Apa yang Kau Cari, NU?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Judul di atas penulis ambil dari sebuah karya Asrul Sani –judul aslinya Apa yang Kau Cari Adinda?– yang notabene adalah pendiri LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) bersama Almarhum Usmar Ismail, yang merupakan salah satu organisasi dalam lingkungan NU (Nahdlatul Ulama) menjelang munculnya Orde Baru. Mengapakah judul tersebut digunakan penulis untuk menuliskan artikel ini? Mengapakah penulis sampai pada kesimpulan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan di atas memang harus dikemukakan saat ini, karena perkembangan politik kita sampai pada hal-hal tadi. Karena demokrasi kita sampai hari ini baru menghasilkan tegaknya beberapa institusi/lembaga, namun tradisi berdemokrasi belum tumbuh. Padahal kedua hal itu -institusi dan tradisi-, sama-sama diperlukan dalam keseimbangan untuk mengatur berbagai aspek pemerintahan dan aspek kehidupan masyarakat.

Dalam aspek hukum, adalah hal yang sangat mengejutkan ketika seorang perwira Polri memberikan pengakuan kepada penulis bahwa isi surat forensik mengenai sebuah kejahatan tidak pernah digunakan dalam penyidikan perkara di hadapan pengadilan. Digabungkan dengan santernya berita mengenai pembayaran uang kepada hakim-hakim kita dalam tiap perkara, terkenal dengan nama mafia pengadilan. Kasus-kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya penegak kedaulatan hukum berjalan di negeri kita. Walaupun kita memiliki institusi-institusi yang diperlukan untuk pelaksanaan demokrasi (seperti MPR, DPR, BPK, MA, dan BI), namun dalam kenyataannya lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki tradisi berdemokrasi. Karenanya kita lihat bagaimana sekarang pihak-pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif saling bersitegang di dalam maupun antarlembaga untuk memperoleh kekuasaan terbanyak, tanpa mengingat batas-batas kekuasaan pihak lain.

Dengan demikian sudah waktunya kita sebagai warga NU berpikir dengan mendalam akan perlunya tradisi berdemokrasi bagi kita. Karena itulah penulis menggunakan judul di atas, sebagai pernyataan pikiran penulis, mengenai betapa pentingnya tradisi berdemokrasi itu. Artinya, orang akan giat berdemokrasi jika ia tahu apa yang dituju dengan terwujudnya hal tersebut. Hal ini juga berlaku bagi kita semua, yang tergabung dalam lingkungan NU. Pertanyaannya menjadi: Apakah yang diinginkan NU dengan berdemokrasi? Jawaban atas hal ini akan menghasilkan peranan NU dalam proses demokratisasi di negeri ini, yang kemudian menjadi bagian dari kesadaran berdemokrasi bagi kalangan lebih luas di negeri ini. Karenanya jawaban dari NU itu akan menjadi sangat penting, karena bagaimanapun juga NU adalah bagian penting dari kesadaran bangsa itu. 

*****

Pada saat ini, bagian dari NU yang muncul ke permukaan dalam bentuk PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) adalah bagian mutlak dari kehidupan politik bangsa ini. Karena ia menjadi salah satu dari empat besar yang menang dari Pemilu 1999. Bahkan penulis berkeyakinan, semua indikator menunjuk PKB menjadi pemenang terbesar dalam pemilu bulan April 2004 nanti. Oleh sebab itu, PKB akan bertanggung jawab lebih dari yang lain mengenai nasib bangsa ini di masa depan, karena ia akan membentuk pemerintahan sendiri tanpa keikutsertaan pihak-pihak lain. Ini bukan karena kesombongan, melainkan karena harus ada pihak yang dimintai pertanggungjawaban di masa depan tentang nasib perjalanan bangsa. Jangan seperti sekarang, tidak ada pihak yang merasa bertanggung jawab tentang kehidupan bangsa kita dewasa ini. 

Sebuah gambaran yang nyata tentang hal ini, adalah dua kejadian penting: Manuver pesawat terbang F-18 Hornet di atas Pulau Bawean (Jawa Timur), dua buah kapal perang laut A.S, dengan bantuan kapal-kapal perang Singapura di perairan Pulau Natuna (Riau) baru-baru ini. Karena penulis tidak kunjung melihat protes pihak pemerintah akan hal ini, penulis lalu berinisiatif membuat pernyataan tentang hal itu yang disiarkan media masa kita. Penulis dalam hal ini melihat sikap AS itu sebagai reaksi atas keputusan membeli pesawat-pesawat tempur Sukhoi dari Rusia (dan Eropa Timur) oleh pemerintah kita. Namun, bagaimanapun juga harus disikapi bahwa manuver-manuver itu adalah pelanggaran kedaulatan kita, karenanya harus diprotes. Keberanian untuk mempertahankan kedaulatan negara atas negeri ini harus ditegakkan dengan segala cara. Protes, tanpa memusuhi negara lain adalah cara terbaik untuk itu.

*****

Bagi penulis, NU harus berperan dalam politik inspirasional, yaitu memberikan inspirasi tentang demokrasi, hak asasi manusia, orientasi ekonomi nasional yang benar, bentuk pendidikan yang mandiri bagi kita, pelaksanaan kedaulatan hukum, dan persamaan perlakuan bagi semua warga negara di hadapan undang-undang. Dalam semua hal di atas, kepentingan rakyat banyak yang harus menjadi tujuan, bukannya kepentingan orang per orang. Ini adalah intisari demokrasi dan pengukuran harus berdasar pencapaian hal-hal di atas. Kalau prinsip-prinsip ini ditinggalkan, – walau dengan dalih kita menghargai seseorang atau sebuah kelompok-, maka kita mengkhianati demokrasi itu sendiri. Oleh karena itulah, penulis yang ditugaskan PB Syuri’ah NU di tahun 1997 untuk mendirikan partai politik, tetap berpegang pada hal ini.

Dirumuskannya, bahwa tugas PKB sebagai sebuah partai politik adalah dalam jangka panjang membentuk sistem politik yang benar-benar memikirkan kepentingan rakyat dalam “bahasa Islam” hal ini dirumuskan dengan istilah al-Maslahah al-‘Ammah (kepentingan umum), sebagaimana tercantum dalam diktum fikih/hukum Islam: “Kebijakan/tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin terkait langsung dengan kepentingan rakyat yang dipimpin“ (Tassarruf Al-Imam ‘Ala Al-Ra’iyah Manuthun bi Al-Maslahah). Kalau kepentingan perorangan tidak berlawanan dengan kepentingan orang banyak, maka hal itu dapat diterima. Jika kita berkaca kepada demokrasi di AS, hal itu tampak dalam pengangkatan Presiden A.S John F. Kennedy atas adiknya Robert, sebagai Jaksa Agung di tahun 1961. 

Dengan merumuskan sasaran-sasaran di atas, secara tidak langsung penulis mengemukakan kriteria untuk mengukur NU, apakah telah mencapai kepantasan mempelopori demokrasi atau tidak.  Dengan demikian, penulis sekaligus menetapkan ukuran-ukuran bagi peranan NU dalam politik kita dan pada waktu yang sama menampilkan lembaga-lembaga politik yang berasal dari NU sebagai wadah mengisi jabatan-jabatan negara untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Ini adalah tugas yang berat, karena dalam PKB masih sangat banyak yang berpikir hanya untuk kepentingan sendiri saja. Sedangkan dalam lingkungan NU masih sangat banyak sisa-sisa dunia politik lama yang hanya memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan golongan belaka. Untuk melaksanakan pemerintahan yang bersih, memang mudah dikatakan namun sangat sulit dilaksanakan.