Asas Kebangsaan dan Ambisi Politik
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dua buah perkembangan yang tampaknya saling menekan terjadi saat ini. Antara ”kesetiaan” pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan berkembangnya paham kebangsaan secara luas saat ini.
Ketika Taufik Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, mengumumkan dengan cara spektakuler ”aliansinya” dengan Surya Paloh dari Partai Golkar, tentu banyak orang membuat perkiraan-perkiraan. Salah satu di antaranya bahwa kalau dukungan politik terhadap Megawati Soekarnoputri menurun yang kita belum tahu sekarang bagaimana mengukurnya, maka Taufik Kiemas yang akan maju sebagai calon dalam pemilihan presiden yang akan datang. Dia akan didukung oleh Surya Paloh. Ini berarti perubahan besar-besaran dalam pencalonan PDIP untuk Pemilihan Presiden 2009. Sudah tentu peristiwa itu akan terjadi dengan akibat-akibatnya sendiri, baik ke dalam maupun keluar PDIP. Kalau salah urus, PDIP akan menjadi partai kecil, karena para pengikut Bung Karno tidak menyetujui berpindahnya kepemimpinan ke tangan orang lain.
Kalau Golkar sendiri memang dari semula adalah partai kecil. Hanya dalam masa Orde Baru ia besar, karena kepandaian ”memanfaatkan” militer dan birokrasi pemerintahan. Dengan memberikan bantuan besar-besaran bagi kalangan pondok pesantren, ia menciptakan anggapan bahwa Golkar memang besar. Walaupun kalangan pesantren waktu itu mau menerima bantuan Golkar, tetapi tidak mau memerintahkan warganya untuk mencoblos ”Beringin”. Tipuan politik itu dijawab dengan tipuan politik pula oleh Orde Baru, yaitu dengan cara memanipulasi hasil pemilu secara besar-besaran. Dikombinasikan dengan represi pendapat dalam skala besar, hal itu mencuatkan gambaran seolah-olah Golkar adalah ”kelompok besar”.
Padahal, dalam kenyataan tidaklah demikian. Karena langkah-langkah Golkar memang agresif, maka akhirnya ”kebesaran” Golkar itu diterima oleh hampir semua pengamat politik kita. Ini tidak mengurangi kenyataan bahwa untuk menjadi kelompok besar yang benar-benar besar, Golkar masih harus berbuat banyak sekali. Karenanya, perkiraan yang harus dikembangkan menjelang Pemilu 2009 adalah adanya kemungkinan bahwa PDIP maupun Golkar akan mengalami penyusutan suara sangat besar. Kalau ini terjadi, tentu akan ada perubahan sangat besar, padahal nasionalisme atau asas kebangsaan justru akan mengalami pertambahan besar.
Menurut Sutrisno Bachir (Ketua Umum Partai Amanat Nasional), kemungkinan besar hasil pemilu yang akan datang akan memunculkan sebuah fenomena baru: partai politik sektarian akan menjadi sangat berkurang pengaruhnya. Menurut pendapat penulis, hal ini adalah gambaran masa depan kita. Jika hal di atas benar-benar terjadi, maka akan timbul pertanyaan: ke mana larinya warga PDIP? Mereka akan tersebar ke sekian banyak parpol-parpol yang mengikuti pemilu karena rasa kebangsaan mereka adalah sesuatu yang tidak mungkin dihilangkan begitu saja.
Walaupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berada di tengah-tengah partai sektarian dan partai non-sektarian yang memiliki kedudukan unik: sebagai penerus sikap NU dalam Muktamar NU di Banjarmasin (Borneo Selatan) yang mengambil sikap nasionalistis tanpa kehilangan jati diri Islamnya. Kedudukan NU sebagai organisasi agama yang juga dikenal dengan nama kaum santri, membuatnya diterima bangsa Indonesia sebagai kaum nasionalis beragama.
Hal itu benar-benar diuji oleh perkembangan politik pada 1945. Tahun itu,kita menyaksikan dua buah perkembangan besar dalam kehidupan politik bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Hal kedua adalah pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menyelesaikan kerjanya pada 18 Agustus 1945. Dengan permainan politik sangat mengagumkan, para pemimpin politik bangsa kita berhasil mencapai pemisahan antara agama dari negara. Kenyataan inilah yang harus diperhitungkan secara politik oleh bangsa kita semenjak kemerdekaan.
Dengan meninggalnya Soekarno pada permulaan Orde Baru, maka segera paham nasionalisme yang dikembangkannya menjadi sesuatu yang mengalami perubahan besar. Orde Baru dan paham-paham lain berusaha sekeras mungkin untuk mencapai semangat kebangsaan yang dilahirkan oleh Bung Karno, tetapi tentu saja memiliki perbedaan-perbedaan dari nasionalisme PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Sekarang, lebih dari separuh pimpinan PDIP adalah orang-orang yang dahulunya menjadi pimpinan Golkar. Dengan sedirinya, ini membawakan akibat-akibatnya sendiri yang belum dapat dikemukakan, karena perkembangan-perkembangan di kalangan PDIP. Karena itu, suara koalisi yang dikemukakan Taufik Kiemas dan Surya Paloh belum tentu benar-benar memperoleh pengikut-pengikut cukup besar dalam perolehan pemilu yang akan datang.
Ini baru kita ketahui jika pemilu telah selesai diselenggarakan. Apa yang dikemukakan di atas adalah ”perkiraan kasar” yang mungkin terjadi. Persoalannya juga masih tergantung dari Golkar sendiri: bisakah Jusuf Kalla menghindari perkembangan seperti itu, yang mungkin juga tidak menjadi kehendaknya. Kalau hal ini terjadi, maka karier politik Jusuf Kalla sendiri akan terhenti dan tentu saja dia tidak ingin hal itu terjadi. Ini adalah kejadian biasa dalam perkembangan politik suatu bangsa, seperti berkali-kali kita saksikan di panggung sejarah. Baik dalam baju nasionalisme Bung Karno, maupun nasionalisme-nasionalisme lain, jelas bahwa semangat kebangsaan kita akan bergerak ke depan dan dapat dikembangkan tiap-tiap orang. Termasuk oleh mereka yang saat ini berideologi sektarian. Sejarah kita belum selesai dan akan terjadi perubahan-perubahan besar di masa akan datang. Ini membuatnya sangat menarik, bukan?