak tampak, tapi diwakili oleh Dr Alwi Shihab. Amien Rais menjawab, bahwa DPP PAN belum pernah bersidang untuk itu, hingga apa yang dikemukakan penulis adalah pendapat pribadinya.

Mendengar jawaban itu, Presiden Habibie meminta Menteri Muladi untuk mencari Akbar Tandjung. Sementara itu, para pembicara lain, termasuk Yusril Ihza Mahendra berbicara tentang hal tersebut dalam berbagai ungkapan. Juga, Alwi Shihab menyatakan bahwa keputusan terakhir ada di tangan beliau, tapi hendaknya pengambilan keputusan itu dilakukan setelah Habibie melakukan shalat/sembahyang istikharah. Dalam pada itu, Akbar Tandjung tiba di tempat, dan ia pun menyatakan keputusan itu adalah sikap pribadi, karena DPP partai Golkar belum pernah bersidang untuk membicarakannya.

KH Syukron Makmun, yang memimpin Partai Nahdlatul Ummat (PNU), dengan berbisik menanyakan pada penulis, apa yang harus dilakukan. Penulis hanya menyatakan sebaiknya Kiai Syukron Makmun menutup pertemuan itu dengan do’a, yang segera dilakukannya setelah itu. Ketika kemudian Habibie dengan akrab menemani penulis menuju kendaraan, ia meminta pada Akbar Tandjung untuk tidak meninggalkan tempat. Penulis tidak tahu apa yang menjadi isi pembicaraan antara mereka berdua, walaupun semula menyatakan kepada Akbar hendaknya shalatnya-apakah hal itu dilakukan dalam keadaan Akbar Tandjung sendiri masih muslim atau tidak.

*****

Kalau dalam kedua kasus di atas Amien Rais tampak mengambil keputusan pribadi dengan dorongan ambisi pribadinya sendiri, dalam kasus pembentukan pansus DPR RI tentang Akbar Tandjung ia justru berpegang pada suara hati nurani, yang sesuai dengan kehendak rakyat. Hal inilah yang harus dicatat, karena orang tidak selamanya berbuat kesalahan. Maka, akan efektifkah keputusan itu? Ini semua, tergantung sepenuhnya kepada Megawati Soekarnoputri, artinya tergantung pada keputusan Fraksi PDI-P di DPR kita. Hal ini penting untuk dikemukakan, guna kepentinggan penulisan sejarah kita, kini dan masa mendatang.