Antara Kebanggaan dan Kekecewaan

Sumber Foto: https://www.indosport.com/sepakbola/20210211/mengenang-final-piala-dunia-1994-duel-para-bintang-sarat-trauma

Ulasan Piala Dunia 1994

Oleh: K.H. Abdurraman Wahid

Ketika Belgia dikalahkan dalam pertandingan semifinal putaran akhir piala dunia beberapa tahun yang lalu, rakyat Belgia justru menyambut kepulangan mereka dengan penuh antusiasme. Mereka bersyukur atas kemampuan tim kesayangan mereka untuk sampai ke putaran tersebut dan tidak melihat lebih jauh dari itu. Kekalahan pada level yang tidak terduga sebelumnya dapat diraih, adalah sebuah kehormatan. Bahkan putaran akhir Piala Dunia 1990 menyajikan kebanggaan rakyat Mesir akan prestasi tim nasional mereka, yang mampu menahan Belanda dengan angka seri 0-0. Padahal waktu itu ada trio top Marco van Basten, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Tak heran bila Presiden Husni Mubarak langsung mengumumkan hari esoknya sebagai hari libur nasional.

Orang Mesir berhak saja untuk merasakan hasil imbang itu sebagai prestasi luar biasa. Kalau para penyerang Mesir tidak dapat menembus benteng pertahanan Belanda; Adrie van Teglen, Ronald Koemann dan Woutres, itu bukanlah berita besar. Hanya Italia dan Jerman Barat saja yang dapat menggedor pertahanan tim Oranye waktu itu. Tetapi bahwa trio penyerang Belanda di atas tidak dapat menembus pertahanan Mesir, itu adalah berita yang luar biasa bagi rakyat negeri lembah Sungai Nil itu.

Sebaliknya, kegagalan Jerman mengalahkan Bulgaria dalam putaran akhir piala dunia kali ini tentu menimbulkan kekecewaan sangat besar di negeri bir tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa memang tim Jerman sudah mandul dan tidak produktif lagi. Buktinya, gol balasan tunggal Jerman itupun tercetak dari tendangan dua belas pas hasil akal-akalan Juergen Klinsmann yang menjatuhkan diri di kotak penalti lawan. Bukannya hasil kombinasi serangan yang tajam dan efektif dari para gelandang menyerang Jerman yang dialirkan melalui dua ujung tombak Klinsmann dan Rudi Voeller.

Apa pula kekalahan Argentina yang menyesakkan dada Basile dan tim asuhannya dalam putaran perempat final Piala Dunia 1994 ini. Tim Argentina jelas lebih unggul dalam penguasaan teknik atas bola dan secara keseluruhan lebih baik kualitas para pemainnya. Katakanlah sebuah kesebelasan tingkat A berhadapan dengan kesebelasan yang waktu itu masih dianggap pada taraf tingkat B plus, atau maksimal A minus. Namun dalam kenyataan, perolehan gol Argentina memang kalah banyak, dan dengan demikian tim cemerlang itu harus rela tersingkir lebih dini dari yang diduga.

Walaupun Belanda kali ini dikalahkan dalam putaran perempat final dan bukannya semifinal, namun kekecewaannya tidaklah begitu besar. Pertama karena memang tim tersebut adalah “rakitan baru” yang belum jauh berkembang. Hasil itupun sudah merupakan ketepatan arah pengembangan strategi yang ditempuh pelatih Dick Advocaat. Sebab lain yang membuat kekecewaan tidak begitu besar adalah kenyataan pemenang yang mempecundangi Belanda itu adalah Brasil, yang sedang berada puncak siklus yang secara maksimal dapat dicapai pada saat ini. Kualitas pertandingan tersebut juga menampilkan sajian yang dapat dianggap sebagai “final sebenarnya” (real final) putaran akhir Piala Dunia 1994 ini.

Sebaliknya, pertandingan perempat final melawan Swedia hasilnya sangat menyesakkan dada bagi Rumania. Kepiawaian mereka mengalahkan berbagai tim puncak dunia dalam putaran penyisian dan perdelapan final ternyata dihentikan oleh tembok pertahanan Swedia yang dikombinasikan dengan serangan balik yang efektif oleh trio Thomas Brolin, Martin Dahlin dan Kennet Andersson. Efektifitas serangan Hagi dan Raducioiu dikombinasikan dengan ketajaman gebrakan Pupescu dan Lupescu, yang bahkan masih ditunjang oleh gebrakan maut dari Dumitrescu ternyata sia-sia saja hasilnya. Terkumpulnya “kaki penyerang” (attacking feet) di kubu Rumania sebanyak itu tidak mencapai momentum cukup untuk meloloskan tim itu ke putaran semifinal.

Sesak napas yang menyakitkan juga dirasakan oleh Swedia, dalam pertandingan berikutnya. Setelah berhasil mengembangkan cara bertahan yang efektif menghadapi ketajaman para penyerang Brasil, tim asuhan Tommy Svensson itu harus menelan kenyataan pahit tembok pertahanannya dihancurkan Brasil akibat diusirnya kapten Jonas Thern keluar lapangan oleh wasit. Setelah mampu mengimbangi permainan Brasil selama 80 menit dan membuat prustasi para penyerang lawan sekaliber Romario dan Bebeto, alangkah sesak dada Brolin dan kawan-kawan oleh kemalangan tersebut.

Berangkat dari kenyataan inilah, harus dimengerti ucapan Therm seusai pertandingan, bahwa pertandingan penentuan tempat ketiga dan keempat melawan Bulgaria tidak ada artinya. Menurut Thern yang kemudian diperkuat Svensson, sangat sulit membangkitkan kegairahan bertanding semaksimal mungkin setelah mengalami kekecewaan demikian berat. Bahkan mereka sempat mengeluarkan sebuah usulan agar pertandingan seperti itu ditiadakan saja dalam kompetisi akbar sejagat tersebut. Seperti halnya dalam putaran akhir Piala Eropa. Jadi lampu sorot hanya terpusat pada mereka yang memenangkan putaran semifinal, bukannya yang kalah.

Namun, luapan emosi itu ternyata tidak diikuti oleh kejatuhan semangat juang tim Swedia tersebut. Tim asuhan Svensson memenangkan posisi ketiga putaran akhir Piala Dunia 1994 dengan menundukkan Bulgaria melalui skor telak 4-0. Swedia tampil dengan keyakinan penuh akan apa yang dicarinya. Pembuktian bahwa strategi bertahan-plus-serangan-balik secara kreatif adalah sebuah cara bermain bola yang efektif. Kekalahan dari Brasil karena kemalangan dikeluarkannya kapten kesebelasan Thern dari lapangan tidak mengurangi keabsahan strategi yang diterapkan Svensson itu.

Keyakinan itulah yang membuat Swedia lalu mengamuk bagaikan banteng ketaton dan memenangkan pertandingan tersebut. Walaupun tentu saja didukung oleh tidak jelasnya bagaimana keinginan Bulgaria untuk memenangkan pertandingan akan diwujudkan. Serangan-serangan tanpa tujuan yang jelas dari pihak Bulgaria sudah tentu tidak akan dapat menjebol ketatnya pertahanan Swedia kala itu. Tanpa kapten Thern, kualitas tim Swedia ternyata tetap unggul dan sanggup memberkan legitimitas kepada strategi pelatih Svensson.

Sungguh tipis batas antara kekecewaan dan kebanggaan dalam hal ini. Kekecewaan akibat kekalahan yang tidak seharusnya diderita, dan kebanggaan dapat membuktikan validitas strategi permainan yang dianut tim. Dari hal-hal seperti ini, bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepakbola? Sepakbola merupakan bagian kehidupan atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan sebuah unsur penunjang sepakbola?